(Kumpulan Cerita: Kisah-Kisah Patah – S. Dian Andryanto)
NYALANYALI.COM, Cerita – Jo, berusaha ngebut. Kelat kelit di antara kemacetan lalu lintas itu hari. Dia betul-betul mengejar waktu, Minggu, pagi itu. Setiap ada peluang menyusup, dia lakukan, di antara deretan mobil yang merayap di jalanan. Klakson sahut-sahutan seperti sedang ada perayaan, padahal jalanan sedang mampet.
“Di Jakarta harus gesit, Jo. Kalau enggak cak cek, kamu bisa ketinggalan sama orang-orang,” begitu kata Pak Cipto, tetangga kontrakannya, yang motor tuanya sedang dia pinjam.
Jo, harus cepat sampai alamat yang dituju. Sebuah rumah besar di daerah Ragunan, Jakarta Selatan.
Baru saja Jo muncul di pagar, Ati dan Dwi, sudah menjemputnya.
“Cepat Mas Jo, setengah jam lagi loh. Ayo dandan di belakang,” kata Ati, agak cemas. Dwi membantu menurunkan perlengkapan yang di bawa Jo, dari motor.
Ketiganya kemudian melipir ke bagian belakang rumah besar itu. Di teras luar dekat dapur, mereka berkumpul.
“Maaf, Ti. Macet banget,” kata Jo, beralasan.
“Ya sudah, cepat saja Mas Jo dandannya, biar aku dan Dwi menyiapkan peralatannya. 20 menit keluar ya,” kata Ati.
Jo mengangguk. Dia membuka tas yang ia bawa.
Tak perlu waktu lama, Jo sudah berubah menjadi badut. Wajahnya dibaluri bedak putih, hidung bulat merah menempel, pakaian warna cerah dan bantalan di perut dan pantatnya. Jo jadi badut.
Itulah pekerjaan yang setahun ini dijalaninya. Menjadi badut di sebuah rumah makan cepat saji, jika ada acara ulang tahun anak-anak dan memerlukan badut yang bisa sulap, Jo dipanggil. Ati dan Dwi rekan kerja dari rumah makan cepat saji itu. Ati menjadi MC dan Dwi yang bertugas membantu-bantu siapkan segala keperluan pentas kecil di rumah pelanggan.
Jo berkaca, ia sudah menjadi badut. Matanya dikerjap-kerjapkannya. Senyumnya dilebarkannya. Wajah asli Jo sudah hilang.
Perjalanan panjang sejak ia pergi dari Jogja dua tahun lalu.
***
Anak-anak sudah mulai berkerumun di depan spanduk, Selamat Ulang Tahun ke-5, Sandra.
“Badut…Badut…Badut….” Teriak bocah-bocah itu sahut-sahutan.
Jo keluar. Dan, tak lagi bisa di atur. Anak-anak itu sebagian berlarian menyambutnya, menarik-narik celananya, menunjuk-nunjuk menertawakannya. Sebagian lagi hanya bertepuk tangan. Satu-dua anak kelihatan takut, menjerit dan menangis. Suasana sungguh kacau.
Tapi, Ati sudah berpengalaman menghadapi situasi ini. Ia terus membujuk sehingga anak-anak bisa menurutinya, duduk teratur.
Saatnya Jo beraksi. Ia menari lucu yang membuat tawa pecah di ruangan besar itu. Jo bertingkah apa saja yang bisa mengundang tawa bagi yang hadir, bukan saja anak-anak, tapi para ibu yang mengantar anaknya menghadiri acara ulang tahun itu.
Trik-trik sulap sederhana yang dipelajarinya pun dikeluarkan, mulai permainan menebak kartu, sampai membuat tongkat yang keras jadi lembek, permainan sapu tangan keluar dari telur, tali keluar dari mulutnya.
Tentu saja anak-anak senang, gembira bukan kepalang. Jo terus beraksi. Suara tawa terpingkal-pingkal mengudara setiap Jo mengeluarkan kuncian gerakan lucunya.
Namun, sesaat permainan terhenti, karena ada keriuhan di halaman.
Jo melihat seorang pemuda tampan masuk dari pintu.
“Om Dewa datang…..” teriak Sandra, bocah yang sedang ulang tahun itu berlari ke arah anak muda itu.
Dewa mengangkat bocah perempuan itu sambil tertawa-tawa.
“Selamat ulang tahun Sandra. Tunggu hadiah dari Om Dewa, nanti,” katanya.
Siapa tak kenal Dewa, pemain sinetron yang wajahnya wira wiri di layar kaca. Terkenal, sudah pasti. Kaya, tentunya.
Mamanya Sandra pun menyambut Dewa, adiknya.
Jo, menghentikan pertunjukannya. Konsentrasi anak-anak penontonnya pun terbelah. Ati memberi kode, supaya Jo diam saja, tak perlu melanjutkan pertunjukan terakhirnya.
“Ini hadiah dari Om Dewa, buat Sandra cantik…..” kata Dewa sambil menunjuk pintu.
“Mana?” bocah perempuan itu tak sabar.
Dewa bertepuk tangan tiga kali, suaranya menggema di ruang tamu yang besar itu.
Dari pintu muncul perempuan membawa sebuah kotak cukup besar, hingga menutupi wajah perempuan itu.
Sandra lompat-lompat kegirangan.
“Ini buat Sandra…..”
Perempuan itu jongkok dan menyerahkan kotak besar yang ia bawa. Wajahnya tampak.
Jo terbelalak, mulutnya ternganga.
***
Jogja dua tahun lalu….
Di kontrakan sempit di pinggir kali Ngampilan itu, Soma sedang memamerkan sebuah kalung.
“Pas ngamen, aku nemu ini dekat simpang jalan, SMA Mahardika, Jo…”
Jo sambil menggoreskan kuas di kanvasnya, melirik sekilas.
“Aku perlu uang buat ngirim simbok di kampung, kamu mau beli kalung ini Jo? Berapapun lah,” kata Soma.
“Yakin, kamu nggak jambret, Som?”
“Bajindul, ya nggak lah.”
Jo dan Soma tertawa keras.
“Mau dijual berapa?” kata Jo, meletakkan kuasnya. Ia menghadap Soma, sepertinya tertarik.
“Namanya juga nemu, berapa aja Jo. Simbok perlu uang, aku sudah tiga bulan ini ndak bisa ngirim,” katanya.
“Besok, aku coba cek dulu ke Malioboro, tempat Mas Gun, mungkin sudah ada lukisanku yang kutitip di sana sudah terjual,” kata Jo, membuat tenang Soma.
Keduanya mencoba mencari peruntungan di Jogja. Soma asal Ponorogo, dan Jo dari Singosaren, Bantul. Di jalan keduanya bertemu, bersahabat, kemudian mengontrak rumah di pinggir kali itu. Tak bisa juga disebut rumah karena hanya sepetak saja, di dalamnya hanya ada satu ruangan, tempat mereka tidur.
Dan, kalung emas itu berpindah tangan keesokan harinya. Lukisan Jo sebulan ini terjual beberapa di tempat Mas Gun, pemilik art gallery di bilangan Malioboro, sebagian besar turis luar yang meminatinya.
Kalung emas itu ditaksir sampai 10 gram, tapi Jo hanya bisa memberikan Rp 2 juta saja dari hasil penjualan lukisannya tadi. Soma menerima uang, Jo menerima kalung emas hasil temuan Soma tadi.
Tak menunggu waktu lama, Jo naik sepeda ke daerah Ngasem. Tempat ia selalu menunggu Ratmi berlatih teater di sebuah pendopo di sana.
Tentu saja Ratmi ini “yang-yangan”-nya Jo. Mereka berpacaran sudah setahun ini. Untuk itu Jo sedang getol terus melukis agar banyak yang terjual, bisa ia tabung, supaya segera bisa menikahi Ratmi. Hidup bahagia berdua, meski di rumah kontrakan yang sempit, sudah jadi cita-cita dua anak muda ini. Tak muluk-muluk, mereka hanya ingin secepatnya bersama.
Ratmi memang sejak SMA menggeluti dunia teater. Ia senang berlakon. Parasnya pun menawan, banyak yang mendekatinya, tapi Jo yang berhasil menaklukkan hatinya. Dengan mengiriminya bertubi-tubi sket wajah Ratmi setiap minggu dari segala sisi. Runtuhlah pertahanan Ratmi, cinta Jo pun disambutnya.
Ratmi setengah berlari menemui Jo di bawah pohon sawo, dekat sepedanya.
“Aku punya kabar baik, Jo,” kata Ratmi. Wajahnya girang.
“Aku juga punya kabar baik buat kamu loh, Mi,” Jo tak mau kalah.
“Aku dulu ya yang kasih tahu,” kata Ratmi, semringah.
Kali ini Jo yang biasa mengalah tak mau diam saja.
“Aku dulu, ini….” Jo mengeluarkan kalung emas dari dalam sakunya. “Buat kamu, Mi”.
Mata Ratmi menyipit.
“Yakin, itu bukan hasil maling atau mbegal,” kata Jo, mengetahui keragu-raguan kekasihnya.
Ratmi tersenyum. Ia menerima kalung emas pemberian Jo. Tangannya nampak bergetar.
“Buat aku, Jo?”
“Iya, buat Ratmi primadona panggungku,” kata Jo, penuh rayu.
Jo membantu memasangkan kalung emas itu di leher Ratmi. Petang itu angin bertiup pelan. Membuat rambut kedua pasang penuh cinta itu tersibak. Mata Ratma berkaca, tak pernah ia sangka Jo memberikan kalung bagus itu kepadanya.
“Sekarang apa kabar baikmu?” tanya Jo.
Ratmi terdiam sejenak, jemarinya memainkan kalung yang menghias leher jenjangnya.
“Aku diminta ikut casting ke Jakarta, ada proyek film, tadi orang filmnya melihat aku latihan dan minta aku ke Jakarta dua hari lagi, katanya ada peran yang cocok buat aku,” kata Ratmi.
Jo diam.
“Boleh, Jo?” tanya Ratmi, suaranya lirih.
Jo tahu benar selain menikah dengannya, Ratmi juga ingin menjadi bintang film. Itu s ebabnya ia berlatih teater melebihi teman-teman seangkatannya. Fokusnya menjadi primadona panggung tak tergoyahkan. Dan, tawaran casting ini adalah jalannya.
“Boleh,” kata Jo.
Ratmi tak yakin.
Jo tertawa sambil mengucek-ucek rambut panjang kekasihnya itu.
Ratmi tahu, Jo mengijinkannya.
***
“Terima kasih Tante Rasya,” kata Sandra, bocah yang ulang tahun itu girang menerima kotak besar berpita.
“Selamat ulang tahun Sandra, tambah pintar dan panjang umur,” kata Rasya.
Bibir Jo bergetar. Ia hapal benar suara itu. Suara perempuan yang sangat dicintainya. Yang pergi ke Jakarta untuk casting film, kemudian bermain film, namanya mulai diperhitungkan di industri film. Namun seiring itu hilang dari kehidupannya. Tanpa kabar. Tanpa pesan.
Pernah Jo membaca di sebuah tabloid, yang mewawancarai Ratmi. Bahwa ia mengaku tidak punya pacar. Manajemennya pun menegaskan Ratmi yang berubah nama menjadin Rasya setelah tenar di Jakarta ini, tidak pernah punya kekasih selama di Jogja.
Itu yang menjadi alasannya lari ke Jakarta dari Jogja dua tahun lalu. Mencari belahan hatinya, yang tiba-tiba ditelan bumi. Hanya ingin bertanya tentang hubungan mereka.
Rasya, ya, nama itu yang kemudian banyak dikenal publik. Pelakon cantik yang banyak main di beberapa film dan sinetron. Yang diburu para kumbang gagah dan menawan. Rasya Bukan Ratmi, seperti yang Jo kenal.
Dua tahun di Jakarta, Jo tak berhasil menemui Ratmi. Dicari tahu lokasi ia shooting, tak mudah. Dicari alamat rumahnya, apalagi. Ia tahu, Ratmi atau Rasya itu tinggal di sebuah apartemen di daerah Kuningan. Pernah ia mencoba ke sana, tapi diusir Satpam. Jo dianggap fans fanatik yang akan mengganggu sang bintang.
Kini, Ratmi ada di hadapannya.
Tentu saja dia tak mengenalinya.
“Lucu badutnya, Sandra?” tanya Rasya, sambil melihat ke arah badut yang berdiri tak jauh di depannya, tak berkedip .
“Lucu banget,” kata Sandra.
Dewa tertawa, ia merangkul Rasya. Dan perempuan itu bergayut manja di bahu lelaki tampan itu.
Kalung yang melingkar di leher jenjang Rasya itu pemberiannya dulu. Masih ada di sana.
Bibir Jo tak bisa tertahan. Bergetar.
Inilah perempuan yang dipuja dalam cintanya, siang dan malam. Perempuan yang dengannya cita-cita hidup bersama dipatrikan, sehidup semati, dalam susah dan senang. Perempuan yang selama ini dicarinya setelah hilang meninggalkan sejuta tanya. Perempuan yang mungkin telah melupakannya.
Ingin sekali Jo mengusap-usap wajahnya, hingga hilang bedak tebal di wajahnya. Supaya Ratmi tahu, ia yang berdiri di hadapannya. Tapi diurungkannya. Ia melihat kekasihnya itu tak akan sama seperti dulu ia mencintainya.
“Ini permainan terakhir, Om Badut…. Ayo adik-adik mendekat,” kata Ati, mengendalikan acara yang sempat kacau itu.
Bocah-bocah itu berlarian kembali mendekati Jo.
Jo gugup. Ia mencoba menguasai dirinya.
“Sekarang?” tanya Jo kepada Ati.
“Sekarang…” kata Ati pelan.
Dan, setelah diam sejenak. Jo mengambil topi sulap, memainkannya, memperlihatkan bahwa topi itu kosong. Sesekali sudut matanya melihat kemesraan Dewa dan Rasya.
Dan, tiba-tiba dari dalam topi itu keluar burung merpati putih.
Anak-anak takjub, bersorak sorai.
Burung merpati itu terbang dalam ruangan, sebelum berhasil ditangkap Dwi.
Jo si badut itu membungkukkan wajahnya, tanda permainan usai.
Jo melihat Ratmi, turut bertepuk tangan senang melihat pertunjukan akhirnya itu.
Anak-anak pun tertawa berhamburan bubar sambil menerima bingkisan.
Jo masih membungkukkah tubuhnya, cukup lama.
Titis, seorang bocah perempuan mendekati Jo.
Ia memandangi Jo dalam-dalam.
Jari-jari kecilnya memegang tangan Jo.
“Om Badut menangis?”
Pondok Labu, 20 Mei 2020
S. DIAN ANDRYANTO
Kumpulan Cerita Wattpad Kisah-Kisah Patah – Inspirasi Lagu-lagu Didi Kempot
Inspirasi kisah lagu “Kalung Emas”
BACA:
Cerita Satu: Menunggu Pengiris Luka Tiba – S. Dian Andryanto “Kumpulan Kisah-Kisah Patah”
Cerita Dua: Hujan Air Mata di Atas Gunung Batu – S. Dian Andryanto “Kumpulan Kisah-Kisah Patah”
Cerita Tiga: Cinta yang Sembunyi dari Masa Lalu – S. Dian Andryanto “Kumpulan Kisah-Kisah Patah”