Reality Show Zaman Now

NYALANYALA.COM, Opini – Senjakala zaman old dengan berbagai cerita romantis itu mulai pudar. Berganti elegi zaman now yang serba konsumtif dan centang perenang. Hedonis individualistik.

Dulu, tiga dekade lalu, orang-orang muda usia begitu menikmati waktu kebersamaan mereka dengan berkumpul dan berbagi cerita. Berseling tawa renyah penuh canda. Sahaja kehidupan sosial antarsesama begitu kental di kala itu.

Kini, semakin sulit fenomena tersebut kita temui. Apalagi di kota-kota besar dengan julukan smart-city. Kota pintar dengan segala kemudahan berbayar pada akses informasi teknologi terutama Internetnya yang merambah khalayak hingga ke ruang-ruang pribadi.

Mungkin di sana, di pelosok pedalaman. Tempat-tempat terpencil, di mana sinyal Internet dan kehadiran perangkat teknologi informasi belum dikenal. Kebersahajaan hidup orang-orang masih saja melekat erat seperti tontonan yang kerap kita asup melalui siaran televisi atau video amatir dari para warganet. Ada ironi yang menari-nari riang di sana. Ya, hanya di sana, kebersahajaan hidup masih bisa dengan mudah terjumpai.

Namun rupanya, sinyal elektromagnetik dengan segala kenyamanan berbayar itu, turut pula mengalirkan virus-virus jahat selain aneka kebaikan dan akses cepat berbagi informasi. Mengubah drastis pikiran dan laku anak-anak kita bahkan tanpa kita sadari. Informasi sampah yang menjijikkan bisa dengan mudah terakses.

Memapar tanpa ampun untuk selanjutnya memengaruhi mereka. Laksana racun arsenik yang tak menampak itu. Menjejali benak lugu anak-anak kita, anak-anak “zaman now”. Anak-anak kecil urban di kota-kota yang kini karib bermain games dan mengakses aneka rupa tontonan melalui jejaring terkoneksi tanpa batas dengan mudah dan murah.

Sedini usia mereka. Sementara, kebersamaan dalam kelompok yang natural kian sulit didapati. Lamat-lamat, sahaja kebersamaan dalam ruang sosial yang natural menjadi hal langka.

Jika dulu, video games adalah barang mewah bagi sebagian besar anak-anak kecil. Hanya dipunyai mereka yang hidup dalam keluarga yang mapan secara ekonomi. Sekarang, sudah tidak lagi. Revolusi teknologi menjadikannya murah dan masif. Dapat dijangkau oleh kalangan menengah dengan ekonomi pas-pasan sekalipun.

Teknologi bermain menjadi sebuah kezaliman. Bahkan, anak-anak usia dini sudah dibekali perangkat teknologi pribadi oleh orang tua mereka. Gengsi dan kesibukan orang tua menjadi penyebab. Mindset tenknosentris bagi kekanak tersebut kemudian merebak luas seketika. Secepat akses informasi yang terbagi-bagi dalam genggaman khalayak dan menjadikannya tren kekinian. How come?

Ya, sebagai orang tua dari “kids zaman now”, kita hanya bisa berharap bahwa semakin banyak kebaikan yang mampu terserap oleh mereka. Anak-anak kita, pelakon masanya di depan sana. Pun begitu, kebijaksanaan dalam memandang teknologi sebagai alat bantu belaka untuk memudahkan urusan teknis tentulah sangat diperlukan.

Tersebab, teknologi bisa pula menjadi candu mengerikan. Membuat mereka bergantung pada teknologi lalu hidup menyendiri dalam dunia virtual mereka. Teralienasi dari realitas kehidupan sesungguhnya. Just beware….

IHWAN PUTUHENA
Staf pengajar di IAIN Ambon – Ambon, Maluku

BACA:
Jangan Lupakan Masalah HIV/AIDS
Jalan-jalan ke Los Angeles (01): The City of Angels

Bagikan :

Advertisement