NYALANYALI.COM – Maria Ulfah mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan tersebut ia sampaikan kepada Mohammad Hatta dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Siapakah Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah? Perempuan ini kelahiran Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya, Mohammad Achmad seorang Bupati Kuningan, sedangkan Ibu kandungnya adalah anak kelima dari Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Karamatwatu dan Bupati Serang.
Di Serang, Maria Ulfah kecil menghabiskan masa kecilnya, Ia bersekolah dasar di Rangkasbitung Rangkasbitung. Saat, ayahnya dipindah ke Batavia atau Jakarta, Maria pun ikut boyongan ke sana. Begitupun saat ayahnya memperoleh tugas belajar perkoperasiaan ke Den Haag, pada 1929, Maria pun ikut. Kemudian ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Ia pun bisa disebut sebagai sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia,ia merah gelar Meester in de Rechten.
Pertemuannya dengan Sutan Sjahrir membuat Maria mulai mengenal dunia politik. Ia pun pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah dalam tiga mata pelajaran sekaligus yaitu pelajaran sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman. Maria pun menjalani kiprahnya sebagai aktivis gerakan perempuan, kala itu. Ia mendirikan organisiasi Isteri Indonesia. Organisasi ini menerbitkan majalah bulanannya sendiri. Ia pun menjadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut. Tulisan-tulisannya tentang gerakan perempuan di Indonesia.
Tak banyak pula yang tahu, bahwa melalui pemikirannya, Maria merupakan satu dari segelintir tokoh perempuan yang memerjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan. Perdebatan tersebut dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia pada 20-24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki.
Di masa kemerdekaan, Sutan Sjahrir memintanya untuk menjadi menteri sosial. Sosoknya menjadi Menteri sosial kala itu langsung mendapat sorotan dunia, bahkan Eropa pun belum lazim punya Menteri perempuan saat itu. Penunjukan Maria disebut untuk membantu pengurusan pengembalian tawanan interniran yang terdiri dari Belanda, Prancis dan keturunan Indo. “Karena itu, Bung Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri RI mendesak saya menerima jabatan itu,” kata Maria yang dimuat di Harian Kompas, 21 Desember 1980. Menurut Maria, tujuan Sjahrir menunjuknya sebagai menteri juga untuk meyakinkan sekutu bahwa Indonesia bukan boneka Jepang. Dalam tradisi Jepang saat itu, kedudukan wanita dipandang rendah. “Saya menerima tugas dari Bung Sjahrir demi kemanusiaan. Apalagi sebagian besar tawanan adalah wanita,” kata Maria.
Di masa Kabinet Amir Sjarifuddin, Maria memimpin kantor perdana menteri, setelah ia menolak tawaran jabatan Mensos hingga tahun 1959. Maria juga menjadi sosok penting di balik penetapan Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember. Hari Ibu sebenarnya sudah ditetapkan sejak Kongres Perempuan III, tapi hal itu baru diakui pada 1959 melalui Keppres No 316/59 setelah diusulkan kepada pemerintah di era Kabinet Djuanda.
Di dunia pers, Maria membantu Adam Malik mendirikan kantor berita Antara pada 1937. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Sensor Film selama 11 tahun (1950-1961). Setelah itu, pada 1950-1961 Maria pernah menjadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia. Bahkan di masa senjanya ia masih aktif menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung di masa Orde Baru periode 1968-1973.
Maria Ulfah menikah dengan Soebadio Sastrosatomo pada 1964, tiga tahun sebelum pensiun. Perempuan hebat ini tutup usia pada 15 April 1988 di usia 76 tahun setelah menjalani perawatan akibat bronchitis dan asma serta lambung berdarah. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pengabdiannya kepada negara ditulis dalam tinta emas sepanjang masa.
(dari berbagai sumber)