NYALANYALI.COM – HAMPIR empat tahun usia catatan ini. Sebuah catatan apresiasi atas terbit majalah perdana LPM Lintas, 2019 silam.
Bagi saya, kawan-kawan di Lintas masih diperlakukan buruk. Kampus seharusnya bersyukur, karena telah berhasil mendidik wartawan-wartawan yang idealis, kritis, dan berani membuka hal-hal tabu.
**
BELAJAR DARI LPM LINTAS IAIN AMBON
SEJAK baheula, orang-orang menggeluti dunia kepenulisan; penulis atupun pewarta yang kerap bersuara lantang, selalu diperlakukan buruk.
Tidak sedikit dari mereka, manusia ‘kapala batu’ itu menuai ajal— yang mereka tidak rencanakan—saat merintis jalan kepenulisan.
Bilamana mereka bersikeras untuk membuka hal tabu, menjewer oknum nakal. Maka karya-karya mereka diberedel atau dijarah lalu dimusnahkan.
Itu artinya, mereka yang bersuara lantang melalui tulisan atau pemberitaan. Hanya dua pilihan: bui atau raib. Ini fakta! Dunia kepenulisan memang perkara mengharu-biru.
Atau memang begitu, kekuasaan suka bertindak semena-mena? Sebab atas nama kekuasaan, seorang penguasa kerap bereaksi kasar terhadap penulis dan buah karyanya.
Pelarangan, penolakan, dan pemberedelan terhadap isi tulisan. Dengan dasar pertimbangan yang sepihak. Semisal tulisan-tulisan itu mengganggu ideologi, kekuasaan, keyakinan, ketertiban, hingga alasan moral kelompok tertentu.
Hal serupa yang sering dialami kawan-kawan yang bergelut di Lintas—Lembaga Pers Mahasiswa IAIN Ambon, didirikan pada 2011 silam.
Namun begitulah Lintas, tetap bersikukuh sebagaimana rupa sebuah lembaga pers: tetap kreatif, kritis, idealis, dan dinamis—mereka percaya bahwa dapur redaksi tidak boleh “disentuh” oleh siapa pun.
Walhasil, tiga priode 2017-2019 berjalan tanpa Surat Keputusan (SK) dari pihak kampus.
Kekisruan antara Lintas dan pihak birokrasi kampus, semakin meruncing. Berawal dari kawan-kawan di Lintas bernyali meliput soal pelecehan seksual, yang dilakukan seorang dosen terhadap seorang mahasiswi.
Sebagaimana pengakuan mereka, lewat surat dari redaksi, “Kami mengangkat isu tersebut tidak berkepala panas, apalagi bertujuan memaki dan mencibir. Tidak! Melainkan berusaha untuk menunjukan perhatian kampus terhadap persoalan diskriminasi yang kerap menjamur di lembaga pendidikan.
Pada akhirnya, pihak kampus menanggapi pemberitaan itu dengan memberedel Lintas. Kami anggap bukan langkah yang tepat mencegah kekerasan seksual tidak terulang.”
Kawan-kawan Lintas percaya, ketika pohon-pohon kebenaran tegak berdiri, selalu ditopang akar-akar resiko yang menjalar dan merambat ke segala penjuru.
Bagi penulis atau pewarta, tidak ada hal-hal “tabu”, segala hal meski diramu dan disajikan. Seorang penulis dan pewarta selalu bersiap diri menerima ancaman dan intimidasi yang tengah menggempur.
Mereka selalu berdiri kukuh. Seperti inilah yang dialami kawan-kawan di Lintas—mereka tetap optimis meliput dan mempablis soal pelecehan seksual di kampus, meskipun unggun kebencian terkobar-kobar.
Tidak sedikit tantangan datang menggempur, mulai dari keterbatasan ongkos liputan, ditolak narasumber, yang ternyata dosen-dosen mereka di kampus.
Sembilan tahun sudah, kawan-kawan di Lintas meramu olahan seputar kabar kampus. Kini sebuah terobosan besar dilakukan, yaitu berkesempatan menyajikan isu-isu yang berseliweran di luar kampus, dalam sebuah Majalah Berita Bulanan (24-30 Juni 2019) ini.
Ada beberapa tema penting yang menjadi ruh dalam majalah ini seperti: Senjakala Bahasa Daerah, Ketika Bahasa Raib Mencopotnya Identitas, yang dikelupas dari sebuah tema besar, “Bahasa Mati Rasa”.
Sebagaimana yang dipapar kawan-kawan di Lintas; bahasa sebagai penanda identitas, kini hanya sebagai perisai. Tidak bisa dipakai, hanya di antara kita yang menganggap peradaban sudah terlampau modern. Sebagian bahasa daerah ikut terkubur dengan mereka yang pertama kali menutur; raib di separuh lidah penerusnya. Padahal bahasa adalah identitas. Para lingus kerap membilang, kehilangan bahasa berarti kehilangan identitas.
sajian gurih lain berupa liputan khusus. Kawan-kawan di Lintas, berusaha menggali kesusastraan yang melejit di Ambon, Maluku.
Dalam tema yang seksi, “Sastra Maluku Patah Tumbuh Hilang Berganti”. Pada periode 1950 muncul sastrawan Dominggus Wellem Syaranamuall, dengan puisi “Pelarian Terakhir” yang cukup terkenal. Beberapa puisinya dimuat di surat kabar nasional, juga diarsipkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Karya-karya Dewesy yang sempat terdokumentasi seperti “Ada Satu Cerita, Kita Hanya Satu, dan Surat dari Laut”.
Kemudian pada Periode 1961 muncul sastrawan dan jurnalis, Julius R. Syaranamuall, dengan cerpennya “Laut Malam” memperoleh pujian dari redaksi majalah Horison tahun 1968. Karya lainnya, “Anak-anak Laut, Menaklukan Dunia Baru, dan Tuhan Jatuh Hati”.
Pascakonflik ’99 fase para sastrawan muda dengan puisi-puisi yang tak kalah berisi dan bergizi. Di antaranya, Dino Umahuk, Mariana Lewir, Martha Maspaitela, Marlen Alfons, Rudi Fofid, Hanafi Holle, Morika Tetelepta, Muh. Irfan Ramli, Habib Almascatie, Burhanudin Borut, Roymon Lemosol, Wesley Johannes, Theoresia Rumthe, dan Ecko Saputra Poceratu.
Pada tahun 2013-2019 terbit beberapa antologi puisi karya penyair Maluku, “Biarkan Katong Bakalai dan Pemberontakan Dari Timur”. Serta beberapa buah buku puisi, Metafora Birahi Laut (Dino Umahuk), “ Sebilah Luka dari Negeri Malam, Jejak Cinta di Negeri Raja-raja (Roymon Lemosol), Tempat Paling Liar di Muka Bumi, Cara-cara Kreatif untuk Mencintai (Wesly Johannes & Theoresia Rumthe), Hari Minggu Paling Ramai (Ecko Saputra Poceratu).
Mengutip pendakuan Rudi Fofid, dalam Liputan Khusus, “Penyair Lahir, Penulis Butuh Penerbit” kata Fofid, pada abad ke-21 memunculkan banyak penyair serta penulis muda, tumbuh menggeliat. Mulai dari membuka ruang diskusi, pementasan, hingga membuka kelas khusus terkait sastra. Kemajuan sastra di Maluku bisa dilihat dari karya penulis muda yang berhasil menembus dapur penerbit”.
Berbeda dengan Ecko Saputra Poceratu. Bagi Ecko, tidak semua penyair muda yang bermunculan, mereka dapat menerbitkan karya. “Saya yakin, penyair akan terus lahir. Namun, jika tidak ada penerbit, apresiasi sastra tak kunjung ada…”
Cerita selanjutnya, berupa sajian lika-liku kisah para penggawa literasi di Maluku, dalam menghidupkan tradisi baca-tulis. Sesuai paparan Kepala Kantor Bahasa Maluku, bahwa pendataan terakhir 2018, tercacat 30 komunitas Literasi se-Maluku. Dengan jumlah sebesar ini, besar pula kendala dihadapi, semisal keterbatasan buku, meminjam gedung kosong untuk ruang belajar, dan kurangnya respon pemerintah. Padahal, menghidupkan tradisi baca-tulis, laiknya menyalakan lilin di tengah gelap gulita.
Syahdan, secara pribadi, saya sangat mengapresiasi kerja keras kawan-kawan di Lintas, dalam merampungkan Majalah Berita Bulanan (24-30 Juni 2019) ini. Hingga menjadi santapan gurih di lidah pembaca.
Dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kawan-kawan di Lintas, di mana mengizinkan puisi saya tengger di Kolom Susastra. Pasalnya, media-media mainstream di Maluku, masih menutup diri perihal Kolom Susastra, malah Lintas satu-satunya media “kecil” yang bernyali membuka ruang ini. Hanya Lintas! Maka itu, mari kita belajar dari Lintas! Dengan sebuah langkah kecil, menuju langkah besar.
Akhirnya, bagian terpenting dari catatan ini adalah mari kita mengapresiasi karya perdana mereka, dengan cara membeli dan membaca. Karena dengan begitu gerakan literasi di Maluku, tumbuh menggeliat.
Salam Literasi!
Ishak R. Boufakar
(Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institut Makassar)