NYALANYALI.COM, Perjalanan – Cand-candi yang saya kunjungi setelahnya menunjukkan pula banyak keunikan. Menjelang matahari terbenam, saya bergegas menuju Angkor Wat untuk menikmati keindahan sunset dari dalam kompleks candi.
Angkor Wat yang berumur sekitar 1.000 tahun ini dibangun Raja Suryavarman II pada awal abad ke-12, namun secara resmi dipublikasikan Henri Mouhot, penjelajah dan naturalis asal Prancis pada pertengahan 1800-an.
Angkor Thom – Foto Dok. Urry Kartopati
Sebagai salah satu situs arkeologi paling penting di Asia Tenggara, kuil ini berisi sisa-sisa megah ibukota yang berbeda dari kerajaan Khmer, dari abad ke-9 hingga abad ke-15. Unsur lain yang signifikan dari kompleks Angkor adalah sistem irigasi di wilayah ini didasarkan pada waduk besar, yang menyediakan infrastruktur ekonomi untuk ibukota Khmer bertahun-tahun bagi penguasa mereka.
Relief Apsara/Penari di Bayon Temple – Foto Dok. UK
Setelah seharian mengunjungi kompleks Angkor, malamnya saya berkesempatan menikmati suguhan tari tradisional di salah satu resto terkenal di pusat kota. Kegiatan ini memang dikemas untuk kebutuhan para turis. Sehingga semua sudah tertata dan terencana dengan rapi. Sembari menikmati kuliner khas setempat, para tamu juga bisa menikmati tari-tarian tradisional yang dipersembahkan para penari cantik nan lemah gemulai.
Konon,di masa lalu para penari yang disebut dengan Apsara ini (bidadari dalam mitologi Hindu dan Buddha) jumlahnya ratusan, mereka tinggal di salah satu kuil untuk belajar menari, yang khusus di persembahkan untuk para raja. Kini tari-tarian yang menggambarkan kisah mereka bisa ditonton langsung oleh publik. Bahkan seusai menari, para penonton boleh berfoto juga dengan para Apsara nan jelita ini.
***
Bayon Temple – Foto Dok. Urry Kartopati
Keesokan harinya saya bangun lebih pagi, Pranh, supir tuk-tuk langganan sudah siap di depan hotel. Saatnya menyambangi destinasi wisata yang agak berbeda, yaitu Kampong Pliuk. Letaknya sekitar 20 km di bagian Tenggara kota Siem Reap. Perkampungan ini merupakan satu dari tiga desa terapung yang berada di Danau Tonle Sap. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk mencapainya.
Setibanya di dermaga, saya sudah disambut tukang perahu, dengan membayar paket tur sekitar US$ 20, maka perlahan perahu masuk ke desa terapung yang dihuni sekitar 3.000 orang. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai nelayan dan penambak udang. Petualangan pun dimulai.
Tuk tuk – Foto Dok. Urry Kartopati
Perahu motor yang saya tumpangi segera membelah desa yang berada di hutan mangrove ini, di kanan dan kiri sungai terdapat bangunan terbuat dari kayu dan bambu dibangun di atas panggung setinggi 6 hingga 7 meter, mulai dari rumah, sekolah, pos polisi, kantor kepala desa, restoran, hingga bengkel.
Setelah 10 menit perjalanan, boat merapat di salah satu restoran, setelah memesan minuman saya ditawari naik sampan kecil untuk masuk ke hutan bakau, yaitu rumah bagi berbagai satwa liar termasuk kepiting, aneka burung, ular, kera, tikus, dan lain-lain. Jadilah, dengan US$ 10, saya naik sampan dengan juru mudi seorang anak kecil berusia 11 tahun, namanya Wan. Dalam bahasa Inggris yang lumayan, ia menjawab beberapa pertanyaan saya tentang kehidupan masyarakat sekitar.
Kampong Phliuk – Foto Dok. Urry Kartopati
Tiba-tiba ia menunjuk dan berteriak lantang. “Look, pig ,” ujarnya. Telunjuknya mengarah pada seekor babi gemuk yang dipelihara di atas rumah perahu. Memang, sangat unik kehidupan para nelayan di sini. Semua aktivitas keseharian dilakukan di atas air. Selama musim kering, banyak penduduk desa pindah ke danau dan membangun rumah sementara. Pada musim hujan saat air naik, warga desa kembali ke rumah permanen mereka di dataran banjir tersebut, panggung-panggung pun tersembunyi di bawah air.
Beruntung saya datang di bulan Januari, saat air masih cukup tinggi untuk membanjiri hutan di sekitar Danau Tonle Sap. Bila musim kering tiba, rumah-rumah desa akan muncul seperti gedung pencakar langit. Knease Chong (desa mengambang) ini telah ada berabad-abad lalu, dan gaya hidup penduduk danau melaklukan semua kegiatannya di atas air, berperahu untuk mobilitasnya dan melakukan aktivitas kesehariannya di rumah-rumah panggung.
Penari tradisional Kamboja – Foto Dok. Urry Kartopati
Diluar kompleks Angkor, Siem Reap lebih mirip kota kecil yang sepi dengan keramahan penduduk khas etnis Khmer. Mereka dengan ramah menyapa para wisatawan, dan sangat senang untuk membantu bila dibutuhkan.
Sebagai sebuah kota, Siem Reap relatif kecil dan mudah untuk dijelajahi. Meski dua hari bukan waktu yang cukup untuk melihat kemolekkannya, namun saya tetap bersyukur bisa melihat kuil-kuil kuno, menikmati pertunjukan budaya, berpetualang di hutang mangrove, juga menikmati kuliner lautnya yang lezat . Saya berjanji satu saat akan kembali lagi ke tempat ini.
URRY KARTOPATI
BACA JUGA:
Jalan-jalan ke Athena, Yunani
Jalan-jalan ke Kairo (02): Jelajah Piramida Bertemu Sphinx Lihat Firaun
Jalan-jalan ke Brugge Belgia
Jalan-jalan ke Khanty Mansiysk Rusia