Pena Setajam Pedang, Kata Segarang Singa

NYALANYALI.COM – Transformasi media tengah berlangsung di negeri ini. Media cetak bersalin wujud menjadi digital. Penyesuaian pun terus berlaku. Agar tak tertinggal zaman, agar mengikuti perubahan. Citizen journalist tumbuh pesat. Mata ada di mana-mana. Telinga mendengar segala rupa. Menulis kabar secepatnya, opini dan fakta bercampur baur tak tentu di mana asal muasalnya kabar. Independensi dan bisnis, saling berhadapan.

Teknologi makin kekini, menulis tak lewat pulpen lagi, kotak-kotak berhuruf di komputer tak seberisik mesin ketik. Wartawan ke sana sini pakai rompi seperti kenangan.

Tahulah kini bukan pers zaman perjuangan. Memang bukan masa RM Tirto Adhi Surjo, SK Trimurti, Mochar Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik, B.M. Diah, Jusuf Ronodipuro dan sejawatnya lagi. Bukan masa ketika mereka menulis berapi-api. Tentang merdeka dan merdeka, lagi.

Tapi pers tentunya terus berjuang. Media-media berjuang untuk bertahan, menjadi paling dipercaya, paling terdahulu, paling akurasi, menjadi acuan publik, sumber layak kutip dalam banyak perbincangan di istana sampai warung kopi.

Pers memiliki pena setajam pedang, kata-katanya segarang singa luka jika sudah mengabarkan ketidakadilan, kesewenangan, ‘penjajahan’ segala logika, tentu dengan fakta, tidak mengada-ada. Berdiri di sisi yang diabaikan, bersama mereka yang ditelantarkan, bergandeng dengan mereka yang tak bisa bersuara, ditekan.

Pers bukan simpatisan. Bukan pula sebaiknya duduk rapi di bangku partisan. Jika itu dilakukan, masyarakat pun dirugikan. Suara jadi seragam semua. Kembali sajalah ke zaman lama. Kritik samar-samar, melempem tak kriuk kriuk kedengaran.

Berteman dengan istana, bukan berarti jadi anggota ‘keluarga’. Mengkritik penguasa, jangan takut kemudian dianggap posisi seberang jalan. Puji jika terpuji, koreksi jika salah pula. Tak pandang siapa dan darimana penduduk istana. Tak lihat gedung bertingkat itu punya siapa. Tak peduli siapa jika hukum disalahgunakan. Menjadi pengeras suara publik saja sebaiknya. Sehingga sungkan mengkritik membuat jadi di cap media relawan. Tekor semuanya.

“Sekali kita memilih jalan perjuangan, maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan.” Mochtar Lubis – Jalan tak Ada Ujung (1952).

S. DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup

Bagikan :

Advertisement