NYALANYALI.COM, Wisata – Keesokan harinya, setelah menyelesaikan sarapan, saya bergegas menyipakan beberapa barang yang “wajib” dibawa dalam tur hari ini; camera , tape recorder, catatan, topi, dan tentu saja sun glasses. Karena inilah saat yang saya tunggu, mengunjungi kompleks piramida di Giza dan melihat Sphinx. Dua ikon Mesir terpopular. Tak sampai satu jam perjalanan, tampaklah dari kejauhan salah satu peninggalan masa lalu yang masuk dalam “The Seven Wonders of the Ancient World” itu. Dari tiga piramida yang ada, Khufu (Cheops) yang terbesar. Dibangun oleh Firaun dari dinasti ke IV bernama Cheops pada 2690 SM. Piramid setinggi 146 m ini menghabiskan batu sekitar 2,5 juta kubik dan dikerjakan oleh 100 ribu orang budak selama 20 tahun.

Sementara Piramida Khafre (Chephren) dibangun pada 2650 SM oleh putra Cheops. Ttingginya 136 m, dengan panjang sisinya 214 m, dan sekitar 2,2 juta kubik batu. Piramida terkecil di area ini adalah Menkaure (Mycerinos) yang dibangun pada 2600 SM oleh putra Chephren, bernama Menkaure. Tingginya hanya 62 m dengan panjang tiap sisi sekitar 104 m. Karena dibangun di atas tanah yang berbukit, maka bila dilihat dari kejauhan piramida Khafre terlihat lebih tinggi dari milik ayah dan anaknya.
BACA
Jalan-jalan ke Kairo (01): The Mother of World
Dari ketiganya, saya berkesempatan masuk ke Khafre melalui sebuah terowongan dengan cara berjalan agak membungkuk karena tingginya 125 cm. Dengan harap-harap cemas saat menuruni tiap undakan sepanjang 40 meter itu, saya berharap menemukan sesuatu. Ternyata, terowongan ini berujung pada ruang kosong seluas 10 x 15 meter.

Kebudayaan Mesir kuno berpusat pada usaha mengatasi kematian. Karenanya mereka percaya makam harus dari baru agar mampu bertahan sepanjang masa. Saya hanya bisa membayangkan, bagaimana para raja Mesir ini dikubur dalam sebuah ruang beserta hartanya. Namun ironisnya, banguanan kokoh yang mengorbankan ribuan orang dalam pembangunnya ini tak mampu menjaga jasad dan harta benda mereka dari tangan para penjarah
Begitu keluar dari terowongan, mulailah kami diburu para pedagang asongan maupun tukang sewa onta. Mulai dari kartu pos, aksesori, hingga lembaran papirus, terus disodor-sodorkan. Tapi pengalaman saya menghadapi pedagang asongan di Indonensia, membuat saya berani menawar lebih dari separuh harga. Hasilnya, saya dapat mengantongi beberapa lembar papirus dengan harga murah-meriah.
Tak jauh dari Piramida Khufu, berdiri dengan gagahnya Sphinx, patung purbakala sepanjang 70 m dengan tinggi 20 m, bermuka manusia tetapi berbadan singa. Konon, tampilan patung yang dipahat dari batu kapur ini mirip Chephren. Sehingga para peneliti meyakini bahwa patung ini memang sengaja didirkan untuk menjaga kuburannya.

Sambil mengabadikan berbagai obyek yang ada, saya tak henti-hentinya berpikir, bagaimana mungkin bangunan-bangunan tersebut bisa dibuat tanpa ada bantuan mesin? Tak ada besi pengungkit ataupun roda yang membantu mengangkat batu seberat ratusan kilo tersebut, apalagi semen sebagai perekatnya. Tiba-tiba suara pemandu menyadarkan saya untuk segera menuju bis.
Setelah makan siang, rombongan kami langsung ke Memphis, kota yang didirikan untuk menyatukan dua bagian yaitu Lower Egypt dan Upper Egypt. Perjalanan menyusuri kanal anak cabang Sungai Nil ini menyajikan alam pedesaan yang konon tak berubah sejak ratusan tahun. Sayangnya, tak ada lagi sisa-sisa kebesaran ibukota kuno ini. Yang tertinggal hanya beberapa peninggalan, salah satunya patung kolosal Ramses II yang terbaring tak terurus. Pemandangan yang sungguh berbeda dengan obyek-obyek wisata sebelumnya.

Menjelang sore, separuh tenaga sudah agak terkuras, namun penjelajahan belum berakhir, Rombongan dilepas si Bazaar Khan al-Khalili, sebuah pasar tradisional yang dibangun oleh Mamluk Amir pada 1382. Di depan bazaar, para pria yang berpakaian jas lengkap maupun yang mengenakan jubah asyik menikmati rokok water pipe (sheesha) sambil memperhatikan orang-orang yang hilir mudik.
Lorong-lorong memanjang di area ini dipenuhi oleh barang-barang kuningan, tekstil, kerajinan kulit, batu-batuan, dan berbagai cinderamata lainnya. Saya akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah sheesha, beberapa aksesoris perak, dan sebuah tas kulit domba berbentuk tabung.
Inilah akhir dari penjelajahan saya di Kairo. Dua hari tentu tak cukup untuk menikmati keindahan budaya serta sejarah Mesir yang begitu mengagumkan. Dan saya berjanji untuk kembali lain waktu.