NYALANYALI.COM, Jakarta – Data Transparency International yang dipublikasi terkait Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia 2020, membuat berbagai pegiat antikorupsi mengelus dada.
Data itu menjelaskan nasib pemberantasan korupsi yang tidak menentu dan bahkan mengalami kemunduran. Skor CPI (Corruption Perception Index) dan peringkat global Indonesia turun drastis, dari skor 40 pada tahun lalu menjadi hanya 37 pada 2020. Sementara peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102.
“Data TI ini menjelaskan bahwa politik hukum pemerintah semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi,” begitu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan rilisnya.
Merosotnya skor IPK 2020 Indonesia semestinya menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi Pemerintah yang selama ini diambil justru memperlemah agenda pemberantasan korupsi. Skor IPK 2020 juga dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi.
Menurunnya IPK Indonesia 2020 ini mendapat tanggapan serius dari Abdul Fickar Hadjar. “Ini karya Jokowi yang monumental,” katanya. “Ya, semua proyek fisik Jokowi lah yang banyak memberi peluang terjadinya korupsi,” kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti itu.
UU KPK baru yang mendapat kritik keras dari pegiat antikorupsi beberap alalu itu ternyata tidak membuat IPK Indonesia membaik. Malah jeblok. “Ya, itu UU KPK yang baru, yang membuat KPK menjadi lembaga yang tidak independen dan dikuasai pemerintah. Inilah salah satu hasil UU baru KPK,” katanya.
Menurut Fickar, barometer peningkatan IPK adalah hasil kerja KPK, itupun ketika KPK independen sebagaimana independensi BI mengelola perbankan Indonesia, dengan didukung oleh masyarakat sipil antikorupsi. “Tetapi, ketika independensi itu diambil, selain memberi ruang untuk mengendalikan KPK secara psikologis melonggarkan ruang dan peluang bagi korupsi untuk tetap berkembang,” kata Abdul Fickar Hadjar.