NYALANYALI.COM – Tak banyak yang mengenal lelaki bernama Suwalbijanto Soemodihardjo. Tapi sebutlah nama aliasnya, Jan Mintaraga, maka tak sedikit orang yang segera mengenalinya melalui karya-karyanya dalam bentuk komik maupun ilustrasi.
Pria kelahiran Yogyakarta 8 November 1942 itu telah menekuni profesi komikus sejak 1965. Tak kurang dari 150 judul komik telah diciptakannya dari berbagai genre seperti roman, silat, sejarah dan legenda. Itu menunjukkan betapa JM –begitu penggemar komik menyebutnya—mampu menerobos segala segmen melalui karya-karyanya.
Beberapa judul komik hasil goresannya antara lain Kelelawar, Sebuah Noda Hitam, Tunggu Aku di Pintu Eden, Teror Macan Putih, Indra Bayu, Ramayana, Imperium Majapahit, Api di Rimba Mentaok, Balada Sebuah Cinta dan lainnya, Bahkan Komik pahlawan super yang diciptakannya pada 1973, Virgo tengah disiapkan dalam sebuah film oleh Screenplay Film dan Jagat BumiLangit, dengan judul Virgo and the Sparklings,
“Papa itu family man, jarang sekali keluar rumah kalau tidak didampingi Mama. Dia lebih senang kumpul dengan anak-anak di rumah, empat anaknya perempuan semua, Kalaupun harus pergi biasanya boyongan satu rumah, berlibur atau nonton film ke bioskop, lihat pertandingan bulutangkis atau voli di Senayan. Papa jarang sekali keluar rumah sendiri,” kata Rachel Patricia Dhewayani atau Patsy, putri sulung Jan Mintaraga itu,
Kemampuan meggambar dan menulis suami Rounkonda Margaretha Linda Tilaar itu sedikit banyak menurun pula kepada putri-putrinya, “Saya harus terus belajar menggambar atau membuat sketsa, supaya nggak malu-maluin sebagai anaknya Jan Mintaraga,” kata Patsy, sembari tertawa.
Redaksi NyalaNyali.com mengingat salah seorang legenda komikus Indonesia itu, melalui kenangan Patsy Mintaraga, seperti ini:
Bagaimana sosok jan Mintaraga menurut Anda, sebagai putrinya?
Seingat saya, Papa itu orangnya santai, mungkin karena seniman, ya. Kerjanya di rumah, ada saat-saat dia mungkin jenuh dengan pekerjaan, selesai menggambar bikin komik, biasanya kami ngobrol, nonton TV atau main Nintendo. Saat itu, Papa juga ilustrator di Majalah Femina. Papa menjalani hidup tidak ngoyo, tapi beliau seorang pekerja keras, kelihatan sekali sangat berusaha menyenangkan anak dan istrinya, tidak mau kita merasa kekurangan.
Bagaimana ia mendidik anak-anaknya?
Papa dan Mama mendidik anak-anaknya bukan tipe yang mengharuskan anak dengan tuntutan, harus ini atau itu, nggak begitu. Mereka lebih memberikan dorongan ke kita, “kamu itu harus berhasil untuk dirimu sendiri, yang penting kamu survive dan tidak menyusahkan orang lain di sekelilingmu”. “Apapun yang kamu lakukan dan putuskan harus siap dengan segala risiko dan konsekuensinya”.
Bagaimana perjuangan Jan Mintaraga dalam berkarya, setahu Anda?
Saya mengerti Papa komikus itu ketika saya SD. Saat itu Papa sudah sudah dikenal orang, perjuangan awalnya untuk dikenal orang sebagai komikus saya tidak terlampau tahu. Tapi ke sininya sih kadang kalau sedang ngobrol serius, Papa beberapa kali bilang kalau komikus tidak dihargai dan komik dianggap sebagai sampah.
Adakah komik karyanya yang Anda sukai?
Saya saat itu umurnya masih belum 17 tahun, saya baca komik silat Papa, tapi tidak terlalu membekas karena menurut saya saat itu komik silat itu untuk anak laki-laki. Saya bacanya komik roman yang Papa bikin, judul yang paling saya ingat adalah “Balada Sebuah Cinta”, saya sampai merasa jatuh cinta dengan tokoh prianya, Regawa, karena gambar Papa untuk tokoh-tokohnya selalu ganteng dan cantik.
Saya ingat benar tokoh perempuan dalam komik itu diambil dari nama adik bungsu Papa, Asti namanya. Dan saat Tante Asti main ke rumah, Papa memberitahu bahwa namanya digunakan sebagai tokoh di komiknya itu.
Ciri khas cerita komik Roman Jan Mintaraga?
Ya itu tadi, tokohnya digambar sangat ganteng dan cantik. Biasanya tokoh laki-lakinya dari kalangan tidak mampu atau orang yang tersingkirkan, tidak percaya diri menyatakan cinta kepada cewek cantik he-he-he.
Setahu Anda, bagaimana dengan kondisi finansial keluarga karena profesi Jan Mintarag sebagai komikus tidak menentu?
Kendalanya sebagai komikus saya nggak begitu tahu. Tapi untuk masalah finansial, pendapatnya sebagai komikus itu lucunya saat orang tidak ada duit, Papa ada duit, begitupun sebaliknya, karena Papa kan nggak terima gaji rutin, bukan orang kantoran. Terus terang saya salut dengan Mama yang mampu me-manage keuangan dalam situasi Papa yang pendapatannya tidak rutin. Kami sebagai anak-anak merasa tidak pernah kekurangan, dan kami mendapat kehidupan yang layak.
Apa kenangan mendalam Anda terhadapnya?
Saya sangat ingat beberapa hari, kalau tidak salah satu atau dua hari sebelum Papa meninggal (Jan Mintaraga meninggal 14 Desember 1999-Red). Papa memanggil saya dengan melambaikan tangannya, kondisinya sudah sangat lemah, mengangkat tubuhnya pun harus dibantu. Papa menempelkan jarinya ke bibirnya. Saya tanyakan apakah ingin minum, tapi dia menggeleng. Dia memonyongkan mulutnya sambal menunjuk ke arah Mama. ”Papa mau cium Mama?”, dan Papa mengangguk. Mama kemudian mencium bibir Papa, saya di sebelah mereka mendengar Papa berbisik kepada Mama, “Aku cinta kamu”. Mama pun mengatakan ia mencintai Papa. Itu kalimat yang saya dengar, sebelum satu atau dua hari kemudian Papa meninggal.
Itu benar-benar kalimat terakhir yang Papa ucapkan, saya saksikan bagaimana cinta mereka satu sama lain, bagaimana kuatnya cinta mereka. Sangat membekas buat saya. Saya bersyukur menyaksikan perasaan orangtua saya di depan mata sendiri, memori yang tidak akan pernah bisa saya lupa.