Kontroversi Kartu Natal Pertama, Sekarang Selembarnya Rp 352,7 Juta

NYALANYALI.COM – Entah sudah berapa tahun saya tidak pernah lagi melihat kartu Natal. Tidak pernah lagi mengirimkannya, juga tak pernah lagi menerimanya. Mungkin ada 20 tahun lebih ketika Internet dengan emailnya menjadi sarana bertukar kartu Natal melalui e-card.

Lalu teknologi SMS dan sekarang di medsos maupun WA orang bisa mengucapkan Natal: “Bro, Merry Christmas ya” tanpa harus repot2 membeli kartu Natal, menuliskannya, membeli perangko dan mengirimkannya ke kantor pos. Padahal dulu, semasa kecil, hari-hari ini adalah hari di mana banyak kiriman kartu Natal datang ke rumah, dibawa Pak Pos… Dengan hati gembira, kartu2 Natal itu biasa kami taruh di bawah pohon Natal. Kartu Natal kini tinggal kenangan.

Toko buku Marvin Getman yang berbasis di Boston, AS, pekan lalu mengumunkan akan menjual kartu Natal yang pertama kali dicetak secara komersial. Ia adalah kartu Natal pertama di dunia yang dicetak secara komersial yang menggambarkan suasana modern perayaan Natal yang memicu kontroversial, mengingat masyarakat Inggris pada abad ke-19 terkenal masih puritan.

Tak main-main harganya. Pihak toko buku, seperti saya kutip dari CNN, mengumumkan akan menjual kartu Natal pertama itu dengan harga US$25.000 atau sekitar Rp352,7 juta per lembar.

Kartu tersebut diproduksi oleh Henry Cole, John Calcott Horsley, dan Joseph Cundall pada 1843 silam. Kartu menggambarkan ide modern tentang perayaan Natal pada masanya. Kartu itu menggambarkan sebuah keluarga beserta gadis-gadis kecil berkumpul bersama merayakan Natal dengan menikmati segelas anggur.

Gambaran itu pun memicu kontroversial di Inggris, utamanya di tengah kelompok masyarakat yang menyerukan pantang konsumsi minuman beralkohol. Meski ide modern tentang Natal dan berbagai tradisinya telah muncul sejak paruh pertama abad ke-19, namun kala itu masyarakat Inggris masih dilingkupi oleh watak puritanismenya.

Ya. Gambar di ucapan kartu natal itu, waktu diterbitkan, sempat memicu kemarahan. Gambar dianggap mendorong budaya minum alkohol, tak cuma di kalangan dewasa, tapi juga anak-anak dan remaja. Mulanya, kartu dicetak sebanyak seribu eksemplar. Saat ini, diperkirakan hanya ada 30 eksemplar yang tersisa. Beberapa di antaranya dipajang di museum untuk dijual. Dulu, harganya cuma 1 shilling per lembar.

DEDDY H PAKPAHAN
(dari berbagai sumber)

Bagikan :

Advertisement