NYALANYALI.COM – Mata itu tak bisa mendustakan luka. Luka tak nampak yang tersimpan dalam. Luka membekas dalam kenangannya sepanjang usia. Meski ia usahakan bicara, masih lebih banyak yang mengendap dalam diam pastinya.
Adik kesayangan ditembak di depan matanya, oleh pasukan gelap mata, darahnya ia lihat mengalir membasah, menetes di tiap lantai rumahnya. Adik kesayangan kemudian terbaring lemah. “Kakak jangan menangis, adik sehat,” kata yang akan terngiang selamanya. Tangis yang kemudian pecah, 52 tahun silam, saat sang adik berpulang setelah lima hari mencoba bertahan.
Ia melihat, ibunya menggendong tubuh tak bernyawa adiknya sejak dari rumah hingga pemakaman, dalam kain batik seolah tak ingin dilepaskan. Ibunya yang tegar ia lihat, ingin menggendong terakhir anak kesayangan. Kemudian terbaring sendiri adik bersemayam. Tangisnya susah dihentikan.
Dia ingat pula, ajudan ayahnya, yang selalu mengulas senyum dan berkata ramah. Lelaki muda yang sebentar lagi melepas masa lajangnya. Lelaki muda yang ia tahu menerima surat-surat cintanya dari seorang gadis di Medan, sana. Lelaki yang menunjukkan kesetiaan kepada ayahnya sampai akhir hayatnya.
Lelaki muda itu tak kembali ke sisi rumahnya lagi, sejak dini hari itu. Di Lubang Buaya ia dengar kabar, ajudan ayahnya yang baik hati itu dikandaskan segala mimpinya.
Kini, 65 tahun usianya. Kejadian 52 tahun saat umurnya 13 tahun tak terlupa. Jatuh dia saat kejadian itu, membuat tulang panggulnya tak lagi sempurna, sakit setiap ia berjalan. Sampai kini, sampai hari ini.
Luka tak terkatakan, matanya bicara dalam sedih mendalam. Sejarah kelam lekat dalam ingatannya, sampai kapanpun juga. Dia ada di sana. Menyaksikan semua. Seperti baru dini hari tadi semua kejadiannya.
Kita tidak ada di sana, orang lain yang terus mendebatkan membuat sumir kejadian jahanam dini hari itu tidak pula jadi saksinya.
Tapi saya mempercayai dia, perempuan ini. Karena luka itu tergambar jelas di matanya.
2 Oktober 2017
S. DIAN ANDRYANTO
Penulis buku serial #satabelajarhidup