NYALANYALI.COM, Legenda – Pada 23 Mei 1959, dalam salah satu sidang Badan Konstituante, Haji Abdul Malik Karim Amrullah bangkit berdiri dan dengan lantang mengungkapkan pemikirannya, “Trias Politica sudah kabur dari Indonesa, Demokrasi Terpimpin adalah totaliterisme, Front Nasional adalah partai negara!”
Pernyataan politisi Masyumi itu tersiar melalui radio dan koran. Presiden Soekarno geram dengan hal tersebut. Beberapa waktu kemudian Badan Konstituante dibubarkan. Dan, HAMKA harus menuai ucapannya. Dengan segala macam tuduhan, ia akhirnya mendekam dalam penjara.
BACA:
HAMKA, Ulama Sastrawan (01): Jagoan Pasar Padang Panjang
Ia tak protes. Ia menjalani hukuman tersebut dengan tenang. Ketika tubuhnya terkurung di penjara, jiwa dan pemikirannya tetap terbang dengan bebas. Dari balik jeruji, HAMKA kemudian melahirkan tafsir Al-Quran yang dituangkannya dalam buku Tafsir Al Azhar. Bukunya itu kemudian menjadi salah satu karyanya yang paling brilian.
Kecendikiawanan HAMKA membuat ia memperoleh pengakuan tak hanya di level nasional tapi juga internasional. Pria yang tak sempat menyelesaikan sekolah dasarnya itu, bahkan pernah menjabat sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Moestopo. Pada 1958, Universitas Al Azhar Mesir memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepadanya. Lelaki kelahiran 16 Februari 1908 itu, kembali menerima anugerah yang sama dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada 1974.
Selain sebagai intelektual, HAMKA pun menghasilkan karya sastra. Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah dua karyanya yang mendapat pujian kritisi sastra. Yang disebutkan terakhir, sempat melahirkan tuduhan dari kaum komunis bahwa novel itu hasil jiplakan.
BACA:
HAMKA, Ulama Sastrawan (02): Bertemu HOS Tjokroaminoto dan Muasal nama HAMKA
Tuduhan itu dibantah oleh Soedarsono, mantan Menteri Dalam Negeri. “Jika Anda sudah membaca buku dan romannya yang lain seperti saya membacaya, Anda akan sependapat dengan saya bahwa HAMKA adalah seorang perintis besar nasionalisme Indonesia yang ikut membangun rumah persatuan dan kesatuan Indonesia,” katanya. Ia melanjutkan seperti yang dimuat di buku Kenang-Kenangan 70 Tahun Hamka, menurutnya HAMKA telah mengayunkan kampaknya yang tajam, terhadap batas-batas adat dan tradisi kuno yang memisahkan daerah dan suku di Indonesia ini.
Usia manusia ada batasnya. Jumat, 24 Juli 1981 di Jakarta. Ribuan warga bangsa ini menundukkan kepala dan meneteskan air mata tanda duka, ketika Sang Khalik memanggilnya. Di atas pasir pantai sejarah negeri ini, HAMKA telah mengukir jejaknya. Jejak yang membuat generasi bangsa ini tak sesat ketika kembali menapakinya. Jagoan Padang panjang itu, telah memenangi banyak kisah dalam hidupnya.
CHRISTO KOROHAMA
dari berbagai sumber
Bersambung: HAMKA, Ulama Sastrawan (04): Teladan Keluarga dan Puluhan Warisan Karya