Muklisin dan Jarum Jahitnya

NYALANYALI.COM, Kisah – Cring! Cring! 17 lonceng kecil bergema nyaring setiap kaki penari menghentak. Tabuh gamelan menuntun gerak ritmis mereka saat melenggok dengan kuda anyaman di antara paha.

Aku Muklisin. Dulu, salah satu di antara penabuh gamelan yang mengiringi para penari jathilan, atau lebih dikenal kuda lumping. Kegandrungan pada busana mereka, menggelitik imajinasiku untuk berkasih mesra dengan jarum jahit. 

Uedan! Aku nekat meniru cara membuat kostum hanya dari buku dan foto. Tanpa guru. Tanpa kursus. Tak disangka, sanggar jaran kepang puas dengan kreasiku. Akhirnya, pesanan pertama dari Sragen berhasil mengundang pelanggan berikutnya.

Tujuh tahun berlalu. Ratusan pesanan tuntas. Usiaku kini 30. Bapak dari bocah kecil, yang baru kelas 1 SD. Ia dan ibunya hidup dari keringatku yang menitik di atas mesin jahit. 

Ketika banyak pesanan, aku bisa bekerja sejak ayam mulai berkokok hingga tengah malam. Tapi keringat bisa lesap, berganti penat kala paceklik tiba. Kian sedih,  sunyi order justru datang saat Ramadan. Sebuah bulan ketika banyak orang menyimpan uang untuk belanja jelang lebaran. Suatu masa kala gamelan menikmati rehat. Berganti tetabuh bedug dan alunan takbir.

Kamu mungkin asik berbelanja menghabiskan uang THR. Aku tidak. Harus berhemat untuk hari-hari setelahnya. Karena aku bukan Anne Avantie. Bukan Itang Yunaz, yang mudah membeli mobil dari satu kreasi saja. Aku sebatas penjahit busana untuk pemain kuda lumping, Tari Topeng Ireng, dan Tari Bangilun. Sepanjang tahun, pesanan dari kelompok kesenian itu yang sanggup menjaga rumah tanggaku dari rasa lapar.

Tahun ini baru 17 kostum kuda lumping buatan tanganku. Beruntunglah yang dipesan gaya Bali. Harganya dua kali lipat ketimbang kostum jaranan klasik. Sekitar 25 juta rupiah. Setelah membeli bahan, membayar dua asisten, serta kebutuhan lain selama dua bulan produksi, aku bisa mengantongi 5 juta rupiah.

Hasil keuntungan itu yang aku pakai untuk menghidupi keluarga. Cukupkah? Gusti Allah menjadikannya sanggup. Pesanan Topeng Ireng tetiba mengalir deras. Orang-orang kembali menggemari seni budaya lokal. Kudengar, 700 lebih kelompok kuda lumping muncul di Temanggung, beberapa tahun terakhir. Di Yogya, bahkan menembus 1.000 grup jathilan.

Aku bahagia. Sangat. Masih banyak orang menikmati seni budaya ini. Masih berduyun masyarakat datang melihat pentas kuda lumping. Ketika kamu di Ibu Kota gaduh menularkan semangat hijrah-dalam gaya pandangmu, kami di pedesaan telah hijrah dari silau pengaruh barat, kembali ke tradisi lokal bermartabat.

Orang kulit putih datang. Terkagum. Mencatat, merekam aksi kami. Aku tentu saja bermimpi, mereka mau singgah ke rumahku, yang terselip di perkampungan Desa Giling Sari. Lalu memesan lusinan kostum kuda lumping. Lalu mereka bawa pulang ke negeri yang ribuan kilometer jauhnya.

Di negeri bersalju mereka akan menari. Memakai busana lengkap layaknya prajurit Mataram. Menggunakan ikat kepala, kacik, kelat bahu,  rompi, gelang tangan, boro sampir, lengkap dengan krincingan di dua kaki.

Kemudian mereka berbaris rapi. Menjepit kuda anyaman. Mengikuti irama dari sini. Dari Nusantara. Tanah lahir kuda lumping, yang akan memimpin tarian penuh derap. Tunduk pada komando Wiro Yudo, pemimpin kuda lumping nan masyur dari Tanah Jawi.

Dan aku, mungkin bisa menambah mesin jahitku, membeli mobil impian keluarga, atau mengantar lelaki kecilku hingga perguruan tinggi.

Description: F:\#sayabelajarhidup 11 - Nusantara Berkisah 2\Sandi Prastanto\muklisin-2.jpg

SANDI PRASTANTO

Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti (2019)

Bagikan :

Advertisement