NYALANYALI.COM, Kisah – Ia berjalan cepat di antara bangku-bangku, dan di salah satu lorong ia kemudian sujud di depan lelaki tua, seorang takmir masjid yang mempertanyakan undangan kepadanya.
“Kenapa undangan ini berbunyi pembinaan takmir. Salah kami sebagai takmir apa,” kata Tohir, lelaki itu.
Pertanyaan itu bagai palu godam berdentum di dada Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Pertanyaan dari seorang tua, takmir masjid yang tak kondang.
Risma, tak bisa berkata-kata. Ia tak hendak membela diri dengan argumentasi rumit agar salah tak tertimpa padanya. Ia tak mencoba menyalahkan siapapun. Ia tak seperti pejabat publik gila kuasa, bisa-bisa digelandang keluar Pak Tohir karena dianggap mempermalukannya, seorang pejabat, lho.
Risma tak memilih itu semua. Ia merendahkan dirinya, bahkan sujud di depan Tohir, takmir masjid yang bukan siapa-siapa, sambil mengucapkan maaf berkali-kali.
Kejadian itu cepat, Tohir justru terkejut. “Jangan begitu bu, jangan begitu…” kata Tohir, suaranya tercekat. Seisi ruangan terkejut dalam diam.
Kejadian di Gedung Wanita Kalibokor, Surabaya, Rabu, 16 Mei 2018 itu akan tercatat dalam sejarah. Petinggi wilayah tak gengsi, tak malu-malu, tak banyak pikir untuk meminta maaf pada rakyatnya. Bukan sujudnya, tapi kerendahan hatinya menyorongkan maafnya. Ini, tak banyak pejabat yang bisa.
Bom-bom meledak di kota yang sangat dicintainya. Membuatnya sedih tak kepalang. Air matanya terus jatuh, korban-korban itu warganya. Cintanya pada warga dan kotanya sepenuh hatinya.
Kota yang dibangunnya dan ia ingin bersamanya selalu, tak peduli dengan iming-iming diajukan partainya untuk maju ke posisi lebih tinggi capres, cawapres, cagub dia tolak. Risma memang unik, dia berbeda.
Betapa marahnya ia, sebuah perusahaan es krim mengadakan kegiatan yang menyebabkan tanaman-tanaman di taman kotanya terinjak-injak.
“Kalian tidak punya izin ngadain ini, lihat semuanya rusak! Kami bangun ini nggak sebentar, biayanya juga nggak sedikit. Kalian seenaknya merusak. Saya akan tuntut kalian!” seru Risma, tiga setengah tahun lalu.
Saat upacara, pegawainya bergurau. Ia segera turun panggung, Ia datangi dan menegur tak basa-basi. Betapa marahnya pula Ia ketika mendapati pengurusan pembuatan KTP warganya dipersulit pelayan publik. Kantor camat kotor ia labrak. Pengedar pil koplo pun ia tunjuk-tunjuk menahan amarah. Suaranya kemudian serak, ia menangis terus menerus ketika bom melukai rakyatnya.
Risma memang beda. Kemarahannya bisa meledak, ketika ia mendapati warganya tak diurus pegawainya. Kata-katanya tak dibungkus kepentingan politik. Tangisnya bisa luruh ketika mengetahui rakyatnya dalam kedukaan. Permohonan maafnya bisa datang dengan cara yang tak terduga. Sujud dia.
Risma tak perlu panggung besar disorong-sorong jadi penguasa yang lebih tinggi, karena ia sudah besar dengan sendirinya. Keteguhannya pun tak bisa dikalahkan bahkan oleh partainya sekalipun. Dia mencintai kotanya seperti Ia mencintai dirinya sendiri. Dia menghormati warganya, bukan mencari untung dari rakyatnya.
Risma punya kelas sendiri. Semoga selalu begitu.
23 Mei 2018
S. DIAN ANDRYANTO
Buku #sayabelajarhidup ke-8 NYALA NYALI (2018)