Marah-marah

NYALANYALI.COM – Gara gara ada berita orang tua memarahi kasir sebuah tempat perbelanjaan karena anaknya dibiarkan membayar pembelian voucer google play 800 ribu, saya jadi iseng mencari tahu bagaimana sih caranya membeli saldo google play itu. 


Saya kemudian tahu, bahwa selain membeli voucher berbentuk fisik yang biasanya terpajang di salah satu rak di tempat perbelanjaan tertentu, kita juga bisa membelinya secara elektronik lewat google play, lalu memilih cara pembayaran dengan cara membayar di tempat tertentu. Nantinya ada semacam kode yang diberikan ke kita dan kita beritahukan kepada kasir. 


Orang tua yang mempublikasikan kemarahannya kepada seorang kasir ini di media sosial, justru mendapat serangan balik dari Netizen yang sebagian besar menganggap itu bukan kesalahan kasir, tapi salahnya orang tua. Komentarnya macam macam, seperti, kok bisa anaknya dibiarkan membeli voucher seharga sekian (soal mahal atau tidak relatif ya), harusnya dia marah ke anaknya, dan sebagainya. 


Cara orang tua ini berkomunikasi kurang bagus. Jelas dia hanya ingin menyalahkan kasir, menuntut tanggungjawab dan mempermalukannya. Tapi kasir juga merasa tidak salah, karena merasa tidak melanggar aturan dari perusahaan. Dia juga tersudut karena di satu sisi berkepentingan tempatnya bekerja mendapatkan pemasukan, tapi di sisi lain harus berhadapan dengan persoalan etis yang mungkin tidak masuk dalam prosedur operasional standar mereka. 


Saya punya sudut pandang yang berbeda soal ini. Isunya bukan soal ini voucher game online, bahaya kecanduan game, atau yang terkait dengan itu. Tidak. Tapi soal apakah kita tidak perlu punya sistem sosial yang lebih sensitif terhadap perilaku anak? atau apakah kita tidak perlu punya prosedur standar untuk melindungi anak anak dari kemungkinan terlibat masalah-masalah yang belum disadarinya dan tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan orang lain?


Bukankah wajar jika kita memberikan perhatian lebih kepada anak anak kita. Anggaplah semua anak anak itu adalah generasi penerus kita. Saya pikir bersikap begitu tidak berlebihan. Justru itu adalah kewajiban kita bersama. 


Jadi, misalnya, jika suatu saat sekolah mulai normal dan ada anak anak di jam sekolah malah sibuk main layangan di lapangan sambil beli es lilin, maka setidaknya penjual es lilin bertanya, “kok tidak sekolah?” “apa sekolah libur ya? “sama juga jika mereka di jam sekolah malah sibuk main game di warnet. Ditanya dulu baik baik. “Apa tidak sekolah? Sekolahnya di mana?”dsb. Lalu sampaikan kepada guru sekolahnya. 


Kalau ada anak SD membeli barang dengan harga tertentu yang cukup mahal, maka sebaiknya ada prosedur tambahan semacam meminta informasi dan persetujuan dari orang tua. Karena bukan tidak mungkin mereka mengambil uang orang tuanya atau orang lain tanpa izin. Begitupula jika mereka menjual barang tertentu yang setelah ditinjau dari berbagai segi, sulit dipercaya kalau itu miliknya sendiri atau kalau itu diakui milik orang lain maka kita seharusnya langsung curiga. 


Tidak perlu khawatir tempat usaha akan sepi, barang dagangan tidak laku, karena hal hal semacam ini justru akan mendapatkan apresiasi dari orang tua dan masyarakat sekitar. Kalau kita abai dan ternyata anak anak itu ternyata terlibat masalah hukum, kita pasti akan repot. Dan kerugian akibat kerepotan itu justru sulit dinilai dengan uang. 


Saat ini banyak sekali anak anak yang berhadapan dengan hukum, atau menjadi korban tindak pidana sebagai akibat dari apatisnya orang tua dan masyarakat sekitar. Hal ini dapat menimpa siapa saja. Bisa anak saya atau anak anak Anda


Daripada kita bertengkar untuk menunjukkan siapa yang lebih bersalah, lebih baik kita bekerjasama untuk memberikan lingkungan yang baik bagi anak anak. 

Masalah yang saya ceritakan di awal sudah selesai. Kedua belah pihak sudah berdamai. Namun peristiwa sederhana ini penting untuk kita renungkan bersama.

13 Mei 2021, KETUT DARPAWAN
Hakim PN Palu

Bagikan :

Advertisement