NYALANYALI.COM, Kisah – Sore, Ahad, 23 September 2018, saya berkesempatan menemui Wisar Bahri. Ia akrab disapa Pak Wisar. Pria 60 tahun berperawakan tambun tersebut sedang melayani satu-dua pelanggan yang kebetulan lewat untuk membeli rokok dan pulsa telepon.
Kios Nelly adalah nama tempat usaha sekaligus tempat tinggal Pak Wisar dan istri. Tempatnya cukup sederhana dengan luas sekira 5 x 5 meter persegi. Masuk dari pintu kios di sebelah kanan sederetan buku-buku tersusun rapih lalu selebihnya dipenuhi ragam souvernir serta barang seni kerajinan tangan khas yang unik. Ada aneka ragam benda tajam dengan bentuk berbeda-beda mulai dari pisau lipat, pisau berburu dengan aneka model, keris, samurai, golok, mandau, rencong, tongkat kayu, gantungan kunci, souvernir Kuningan, dan lain-lain. Beberapa patung kayu khas suku Asmat dan kerajinan kayu ukir khas Tanimbar juga tampak tersampir di sela-sela ruang dalam kios. Ada pula uang koin dan uang kertas dulu-dulu yang terpajang di sana.
Kios Nelly beralamat di Jalan Sam Ratulangi, Ambon. Berada di tengah areal bisnis yang tak jauh dari pelabuhan penumpang dan peti kemas Yos Sudarso Ambon; atau, sekian ratus meter sebelah utara Mesjid Raya Alfatah Ambon. Sebuah kios kecil sederhana tapi menjual beragam-macam barang unik dan bernilai bagi para kolektor hingga turis mancanegara yang mampir berkunjung. Mulai dari buku klasik hingga karya seni antik dan segala macam souvernir unik tersedia di Kios Nelly.
Darwatni, istri dari Pak Wisar, berusia 57 tahun. Keduanya telah hidup bersama selama 37 tahun. Bu Darwatni berasal dari Minangkabau dan masih kerabat Pak Wisar Bahri. Kawin keluarga menurut pengakuan Pak Wisar. Mereka dikaruniai dua orang anak dan tiga orang cucu. Saya sudah beberapa kali ke tempat unik dan ‘the one and only’ di kota Ambon ini. Kali ini sudah yang ketiga saya mengunjungi Kios Nelly. Biasanya saya berbelanja souvernir serta beberapa buah buku. Namun, baru kali ini saya berkesempatan untuk mewawancarai langsung sang pemilik, pak Wisar Bahri.
Darah usaha mengalir kental dalam tubuh Wisar Bahri. Terlahir dari bapak asal Minang dan ibu asal Bugis. Pak Wisar sendiri kelahiran kota Ambon. Ia lalu berkisah tentang sekelumit pengalaman hidupnya dari menjadi seorang pelaut hingga melanjutkan usaha rintisan dari orang tua. Bedanya pada jenis usaha. Jika orang tuanya dulu berjualan obat dan barang kelontongan maka oleh Pak Wisar dan Bu Darwatni, usaha tersebut lalu diubah menjadi kios souvernir, barang unik, dan hasil seni kerajinan tangan.
Meskipun demikian, usaha kelontongan tetap saja ada sebagai pelengkapnya. Inspirasi untuk berjualan barang unik lagi antik tersebut didapati Pak Wisar ketika berkeliling dunia sewaktu muda. Pada dekade tahun 1980 hingga akhir 200-an, Pak Wisar telah berlayar keliling manca negara.
Pak Wisar bukan sebagai diplomat. Ia mengabdi sebagai ABK (anak buah kapal) yang lazim dikenal dengan gelar ‘pelaut’ ketika itu. Kapal tempat Pak Wisar bekerja adalah kapal luar alias kapal dengan rute luar negeri yang rutin menyambangi bandar laut antarbenua. Sebagian besar kota pelabuhan di benua Amerika, Eropa, dan Afrika telah dikunjungi Pak Wisar.
Dan, ketika melihat toko souvernir pada setiap kota yang disinggahinya itulah terbesit keinginan pak Wisar untuk membuka usaha serupa ketika beliau pensiun nanti. Jadilah Kios Nelly yang dirintisnya semenjak akhir 90-an tersebut. Kios Nelly sudah beberapa kali berpindah tempat. Sempat pula vakum ketika terjadi kerusuhan lalu buka lagi setelah kota Ambon mulai kondusif untuk berusaha.
Nah, sewaktu vakum itu Pak Wisar sempat melaut lagi hingga akhirnya pensiun dari dunia pelaut hingga stay mengelola kiosnya itu dari tahun 2008 hingga kini. Penamaan Nelly diambil dari nama panggilan anak perempuan pertama beliau.
Sebelumnya, kios unik milik Pak Wisar dan Bu Darwatni tersebut bernama Kios Asmat. Penamaan Asmat diambil karena menurut pengakuan pak Wisar, budaya suku Asmat sangat terkenal di manca negara. Rupanya, popularitas Asmat melebihi Bali dan tempat wisata lainnya yang terkenal di Indonesia. Travel-travel di kota pelabuhan yang ia kunjungi selalu terdapat foto ikonik kepala suku Asmat lengkap dengan aksesoris koteka yang menutupi kemaluan dan taring babi yang tersemat pada hidung.
Selain berburu buku bekas dan langka, Pak Wisar juga berlangganan dengan para pemulung yang mengumpulkan barang layak pakai dari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Passo. Ajaibnya, sebagian besar buku langka yang banyak diminati orang itu ternyata didapat pak Wisar dari para pemulung. Buku bekas lainnya didapat Pak Wisar ketika bertandang ke Jakarta.
Bahkan ia bersedia membeli buku bekas yang masih layak untuk dijual kembali. Untuk buku langka dengan literatur bahasa asing (Belanda dan Inggris) kebanyakan tentang sejarah Maluku oleh pak Wisar hanya bisa dikopi saja dan tidak untuk dijual. Selain buku bekas, ada pula buku baru yang masih tersegel plastik. Buku tersebut dipasok oleh agen buku dari Jawa. Pak Wisar bukan hanya menjual buku, ia adalah penikmat bacaan. Di sela waktu berjualan, pak Wisar tak lupa membaca buku-buku koleksi miliknya.
Pelanggan setia Kios Nelly ada beberapa tipe menurut pak Wisar. Ada pegawai negeri yang rutin membeli samurai, keris, dan sentaja tajam unik untuk dipajang di ruang tamu atau sebagai barang kolektor. Ada juga turis-turis asal Belanda atau Australia yang menjadi langganannya.
Tersebab, menurut pak Wisar, turis asal kedua negara tersebut biasanya langsung ke Ambon dan tidak lagi singgah ke tempat wisata lain. Dikarenakan, sudah ada rute penerbangan langsung dari dan ke Belanda atau Australia. Karenanya, mereka bisa membeli barang khas dari daerah lain yang juga dijajakan di Kios Nelly.
Naskah dan Foto:
Ihwan Putuhena (Wan Puthe) – Ambon, Maluku
Buku #sayabelajarhidup ke-9: Nusantara Berkisah 01 (2018)