NYALANYALI.COM – “Aku akan menjadi pribumi yang melawan kulit putih. Karena aku tahu dengan kita melawan kita tidak sepenuhnya kalah,” kata Nyai Ontosoroh sambil membuka kipas yang terbuat dari bambu.
Adegan itu sangat kuat. Bagaimana Nyai Ontosoroh, tokoh yang memainkan rangkaian irama kisah dalam karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.
Dan, Happy Salma melakonkan perannya sebagai Nyai Ontosoroh selalu mengundang decak kagum penonton di berbagai pentas teater sejak 2007. Terutama monolog, yang dia lakukan.
Jika semula orang mengenal perempuan kelahiran Sukabumi, 4 Januari 1980 sebagai finalis Gadis Sampul, aktor sinetron dan film, kini namanya sebagai kembang panggung teater Indonesia makin diperhitungkan. Ia tak lagi semata sebagai pelakon tapi juga produser berbagai pentas teater, terutama melalui lembaga budaya Titi Mangsa yang ia gagas.
Tak hanya berperan sebagai Nyai Ontosoroh yang melekat padanya, lakon sebagai Inggit, istri Presiden Soekarno pun sudah diperankannya dalam Monolog Inggit sejak 2011 hingga 2014.
Tahun 2011, dalam film 7 Hari & Wanita 7 Cinta ia menmperoleh berbagai penghargaan antara lain Piala Citra untuk Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia 2010, Aktris Pembantu Terbaik dan Terfavorit di Indonesia Movie Awards 2011, Pasangan Terfavorit (bersama Rangga Djoned) di Indinesia Movie Awards 2011. Pada 2013, ia menjajal sebagai sutradara di film omnibus, Rectoverso.
Happy Salma yang termasuk dalam salah satu tokoh paling berpengaruh di Asia, versi majalah Malaysia, Tatler pada 2020 lalu, kepada Redaksi NyalaNyali.com, mengisahkan aktivitasnya saat ini. Istri Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa, ini mengisahkan pula tentang dua buah hatinya, Tjokorda Sri Kinandari Kerthyasa dan Tjokorda Ngurah Rayidaru Kerthyasa. Berikut kutipannya:
Bagaimana perjalanan Anda sebagai aktris?
Proses yang cukup panjang, sekitar usia 15 tahun saya ikut pemilihan model majalah Gadis sampul. Itu membuka banyak ruang saya untuk belajar. Di lain waktu, saya menyanyi dengan almarhum Franky Sahilatua dan dari dia saya mengenal dunia sinetron yang kemudian membesarkan nama saya.
Awalnya, saya sempat nyanyi bukan sama Mas Franky, di bandung dengan Mas Erry U’Camp Band, saat itu dia lagi mencari penyanyi muda. Tapi kemudian saya juga merasa suara saya tidak bagus-bagus banget ha-ha-ha.
Tidak terlalu nyaman dalam bernyanyi itu membuka ruang lain untuk saya, Mas Franky mengenalkan saya kepada temannya yang saat iu sedang membuat sinetron FTV .
Sudah berapa film yang dibintangi hingga sekarang?
Kalau film yang dibintangi sekitar 15 judul film (antara lain: Gie, Capres, Insya Allah Sah, Merah Putih Memanggil, Sekala Niskala, Dilan 1990, Buffalo Boys, Dilan 1991, Milea: Suara dari Dilan, Bebas – Red). Di film saya nggak terlalu banyak aktif, untuk judul sinetron yang saya terlibat sekitar 30-an (antara lain: Arjuna Mencari Cinta, Keluarga Sabeni, Prahara Batavia, Jangan Ambil Nyawaku, Si Cecep, Preman Insyah, Nyonya-nyonya Sosialita, Mualaf, Dunia Terbalik – Red) dan puluhan judul FTV lain.
Peran Anda sebagai Nyai Ontosoroh masih sangat lekat di benak penikmat teater, apa pendapat Anda? Apakah kebanggaan atau beban?
Nyai Ontosoroh. Saya mengagumi karya Pramoedya Ananta Toer, saya bisa ikut terlibat dan memainkannya juga tentu bahagia dan menjadi kebanggaan saya tersendiri. Soal bagaimana itu diingat penikmat teater, buat saya itu sebagai bonus. Apa yang ingin disampaikan oleh Pram semoga sampai ke banyak orang.
Peran apa yang ingin Anda lakoni dalam film atau sinetron? Mengapa?
Peran-peran yang biasanya dekat dengan keseharian itu yang justru sulit bagi saya. Jadi kalau saya berpikir jadi orang gila atau perempuan yang berbeda sekali dari karakter saya, malah mungkin akan lebih menantang, saya bisa bermain-main dengan karakter begitu, yang sangat masuk akal dan sangat dekat sehari-hari itu tidak mudah. Saya rindu peran seperti itu.
Apa yang membuat Anda aktif juga di panggung teater, apa pencetusnya? Bagaimana keasyikannya?
Saya mencintai karya sastra, itu pencetusnya, Dan sekitar 2008-2009 saya membuat lembaga biudaya, Titi Mangsa. Lewat lembaga itu mengalihwahanakan karya sastra ke panggung teater, jadi panggung adalah kendaraan untuk saya menterjemahkan dan mengalihwahanakan karya-karya sastra yang saya sukai.
Adakah rencana dalam waktu dekat ini?
Waktu dekat ini, jujur dalam 5 tahun ini saya tidak terlibat dalam film panjang, kalau pun saya terlibat di film peran-peran kecil karena waktu saya terbatas fokus dengan keluarga dan panggung.
Kalau di panggung tetaer, saya kan memproduseri jadi lebih bisa mengatur pola kerjanya. Nah, tahun depan ada film panjang bukan produksi saya, yang saya akan terlibat di sana.
Di antara kesibukan itu, sebagai seorang Ibu bagaimana konsep Anda mendidik anak-anak?
Mendidik putra putri saya pun masih belahjar, yang pasti bagaimana supaya mereka juga dekat dengan alam.
Dekat dengan alam pasti akan banyak pembelajaran yang didapat mereka menghadapi kehidupan. Bagaimana caranya berempati, bagaimana menghargai lingkungan dan semoga itu di kemudian hari dapat membantu anak-anak ketika mereka tumbuh.
Bagaimana dengan pandemi Covid-19 ini? Apakah sangat mengganggu berbagai aktivitas Anda?
Pandemi ini, jujur semua kita beradaptasi. Saya sudah mulai adaptasi dengan baik pola kerja, selama Covid ini saya masih aktif memproduseri beberapa kegiatan seperti pentas yang saya bikin secara daring membuat program sandiwara sastra kerja sama dengan Kemendikbud, bisa dengarkan di Spotify atau Podcast. Cari budaya kita, sandiwara sastra yang melibatkan 22 publik figur. Mereka memainkan peran dari buku-buku sastra karya Ahmad Tohari, Dewi Lesatri, Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, Umar Khayam dan lainnya.