SAHABAT

NYALANYALI.COM, Kisah – Terlahir dari sebuah proses yang tak pernah kita duga sebelumnya, Tumbuh bersama hal yang tak pernah kita hitung untung atau ruginya. Tiga anak manusia berbeda ibu-bapak, berbeda suku,  dalam satu kota. 

Opik,  lahir pada 1993, terlahir dari keluarga Jawa (Jawa Tengah) namun lama menetap dan tumbuh besar di tanah yang kata orang Terlahir Ketika Tuhan Tersenyum, Sunda Bandung dan akhirnya menetap di Kota Hujan. 

Jae  (jay), lahir pada 1994 dan besar menyatu bersama sejuknya Kota Hujan. Dialah tuan rumah bagi kita bertiga. 

Geheng (Fajar), lahir pada 1991 di Ibu Kota dengan ciri khas Betawi yang kental,  namun karena telah lama tinggal di Kota Bogor,  membuat logat Betawinya sedikit tertutup oleh logat Sunda Bogor. 

Tiga kawan ini dapat dikatakan laksana roda Bajaj,  pergi ke hajatan teman,  berburu asrinya alam Bogor,  menjual suara di angkutan kota,  bahkan telah menjadi satu kesatuan partner in crime,  kala itu. 

Berbeda suku tak menyurutkan tekad kami untuk tetap bersatu dan tetap menjalin erat tali persahabatan,  tanpa perlu dikomando,  tanpa ada perjanjian hitam di atas putih. 

Berbagi kenakalan bersama,  saling mengingatkan agar tetap bermain aman dalam kenakalan remaja, asal jangan pernah terjun dalam jerat kriminal,  kata kami dalam berbagai diskusi malam hari yang hanya ditemani gelas-gelas kopi sambil menunggu pagi. 

Seringkali kami mencoba berdiskusi soal apa itu politik,  bagaimana ilmu agama, dan bahkan apa itu cinta.  Bagaimanakah cara cinta bekerja? 

Tanpa disadari,  apa yang selama ini kita jalin,  kita jalani,  kita hadapi,  itu merupakan cinta versi kita,  karena kita tak pernah membenci satu dan lainnya,  meski perselisihan pendapat acap kali terjadi. Ikatan kuatlah yang tanpa kita sadari selama ini yang mampu menepis setiap ego dari diri kita masing-masing. Rasa saling memiliki antara kita bertiga lebih besar dibandingkan ikatan pada saudara kandung sendiri. Tetap kami sadar diri,  ada bagian-bagian kehidupan yang tak dapat kami langgar, entah itu norma,  keluarga,  apalagi  agama. 

Kami bertiga,  bukan tak mempunyai teman lagi selain dari yang tiga ini,  Temannya Opik adalah temannya Fajar,  begitu pun sebaliknya. Temannya Fajar adalah temannya Jae,  begitu juga sebaliknya dan temannya Jae adalah temannya Opik Juga,  karena kita bertiga meski saat ini selalu bersama, pada masa lalu,  kami jalani kehidupan dengan cara dan ceritanya masing-masing. 

Mungkin kami terlalu jauh bila disebut sebagai sahabat sejati,  namun inilah bentuk persahabatan yang kami coba ukir hingga tua nanti,  kisah yang akan kami ceritakan kelak kepada anak,  cucu kita masing-masing, kelak suatu hari,  jika Allah menghendaki.

Bagi kami,  berteman itu dengan siapa saja,  tak usah melihat kelas, tak perlu memandang usia,  tak usah pedulikan warna,  karena temanlah orang yang akan kita mintai pertolongan jika kita tak mampu sendiri atau sedang tak percaya diri,  entah itu dalam melakukan pekerjaan,  minta pendapat, atau sekadar bersenda gurau melepas penatnya rutinitas kota. 


TAUFIQ HIDAYAT
Buku #sayabelajarhidup ke-9: Nusantara Berkisah 01

Bagikan :

Advertisement