Andai saja ada ajang penghargaan bagi orang-orang yang pandai bersyukur, mungkin Azis, 54 tahun, berpeluang untuk mendapatkan penghargaan itu, sebab dia telah menjadi pejuang rasa syukur bagi dirinya, juga keluarganya. Tak mudah bersyukur dengan kondisi seperti yang dialaminya. Kedua matanya tak bisa melihat sejak umur tujuh tahun. Sejak 2007, berjualan kopi di Komplek Masjid Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Menjajakan kopi ke para penjiarah makam Habib Hussein Alaydrus, penyiar Islam pada abad-17 yang makamnya berada di komplek masjid tersebut, dilakoni setiap malamnya.
Masa kecil Azis di kampung halamannya, Palimanan, Ceribon, tak beda jauh dengan kehidupan anak-anak seusianya kala itu. Dihabiskan masa kecilnya untuk bermain, menggembala ternak, mengaji di malam hari. Setiap hari terus dijalani rutinitas itu tanpa ada kebosanan hingga pada suatu ketika, Azis merasakan sakit, hanya sekadar sakit panas biasa pada tubuhnya.
Sakit itu tak pernah diduga oleh Azis dan orang tuanya akan menjadi jalan kebutaan baginya. “Sebelum buta, saya cuma sakit-sakit panas biasa aja,” kata Azis. “Saya juga tau cewek-cewek cantik sebelum saya nggak bisa melihat, hehehe…”
Hampir lima tahun, Bapak lima anak itu harus berproses menuju kebutaan akibat penyakit panas yang dideritanya. Pada usia remajanya Azis harus menerima kenyataan, hidup tanpa bisa melihat, menjadi tuna netra di usia belia.
Dalam situasi paling suram itu, acap kali dia menangis dan berharap tanpa henti agar sembuh dari kebutaan. Begitupun kedua orang tuanya, tak tega. Tak ada upaya lain, selain doa menuju asa.
Dalam suatu malam Azis mendengar ibunya berdoa, saat itu pula dia langsung memprotes doa yang dimunajatkan ibunya untuk dirinya. “Saya pernah dengar ibu saya berdoa, Ya Allah gak apa-apa anak saya buta, saya ikhlas, tapi hamba mohon jangan Engkau jadikan anak saya pengemis dengan kebutaanya. Berikan Azis kemuliaan dan kekuatan menghadapi kenyataan, berikan dia pekerjaan yang baik. Kalau harus jadi penjaga pintu, gak apa-apa Ya Allah.”
Sontak saja Azis menghampiri ibunya, “Bu, minta sama Allah jangan minta saya jadi penjaga pintu, yang lebih baik dari itu lah!”
Azis dan Sang Ibu menangis di sepertiga malam dalam simpuh kepasrahan kepada Tuhan.
Dengan kondisi itu, rupanya Azis tak merundung pada keadaan. Azis muda mulai bangkit. Menjadi pedagang klontong di kampungnya, langkah awal yang dilakoni. Setelah siap secara materi dari hasil jerih payahnya, Azis menikah. Tak hanya berhenti dengan punya satu warung kelontong, Azis mulai melebarkan sayap usahanya, membuka warung jamu, menjadi pengepul kelapa muda, dikelola bersama isterinya.
Semakin bertambah rasa syukur Azis, keluarga bisa dinafkahi dengan usahanya. Namun, ujian belum berhenti, perlahan Azis mulai mengalami kebangkrutan hingga tak memiliki usaha lagi. Dasar manusia tangguh, dia yakin bahwa ini hanya ujian, harus dijalani. Pasti ada jalan keluarnya.
Sejak 2007, Azis meyewa rumah petakan di Penjaringan bersama isteri dan lima orang anaknya. Biaya hidup hanya mengandalkan dari berjualan kopi. Sabar dan syukur, dua senjata hidup yang dipegangnya. Buah dari perjalanan spiritual.
Senjati hidupnya itu kembali harus diaplikasikan, saat proses kelahiran anaknya yang kelima. Isteri Azis harus dilarikan ke rumah sakit karena ada persolan pada proses persalinannya. Stelah beberapa hari, petugas administrasi memanggilnya. “Pak, baru tiga hari di sini (rumah sakit) biayanya sudah 28 juta, tapi belum ada uang muka,” kata petugas administrasi salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Utara, dengan ketus.
Bingung, takut, sedih. Azis tak tahu harus berbuat apa. Hanya berdoa yang bisa dilakukannya saat itu. Kebesaran kembali dipertunjukan kepadanya, Keesokannya, dia bertemu dokter dan diarahkan untuk berkoordinasi dengan wadah para tuna netra, Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia).
Biaya persalinan isterinya sebesar Rp 40 juta dilunasi oleh Pertuni, bentuk solidaritas sesame penyandang tuna netra. “Bagaimana saya tidak selalu sabar dan bersyukur, setiap masalah saya selalu ada jalan keluarnya.”
Naskah dan Foto: Norman Senjaya – Jakarta
email: senjaya.nour@gmail.com
Buku #sayabelajarhidup ke-11: NUSANTARA BERKISAH 2 – ORANG-ORANG SAKTI (2019)

Pejuang Tangguh di Pojok Luar Batang
Rekomendasi
Kadis Koperasi dan UMKM Sumut Dukung Penuh Koperasi Keluarga Pers Indo...
10 Pujian Maut untuk Si Dia
Orang Kaya Sejati
John Lennon (02): The Beatles dan Rangkaian Kontroversi
Elang Muda Berdaya
7 Catatan Bambang Windjojanto: Solidaritas Pegawai KPK Supreme Solidar...
Novel Baswedan Tak Pernah Menepuk Dadanya Sendiri
Menunggu Pengiris Luka Tiba
Ruang Baca Faisal Basr
Hidup Memang Puisi