Hari Kartini: Mengukur Titik Rawan Kesehatan Perempuan

NYALANYALI.COM, Jakarta – Empat hari saja, R.A. Kartini bisa menyaksikan senyum dan tangis Soesalit, putra yang baru dilahirkannya. Kemudian, 17 September 1904, istri Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, itu pun mengembuskan napas terakhirnya di usia 25 tahun.

Lebih dari seabad, berbagai kalangan beradu argumentasi mengenai penyebab meninggalnya perempuan yang kumpulan suratnya dibukukan J.H. Abendanon menjadi buku berjudul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun, dari berbagai versi, penyebab kematiannya diduga akibat preeklamsia, yaitu tekanan darah tinggi yang terjadi pada ibu hamil dan kelebihan kadar protein dalam urine atau lebih dikenal sebagai salah satu kondisi medis dengan gejala hipertensi saat kehamilan.

Sampai saat ini, persoalan kematian ibu melahirkan masih mengemuka karena tingginya angka kematian terhadap kasus tersebut di Indonesia.  Badan-badan PBB, seperti WHO, UNICEF, UNFPA, bahkan Bank Dunia, mensinyalir, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi, yaitu di kisaran  420 per 100 ribu kelahiran hidup. Padahal kematian ibu saat melahirkan seharusnya bisa dicegah. Sumber data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan hipertensi selama kehamilan (yang meliputi preeklamsia dan eklamsia) menduduki peringkat kedua penyebab kematian ibu melahirkan di Indonesia, yakni 24 persen. Di urutan teratas perdarahan 28 persen, sedangkan di urutan ketiga infeksi 11 persen.

Permasalahan kesehatan perempuan menjadi persoalan yang harus dipandang serius. Ungkapan perempuan sebagai pilar bangsa atau dari perempuan generasi emas menjadi jargon yang harus disikapi. Bagaimana jadinya bila kesehatan perempuan-perempuan Indonesia, induk segala harapan, berada di titik yang mengkhawatirkan?

Permasalahan penyakit pada organ sensitif  perempuan pun butuh penanganan serius. Kista, kanker payudara, dan kanker serviks atau kanker leher rahim menjadi ancaman perempuan di Indonesia dan dunia. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan Milenium Development Goal’s (MDGs), sebagai delapan tujuan yang telah disetujui 191 negara PBB, yang menargetkan para pemimpin dunia menanggulangi penyakit-penyakit dan meningkatkan kesehatan ibu. Sebab, penyakit kista, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker serviks makin menggejala.

Khusus kanker leher rahim, mengutip data Yayasan Kanker Indonesia, setiap hari muncul 40-45 kasus baru. Sementara itu, 20-25 orang meninggal akibat kanker serviks–penyakit pembunuh perempuan nomor satu. Angka itu mengerikan. Setiap satu jam, satu perempuan di Indonesia meninggal akibat penyakit tersebut.

Kanker serviks ini adalah sejenis kanker yang 99,7 persen disebabkan oleh human papilloma virus (HPV), yang menyerang leher rahim. Di Indonesia, hanya 5 persen yang melakukan penapisan kanker leher rahim sehingga 76,6 persen pasien, ketika terdeteksi, sudah memasuki stadium lanjut (IIIB ke atas). Sebab, kanker leher rahim biasanya tak menunjukkan gejala apapun pada stadium awal. Kebanyakan penelitian menemukan infeksi HPV bertanggung jawab untuk semua kasus kanker leher rahim.

Kanker serviks pada stadium awal tidak menunjukkan gejala yang khas, bahkan bisa tanpa gejala. Pada stadium lanjut, kanker serviks memiliki gejala, antara lain pendarahan post coitus, keputihan abnormal, pendarahan sesudah berhenti masa haid, serta keluarnya cairan abnormal (kekuning-kuningan, berbau, dan bercampur darah). Mantan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek pernah mengatakan,“Permasalahan kanker di Indonesia cukup besar. Setiap tahun diperkirakan 12 juta orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia.”.

Bagikan :

Advertisement