NYALANYALI.COM, Perjalanan – Setelah melewati perbukitan yang cukup terjal, keluar masuk beberapa kampung Baduy Luar, sampailah kami di perkampungan Baduy Dalam yang pertama, Cikeusik. Matahari sudah tak tampak, jalanan pun mulai terlihat-samar-samar. Kampung yang konon dihuni tak lebih dari 50 kepala keluarga ini amat sepi, sama sekalintak terdengar suara kehidupan.
Hanya ada seorang bapak tua yang menyapa kami dalam bahsa Indonesia campur Sunda dialek Banten. Setelah tahu tujuan kami untuk mengunjungi kampung Cibeo, ia langsung memandu kami hingga ke ujung kampung.
Pak Narja dan hutan sengon
Dua puluh menit kemudian kami telah sampai di Cibeo, tempat kami bermalam hari itu. Sekelompok anak-anak masih tampak berlarian di lorong-lorong antar rumah meski hari sudah mulai gelap. Kami disambut dengan penuh keakraban, salah seorang warga langsung menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap. “Di tempat kami saja,” ujar Sarip, lelaki berusia 35 tahun tersebut.
Ini bukan pertemuan pertama saya. Sudah beberapa kali saya ke kampung Cibeo, Baduy Dalam ini, dalam 18 tahun terakhir, untuk pertama kali saya pernah juga menginap di rumahnya. Dan, tampaknya relatif tak ada satu pun perubahan terjadi disini. Semua tetap sama, mulai dari perabotan hingga ruang-ruang dalam rumahnya. Yang berbeda, kini Syarif telah punya tiga anak, sulungnya pun telah meningkat remaja.
Perempuan Baduy Luar menenun
Setelah istirahat sejenak, kami telah disuguhi kopi dan teh hangat, berikut makan malam nasi dengan lauk mi instan campur kornet. Wah, meski hanya menu sederhana, namun beberapa teman setuju bahwa Baduy Dalam berhasil membuat mi instan jadi makanan terlezat di dunia –saat itu–. Begitu juga dengan kopinya yang terasa legit. Benar-benar menjadi makan malam penuh kesan.
Selepas makan kami duduk-duduk di teras sambil ngobrol dengan sang pemilik rumah. Uniknya, kami tak dapat melihat wajah lawan bicara karena malam yang amat pekat. Justru disinilah uniknya, hanya mendengar suaranya tanpa bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Tak lama kemudian datang teman-teman Sarip lainnya, jadilah malam itu kami mengobrol layaknya sebuah pertemuan keluarga yang penuh canda tawa,
Sadam dan ayahnya
Meski masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal budaya baca-tulis, namun ternyata mereka dapat mengikuti perkembangan dunia luar. Bahkan kami pun dibuat terkaget-kaget dengan berbagai pertanyaan atau jawaban mereka yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdas, dibalik kebersahajaannya.
Salah satu dari mereka dengan fasih menjelaskan asal-usul moyangnya dengan lengkap, bahkan mampu juga bicara tantangan yang harus mereka hadapi dalam era modernisasi ini.
Tak terasa malam terus merambat. Sayup-sayup terdengar suara alat musik tradisional kecapi yang dipetik dengan penuh perasaan. Lilin, satu-satunya yang menjadi alat penerang rumah Sarip pun makin kecil nyalanya. Setelah rombongan warga setempat pulang, saatnya menikmati malam yang sesungguhnya. Hening.
Batas Baduy Luar dan Dalam
Udara super dingin di malam yang pekat serta suara lolongan anjing, benar-benar pas untuk mereka yang butuh intropeksi diri. Kesunyian yang membeku inilah yang membuat saya tak kuasa memejamkan mata.
Namun, tak terasa hari telah berganti. Suara celoteh anak-anak kecil membangunkan saya. Rumah mereka yang didirikan di atas batu (ini kepercayaan mereka bahwa rumah supaya kokoh harus berdiri di atas batu) serta berbilik bambu, membuat udara masuk dengan leluasa. Tak salah bila sebagian besar dari rombongan kami menggigil kedinginan semalaman. Sementara anak-anak kecil di Baduy Dalam ini tidur tanpa selembar kain selimut pun di badan.
Bermalam di tempat terpencil ini tak hanya dapat belajar banyak soal kearifan hidup, tetapi kembali menyadarkan bahwa alam benar-benar bisa menjadi sahabat manusia untuk kembali menjadi manusia yang “membumi”.
Setelah menikmati dinginnya air kali saat mandi, kami pun bergegas pulang kembali ke Jakarta. Tak lupa membawa air bambu hitam untuk obat batuk.
Ada begitu banyak kesan tertinggal di sana. Meski lelah meraja, dan kaki pegal tak ketulungan, rasanya sebanding dengan pengalaman ini. Belum lagi mobil yang kami tumpangi meluncur kembali ke Jakarta, seorang teman langsung nyeletuk,” Kapan balik lagi ke Cibeo ya?” tanyanya. Wah!
URRY KARTOPATI
BACA JUGA:
Jalan-jalan ke Siem Reap, Kamboja
Jalan-jalan ke Athena, Yunani
Jalan-jalan ke Kairo (02): Jelajah Piramida Bertemu Sphinx Lihat Firaun
Jalan-jalan ke Brugge Belgia
Jalan-jalan ke Khanty Mansiysk Rusia