NYALANYALI.COM – Jurnalis muda itu terus mengikuti setiap kata pejabat pemerintah tentang alasannya membatasi akses sosial media beberapa hari ini. Demi keamanan, tak tersebar masifnya hoax, dan ajakan supaya kembali ke media mindstream.
Dia terus mendengar, dia terus mencatat, rekamannya terus berputar.
Wartawan muda ini kemudian balik bertanya: untuk berapa lama pembatasan akses itu? Sementara itu ada kepastian waktunya.
Apakah karena kerusuhan ini gagasan itu diwujudkan, motif besarnya apa? Apakah tak melanggar kebebasan masyarakat berkomunikasi dan mendapatkan informasi? Apakah yakin dengan begitu alternatif informasi lain bisa dibendung?
Pejabat itu kelihatan berkeringat.
Dia bertanya lagi, bukankah pemerintah punya segala akses, teknologi dan sumberdaya untuk memfilter kabar hoax itu, dibandingkan siapapun juga di negeri ini? Apakah perlu membunuh seekor lebah yang menyengat dengan membakar seluruh sarangnya?
Banyak lagi pertanyaan dari wartawan muda itu.
Pejabat pemerintah terus pula berusaha menjawab. Demi keamanan, demi tidak makin tersebarnya banyak hoax, mengajak kembali ke media mindstream, sama seperti yang dijelaskannya tadi dan tadi.
Wartawan muda itu mendengar, mencatat, dan rekamannya terus berputar.
***
Jurnalis muda tadi sudah sampai kantor. Dia mengetik berita yang ia liput tadi. Ucapan pejabat ia kutip, pertanyaannya ia tulis. Ada yang menurutnya masih kurang. Adakah yang merasa sungguh terdampak langsung dari kebijakan ini?
Dia membuka akun sosial medianya. Kebanyakan blank tanpa foto. Para penjual berbagai barang melalui media sosial itu, melontarkan kegelisahan dan keluhannya. Katanya bisa normal kalau pakai VPN, tadi tak yakin seberapa besar risikonya?
Penjual pakaian tak bisa memberikan gambar baju terbaik yang dia dagangkan. Penjual kue lebaran tak bisa upload gambar nastar, kastangel, putri salju, lidah kucing yang biasa ia tawarkan. Penjual jus dan kopi tak bisa menampilkan kemasan dagangannya yang menggiurkan. Penjual-penjual lainnya yang memasarkan dagangannya tanpa biaya iklan di sosial media itu terpukul, sepertinya. Tidak semua memang, karena orientasi pilihan politiknya menjadikan yang sebagian itu maklumnya maklum.
Di televisi, ia melihat seorang pejabat pemerintah sedang berkata dengan mencoba penuh wibawa. “Mari kita meningkatkan kemandirian ekonomi rakyat bla bla bla”.
Kue klepon persiapannya berbuka puasa, ingin rasanya ia lemparkan ke wajah di televisi itu.
Bertubi-tubi. Plak pluk plak pluk.
25 Mei 2019
S. Dian Andryanto
Penulis #sayabelajarhidup BACA:
Cover Both Side
Cover Both Side (2) : Sekaleng Susu