Drama Picisan Masa Lalu

NYALANYALI.COM, Kisah – Hidup tak selamanya penuh dengan kebahagiaan. Kebahagiaan dalam kacamata manusia sangat berbeda dengan kacamata sang Maha Kuasa. Tentunya, hingar bingar generlap dunia menjadi ukuran sebuah kebahagiaan, kenikmatan, kesuksesan dalam sebuah kehidupan. 

Umi Ainal,  saat pertama aku berjumpa denganmu, tak ada kesan generlap dalam dirimu. Yang aku lihat adalah sesosok wanita yang tegar, energik, sederhana dan penuh kasih sayang. Hampir satu tahun pertemanan kita barulah aku tau banyak kisah hidup umi yang luar biasa penuh arti. 

“Desi, saat itu mamih berada pada posisi kegelisahan yang sangat memuncak”. Begitu umi membahasai dirinya sendiri dengan panggilan “mamih” karena beliau memang seorang wanita paruh baya dan memiliki 3 anak yang telah beranjak dewasa, jadi buat aku, umi Ainal memanglah sosok ibu bagi siapapun. 

Kisahnya bak cerita film yang tak pernah kubayangkan. 

“Mamih, kok bisa menjalani hidup seperti ini?”, aku bertanya, seakan meyakinkan apa yang baru kudengar dari dirinya. “Hmmm,…kisahnya begini Des”…….lalu umi mengajakku untuk kembali ke masa lalu, ia bercerita kisahnya kala itu. 

Berkumpul kami di sebuah rumah makan, penuh dengan hidangan lezat, kue, snack, pasta, steak, bahkan tak lupa minuman seperti bir, vodka, wisky atau apalah, pasti ada diatas meja itu. Sebagai seorang muslim tentu banyak makanan dan minuman yang harus dipilih, yaitu halal dan toyib. Tapi….. Saat itu musim dingin, aku bersama suami bisa berkata “kita minum aja sedikit ya dek, ga apa-apa cuaca sedang dingin, dan gak enak sama teman-teman kalau kita gak ikut minum”. Astagfirullahaladziim seperti itulah kehidupan kami saat masih tinggal di Amerika, Ketika kami muda banyak harapan dan cita-cita kami di sana. Sampai kami memiliki 3 anak yang lucu-lucu. 

Tak sampai disitu kecintaan kami pada dunia, kesenangan hidup bahkan kemudahan kami dalam berteman di sana telah mrenjadikan kami “lupa” seakan kami akan bahagia selama kami besama disana.  Benar, Negara Paman Sam, di sanalah kami tinggal dan menghabiskan waktu muda kami. Setelah menikah kami bermigrasi mencari kehidupan yang lebih baik. Mungkin kami sukses hidup di sana, karena kami mengikuti gaya kehidupan orang-orang barat yang serba tidak beraturan dalam kehidupan yang lebih mendalam. 

Mereka terlihat bahagia tetapi sebenarnya mereka kosong tak ada rasa kedamaian dalam jiwa mereka. Ternyata begitu juga yang aku rasakan, setelah anak-anak tumbuh, perasaan gelisah, hati tidak tenang bahkan saat sedang menghadap Allah dalam sholatku, tak kuasa aku tumpahkan tangisan,  air mata tanpa henti. Melihat gaya hidupku yang sok kebarat-baratan ini, mau jadi apa anak-anakku kelak jika mereka harus tinggal di sini, padahal ilmu agamaku tak cukup untuk bisa kuberikan pada mereka. 

Suatu hari, tekad dan keberanianku muncul, entah dari mana datangnya kekuatan itu. Tetapi aku beranikan bicara pada abang, suamiku tercinta. “bang, aku tidak ingin tinggal di sini lagi, aku ingin pulang ke Indonesia bersama anak-anak”. Abang hanya terdiam mendengar perkataanku. Air mata yang jatuh berderai, lemah lunglai raga ini, membayangkan kami akan berpisah dalam jarak yang jauh, entah untuk berapa lama.  Aku menyadari sepenuhnya bahwa mimpi suamiku belum tercapai di negeri paman Sam ini. Aku tidak berani melarangnya, aku hanya berharap mendapat secercah harapan dari dirinya atas keputusanku ini. 

MasyaAllah, Alhamdulillah, aku selalu nengulang-ulang ucapan syukur dan bahagia saat abang mengijinkan aku dan anak-anak pulang ke Indonesia. Setidaknya keputusan pahit yang kubayangkan kami akan berpisah selamanya, tidak terjadi. Pada akhirnya kami hidup di dua negara yang berbeda. 

Aku tidak ingin nemikirkan bagaimana nanti hubungan pernikahan kami selanjutnya. Yang terpenting aku bisa membawa anak-anakku pulang dan memulai hidup baru.  Aku ingin berhijrah menjadi seorang muslimah yang taat pada syariat. Aku ingin mendidik anak-anakku dengan didikan Islam dan penuh ketakwaan. Seiring doaku pada  mereka  “ya Rabb, jadikan mereka anak-anak solihku”. 

“Ya Rab, aku serahkan diri ini pada kebaikanmu, ampuni aku, jangan jauhkan aku dari kasih sayangMu”. Air mata ini tak terasa membasahi kain sholatku, tangis bahagia, tangis penyesalan, tangis kerinduan bercampur aduk hari itu. 

Pada akhirnya aku hijrah menjadi muslim yang lebih taat. Aku metasa bahagia. Aku didik anak-anakku dengan bekal keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan mereka. Aku tidak pernah nenyesal atas keputusan yang aku ambil saat itu. Bagiku itu adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat. 

Delapan belas tahun berlalu, saat anakku yang paling besar memutuskan untuk menyusul ayahnya ke Amerika. Aku tak mampu menahannya. Sampai pada akhirnya sulungku memutuskan menjadi US Navy disana. Menjadi seorang prajurit Angkatan Laut Amerika, otomatis menjadi  warga negara Amerika tentunya.  

Keputusan mengejutkan menjadi seorang WNA merupakan Kabar yang tidak pernah aku sangka-sangka. Namun,  kupikir pasti sulungku sudah memikirkannya dengan mantap. Anakku telah nemikirkan jalan hidupnya sendiri. Tapi aku tidak khawatir kali ini. Karena aku metasa telah memberi bekal hidup terbaik bagi dirinya. Selamat bejuang anakku, jangan pernah tinggalkan agamamu, ketakwaanmu, keimananmu di manapun kamu berada. Doa seorang Ibu yang terbaik akan selalu mengiringi langngkahmu wahai anakku. 

Setelah kami berdua terdiam dalam keheningan. Kembali kami saling memandang dalam realita. Sambil tersenyum Umi berkata dengan sedikit guyonan  “desi, itu sih kisah mamih dulu, yaaah….mirip-mirip drama picisan gitu deh”. Sambil tersipu melirik aku yang ada disampingnya. 

Padahal dalam hatiku berkata “Umi, kau rela meninggalkan gemerlap dunia, hidup dengan sederhana, hanya untuk cita-cita mulia”. Seakan aku malu dan tertampar saat bercermin pada diriku sendiri. Aku yang selalu bermimpi ingin  hidup sukses bergelimang materi demi membahagiakan sanak family. Tetapi hari ini…… Kehadiran Umi Ainal telah nenyadarkanku, bukan kebahagiaan semu yang seharusnya aku kejar, tetapi kebahagiaan hakiki penuh keridhoan Allah menjadi teman hidup sejati.

Terima Kasih Umi Ainal engkaulah sosok wanita inspirasiku. Cinta kasihmu dan ketakwaanmu telah membawa asa ini ingin lebih kuraih. Umi, darimulah aku belajar hidup, menjadi seorang wanita, seorang Ibu yang berjuang untuk kebahagiaan sejati. 

***

DESI WULAN SARI – Penulis, Bogor

Persembahan untuk:

Umi Ainal , Ibu hebat yang mendedikasikan hidupnya mencari kebahagiaan hakiki dengan cara yang luar biasa. 

Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti

Bagikan :

Advertisement