Jalan-jalan ke Kairo (01): The Mother of World

NYALANYALI.COM, Wisata – Langit begitu cerah saat saya keluar dari pintu bandara Cairo International Airport. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di kota yang memiliki sejarah begitu panjang, Kairo. Satu kata yang dapat menyihir dan membawa Anda ke peradaban yang berbeda. Sebuah bis mini telah menanti rombongan kami, para wartawan asal Indonesia. Seorang pemandu wanita dengan bahasa Inggris cukup baik menyambut kami dengan ramah.  “Welcome to Cairo, ” ujar Layla , yang berwajah khas Timur Tengah.

Kairo
Cairo Museum

Meski penat karena perjalanan udara yang cukup panjang, tetapi misteri dan keindahan Kairo tak ingin saya lewatkan begitu saja.Jika dipikir, memang aneh. Bukan sekali ini berkesempatan traveling,namun saya harus berusaha mengendalikan rasa gembira yang melonjak-lonjak tiap mengunjungi negeri asing.

Di akhir musim semi seperti ini, udara gurun cukup menyengat (32 derajat celcius), tapi angin dingin sesekali tetap menerpa. Dari balik jendela, lalu lintas Kairo tak jauh beda dengan Jakarta, walau badan jalan cukup lebar, di beberapa bagian tetap macet juga. Selama perjalanan, pemandu kami menceritakan secara singkat tentang keberadaan Kairo, yang menjadi ibukota terbesar di Mesir bahkan juga terbesar di benua Afrika. Karenanya penduduk setempat mengganggap Kairo sebagai  Umm-al-Dunya, the mother of the world.

Tiba-tiba, bis yang kami tumpangi sudah berhenti di depan sebuah monumen. Namanya Monumen Sadat, yang didirikan guna memperingati terbunuhnya Presiden Mesir Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981. Momumen ini dibangun  tepat di seberang panggung ketika penembakan terjadi.

Anwar Sadat Monument

Ada sekelompok pasukan tentara dalam jumlah kecil menjaga Monumen Sadat. Meski berseragam lengkap, para prajurit muda tersebut amat ramah pada pengunjung. Mereka siap sedia untuk diajak berfoto bersama. Inilah  acara pertama dalam agenda menelusuri kota bersejarah ini. Tujuan selanjutnya adalah The Egyptian Museum, tempat ribuan peninggalan Mesir bersemayam. Dari singasana emas para Firaun hingga mummi yang ditempatkan dalam kota-kotak bebas oksigen. Penjagaan ketat diberlakukan bagi semua pengunjung, selain harus melalui metal detector barang bawaan pun diperiksa dengan teliti.

Museum yang terletak di jantung kota Kairo ini memang tak semegah British Museum di London atau Louvre di Paris. Namun bila menilik koleksinya, The Egyptian Museum boleh jadi melerbihi dua museum tadi. Ada ribuan artefak dari zaman Mesir Kuno hingga Kekaisaran Romawi. Koleksi yang tak ternilai harganya ini ditata secara kronologis sehingga memudahkan pengunjung untuk memahami perubahan setiap era yang ditampilan. Salah satu yang paling fenomenal adalah harta karun peninggalan raja Tuthankhamen yang ditemukan arkeolog Inggris, Howard Carter pada 1922. Berbagai perangkat terbuat dari emas murni, benar-benar membuat mata silau, satu diantaranya peti jenasah seberat 110 kg. Namun yang selalu jadi incaran pengunjung untuk berfoto adalah patung kepala King Tut.

Tutankhamum

Hanya satu setengah jam berkeliling, tentu tak memuaskan dahaga para penikmat benda antik seperti saya. Apa mau dikata, kunjungan ke museum bernilai sejarah ini harus berakhir. Untuk mengobati rasa penasaran, saya membeli beberapa buku, termasuk katalog tentang koleksi museum tersebut di toko cenderamata yang letaknya tak jauh dari pintu keluar.   

Jarum jam menunjukkan pukul 12.30 waktu setempat. Saatnya mengisi perut.  Sebuah restoran yang menyajikan masakan khas setempat  menjadi tempat kami makan siang dengan menu yang cukup lengkap, dari nasi, daging domba, hingga aneka buah segar. 

Selepas makan siang, perjalanan berlanjut ke Saladin Citadel.  Bangunan ini dirintis sejak 1183 oleh Salahuddin Al-Ayubi, untuk membentengi Kairo dari serangan luar, khususnya saat Perang Salib. Selama pemerintahan Ottoman, Benteng Shalahuddin ini layaknya sebuah kota yang mandiri dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan  sekitar 700 tahun.

Dari tempat ini pandangan bisa lepas ke seluruh penjuru kota Kairo. Benar-benar panorama luar biasa. Di dalam benteng terdapat dua museum, Qashrul Jawharah (museum permata) berisi perhiasan raja-raja Mesir dan Mathaf As-Syurthah (museum polisi) yang memamerkan senjata para polisi Mesir sepanjang sejarah. Di utara benteng berdiri dengan megah Masjid Mohamad Ali, salah satu lambng kota Kairo. Masjid yang disebut sebagai “kembaran” Masjid Aya Sofia di Turki Ini memiliki kubah menjulang 52 meter ke angkasa yang begitu indah. Sementara menaranya berukuran 84 meter.

Masjid Muhammad Ali

Rekonstruksi masjid ini dimulai pada 1830, namun baru selesai pada 1857.  Dindingnya terbuat dari lapisan batu alabaster (sejenis marmer) dan granit. Itu sebabnya masyarakat setempat menyebutnya sebagai Masjid Alabaster atau Masjid Al-Marmari. Jika berada di halamannya, pengunjung dapat melihat kota Cairo, sungai Nil, dan Piramid Giza. Luar biasa.

Hari pertama ini, perjalanan di akhiri dengan sebuah tur tambahan yaitu Nile Cruise Tour.di malam harinya. Namun sebelum itu  kami diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak di hotel. Saya pun bisa bernapas lega. Setelah seharian berjalan, akhirnya tercapai juga keinginan saya berendam dengan air hangat untuk menghilangkan rasa pegal-pegal. Kenyamanan Cairo El Salam Hotel tak saya lewatkan begitu saja.

URRY KARTOPATI

Bersambung: Jalan-jalan ke Kairo (02)

Bagikan :

Advertisement