Manusia Tahi

“Sudah datang manusia tahi itu,” cerita Kaleb Tandamusu lirih menyitir ejekan sinis terhadap pekerjaannya. Petugas kesehatan honorer di sekitar tiga lembah megalit –Napu, Besoa, serta Bada– di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah ini memang setiap hari berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk meminta tinja manusia. Feses itu lalu dibawanya ke laboratorium untuk diperiksa, apakah mengandung bibit penyakit schistosomiasis atau tidak. Bila positif, petugas kesehatan akan memberikan obat guna menyelamatkan nyawa orang yang menderita penyakit langka dan mematikan tersebut.

Saya mengenal Pak Kaleb pada Oktober 2012 silam, ketika MNCTV –tempat bekerja saya dulu– menganugerahkan Pahlawan untuk Indonesia kepadanya, bersama sembilan penerima lain dari berbagai bidang dan daerah. Mereka lolos seleksi ketat terhadap ratusan orang yang dipilih juri-juri berkelas, dari sosiolog Imam Prasojo sampai cendekiawan Buya Syafii Maarif. Saat tampil di atas panggung megah XXI Jakarta Theater untuk menerima hadih uang dan trofi, lelaki 56 tahun yang tekun, pendiam, sederhana, serta rendah hati ini hanya tiga kali mengucapkan “terima kasih”.

Sebelum acara malam itu, saya bertemu Prof Mohammad Sudomo, peneliti penyakit demam keong (schistosomiasis) dari Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO), yang mengajak Pak Kaleb sejak berusia 15 tahun untuk membantu risetnya. “Kami berdua naik kuda waktu itu dari Besoa, Napu, sampai Bada,” kisahnya. Mereka menjelajahi lembah-lembah hijau yang berserak kubur-kubur batu mirip tempayan yang disebut kalamba. Di situlah banyak keong oncomelania seukuran bulir padi berkembang biak yang membawa cacing schistoma japonicum. Jika masuk ke tubuh manusia, larva cacing ini akan tumbuh menjadi dewasa, lalu bertelur yang keluar bersama tinja. Jika buang air besar sembarangan, penyakit tersebut dapat menjadi wabah mematikan.

Uniknya, penyakit schisto hanya ada di lima desa di Kabupaten Sigi dan 23 desa di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah yang berpenduduk 30.639 pada 2016.

Sedangkan Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih dijangkiti penyakit demam keong. Penderitanya mengalami demam, mual. kembung, lesu, serta gatal. “Bisa sampai mati kalau sudah terjangkit schisto beberapa bulan kemudian, seperti waktu wabah demam keong beberapa tahun lalu,” kata Pak Kaleb. Tak heran bila sedang bertugas, ia selalu memakai sepatu bot dan sarung tangan, agar terhindar dari cacingschisto. Terutama di tempat-tempat bergenangan air seperti selokan atau tegalan, yang bila memang terdeteksi cacing schisto akan ditandai sebagai wilayah rawan penyakit schistosomiasis.

Dalam perjalanan mengunjungi situs megalitik Besoa yang dibangun sekitar 500 tahun Sebelum Masehi, saya sempat mampir ke rumah kayu Pak Kaleb yang dikelilingi pohon coklat dan kopi, di Desa Wuasa, Kabupaten Poso, 157 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu. Pada 4 Maret 2014 lalu itu, usianya sudah 58 tahun, telah memasuki masa pensiun. “Tapi saya masih keliling mengumpulkan tahi. Kalau saya benar-benar pensiun, banyak orang yang mati nanti,” tuturnya. Istrinya menyajikan kopi hasil panen dari kebunnya. Beruntung Pak Kaleb tinggal di dataran tinggi yang subur. Hasil panen coklat dan kopi menutupi kebutuhan hidup keluarganya yang tak mungkin hanya mengandalkan honornya sebagai tenaga kesehatan.

Pak Kaleb mengajak saya menginap di rumahnya nan asri. Tetapi, saya harus segera ke Doda, desa tempat peninggalan megalitik berupa kubur-kubur batu dan arca-arca bertebaran di Lembah Besoa. Saya pamit sambil memberikan sebuah baju batik sebagai kenang-kenangan. “Cuma MNCTV yang memberi perhatian kepada saya. Sampai sekarang saya tidak diangkat sebagai pegawai negeri,” ujarnya menahan haru. Saya menyalaminya sambil memeluk erat pahlawan kesehatan lulusan Kejar Paket C setingkat SLTA ini. Ketulusan dan ketekunan kerjanya sehari-hari di tengah bau kotoran manusia yang menjijikkan telah menyelamatkan ribuan nyawa manusia. Kaleb Tandamusu, manusia tahi itu, adalah pahlawan kita sebenarnya.

Caption: Kaleb Tandamusu, “manusia tahi” itu (di sebelah kiri yang berjaket oranye). Sebelahnya Pilipus Pasau, pendeta yang mendidik buta huruf orang-orang Kaili Daa di pedalaman Sulawesi Tengah.

Naskah dan Dok. Foto: Ramdan Malik – Depok, Jawa Barat
email: ramdanmalik69@gmail.com
Buku #sayabelajarhidup ke-11: NUSANTARA BERKISAH 2 – ORANG-ORANG SAKTI (2019)

Bagikan :

Advertisement