NYALANYALI.COM, Kisah – Lantai basah dan bau anyir tak pernah membuat perempuan tua itu terganggu, bosan, dan merasa enggan bergumul dengan aroma amis yang menyengat dari ikan-ikan yang berkeranjang-kerangjang banyaknya. Segar terasa air laut tapi tetap membuat hidung merasa tidak nyaman untuk terus menghirupnya. Wangi khas yang siapa saja pasti akan terbiasa dengan aroma itu.
Perempuan parobaya itu terus saja memilih dan memilah berpuluh-puluh ikan dari berbagai jenis. Kulit tangannya yang terlihat jelas keriput hampir menutupinya, tetap saja ia lincah memindahkan beberapa ikan ke ember-ember dan tong plastik yang selalu dia bawa. Lantai Tempat Pelelangan Ikan Sayung Demak itu bagai tidak pernah tidur. Hiruk pikuk para pengais rejeki di pasar ikan ini ramai berceloteh menawar dan melakukan transaksi.
Mbah Sukinah nama perempuan itu. Ia seakan sudah tidak asing lagi dengan situasi dan keadaan pasar ikan yang selalu riuh di tiap dini hari. Sejak sepertiga malam Mbah Sukinah sudah memulai aktivitasnya. Di TPI ini ikan-ikan dagangannya dia peroleh.
Saat semua sedang terlelap di hangatnya malam, Mbah Sukinah sudah harus memerangi rasa dingin yang menyergapnya. Pak Sholeh, tukang ojek langganannya tahu benar dengan keadaan ini. Hingga dia selalu menjalankan motor CB-nya perlahan ketika Mbah Sukinah duduk di atas boncengan.
Sudah 30 tahun, semenjak kepergian Tarmuji, suami tercintanya –seorang tukang kayu yang bekerja di toko meubel di daerah Prampelan Demak– Mbah Sukinah bergelut dengan kerasnya kehidupan. Berjuang demi ketiga buah hatinya. Tanpa pensiun, tanpa harta yang berlimpah dia harus menjadi tulang punggung menghidupi anak-anaknya. Dia harus mampu menjadi benteng yang kokoh dan tahan guncangan segala keadaan. Menjadi tameng yang kuat hingga bisa tetap berdiri walau banyak serangan bertubi-tubi dalam hidupnya. Baginya anak adalah warisan yang tiada ternilai harganya. Karunia Allah yang harus diajaga.
Tanpa mengenyam pendidikan di zamannya, Mbah Sukinah menapaki jalan hidupnya dengan penuh perjuangan, keikhlasan dan pasrah pada Sang Khalik. Tidak peduli dengan berapa waktu yang telah dia habiskan.
Sebelum fajar meninggalkan peraduan, Mbah Sukinah telah bersiap di depan ember-ember plastik berisi ikan-ikan dagangannya. Ada Nila, gurame, lele ,bawal, cumi-cumi dan udang segar berjejer rapi di depannya.
Di ujung los ikan di Pasar Mranggen, Demak, Mbah Sukinah selalu menanti parapembeli dengan sabar. Tiada pernah dia berkeluh kesah. Tak pernah ia marah kepada calon pembeli yang urung membeli salah satu ikannya dagangannya.
Baginya rejeki sudah diatur Yang Maha Kuasa. Nrimo ing pandum. Sebuah filosofi Jawa yang kental dengan berbagai makna. Sarat arti yang mendasar. Hakekat manusia hidup di dunia ini, menerima takdirnya. Nrimo titahe Gusti dan pasrah opo jare Gusti Allah. Menerima apapun yang diberikan Gusti Allah tapi juga harus disertai dengan perjuangan dan kemudian memasrahkan diri terhadap hasil apapun juga yang telah diperjuangkan. Hingga tahu bahwa memang segala sesuatu sesuai dengan kemampuankita, tak lebih, tak kurang. Mbah Sukinah selalu bersyukur dengan segala yang ia dapatkan.
Rupiah demi rupiah yang diakumpulkan berhasil membawa ketiga malaikat hatinya menjadi seseorang yang tidak hanya berguna bagi hidupnya, tapi juga menjadi berkah bagi orang lain. Ismail, putra sulungnya berhasil mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dan mengajar di sebuah Sekolah Dasar di daerah Gunung Pati di Kabupaten Semarang. Dengan bekal tekad yang kuat, Ismail berhasil mendapatkan beasiswa dari sebuah perusahaan besar.Tak jauh beda dengan kedua adik permpuannya yang kini sudah menjadi PNS di Kabupaten Demak. Boleh dikata ketiga anak Mbah Sukinah sudah “menjadi orang” kata sebagian besar tetangganya. Dan, mampu menanggung biaya hidupnya tapi Mbah Sukinah tetap saja masih rela menghabiskan waktunya dengan berjualan ikan setiap harinya.
Mbah Sukinah tetap saja setia di sepertiga malam menapaki tempat lembab dan berbau anyir. Theklag theklug tertidur sesaat kala sepi pembeli. Menguap tiada henti bila Agus remaja putus sekolah penjaja minuman keliling di pasar terlambat mengantar segelas kopi untuknya. Kadang menyuap nasi pun harus dia hentikan demi seorang pembeli yang ternyata urung melarisi dagangannya.
Mbah Sukinah tetap sabar. Senyumnya senantiasa mengembang. Kadang terkekeh saat dia mendengar seloroh dan banyolan para pedagang di dekatnya. Pasar Mranggen memang kecil tapi selalu ramai pembelinya.
Surya mulai tertatih berjalan lambat menuju peraduannya. Mbah Sukinah selalu merasa setiap hari adalah hari yang membawa berkah baginya. Setiap hari selalu hari bahagia. Senantiasa ia rela menghitung hari untuk menuju hari kemenangan. Tahun depan Mbah Sukinah berencana berangkat haji. Datang ke tanah suci itu menjadi cita-citanya sejak lama, menjadi tamu Tuhan yang ia rasakan karunianya begitu besar kapadanya.
Banyak orang berharta tapi mereka tidak merasa terpanggil memenuhi ajakan Allah menjalankan rukun Islam ke-5 itu. Mbah Sukinah memang hanya penjual ikan tapi dia mau mempersembahkan yang terbaik buat Tuhan, Allahnya.
Lebih tengah hari ketika Mbah Sukinah harus membenahi beberapa ember plastik tempat ikan-ikan dagangannya. Ada sejuta harapan tergambar di rautnya. Tidak kenal lelah untuk melanjutkan sisa usia yang dia miliki. Bila senja bergulir, rasa penat seakan hilang dengan sujud syukur di hadapan Sang Maha Agung. Hingga denting malam berakhir di situlah rasa bahagia, harapan dan asa mulai ia rajut. Di sepertiga malam dia mulai melanjutkan hidupnya. Hidup untuk semua yang ia miliki, semua yang dia sayangi dansemua yang Mbah Sukinah peroleh dari Gusti Allah, Sang MahaKuasa.
SARWORINI
Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah (02): Orang-orang Sakti