NYALANYALI.COM – Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid membuka pameran Leo Kristi dengan cara unik kemarin: memetik gitar, walau sebentar. Tetapi, tak seperti banyak pejabat, ia tidak langsung pulang. Fay, begitu panggilannya di kampus Universitas Indonesia dulu, melihat pameran memorabilia Mas Leo yang wafat pada 21 Mei 2017 silam, di sepanjang lorong menuju Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki. Bahkan, ia mengikuti sarasehan dengan narasumber etnomusikolog dan komponis Franki Raden serta budayawan, filsuf, penyair, pelukis Mudji Sutrisno.
Di antara hadirin, tampak musisi dan sutradara Eros Djarot serta budayawan Taufik Rahzen. Mas Taufik, yang pernah bersama Mas Leo dari Yunani, Kalimantan, sampai Gunung Padang, menyebut mendiang kalangwan: seorang seniman yang mabuk dalam keindahan. Laku kalangwan adalah pujasastra dari gunung hingga laut, dengan anagram (permainan kata) bagai mantera. “Gulagalugu Suara Nelayan” dan “Lenggang Lenggung Badai Lautku“, misalnya, dua lagu Leo Kristi yang merekam keseharian hidup nelayan.
Ia mengabarkan kebersahajaan kaum jelata bak nabi, kata Taufik, sehingga nyanyian-nyanyiannya seperti kitab suci yang menyihir banyak fansnya. Sementara, Franki Raden menahbiskan Mas Leo sebagai Bapak Musik Indie Indonesia yang belum ada tandingannya hingga kini. Almarhum berhasil menyelami roh kesenian rakyat yang playful secara jenius lewat tembang-tembangnya. Mendiang menjadi guru atau panutan yang luar biasa dalam menyuarakan keseharian hidup rakyat jelata.

Nasionalisme Leo Kristi tumbuh, lanjut Franki, dari kecintaannya kepada masyarakat marjinal, bukan dari sebuah ideologi. Karena itu, medium yang ia pilih musik, bukan politik.
“Melihat situasi politik kita dewasa ini yang sangat menyedihkan, suara Leo yang menyejukkan dan mencerahkan terasa menjadi relevan kembali. Kita memerlukan seniman yang dapat mengajak melihat realitas kehidupan masyarakat tradisional yang bersahaja, penuh daya hidup, spontan, kreatif, indah, bijak, serta damai, seperti para nelayan dan petani. Leo mengajarkan kita memiliki integritas dalam kehidupan berbangsa,” ujar Franki di ujung presentasinya.
Namun, Romo Mudji melihat diskontinuitas karya Leo Kristi bagi generasi sekarang. Ia menekankan arsip lisan tentang mendiang yang penting buat era audiovisual yang dihela digitalisasi. “Obsesi Leo kemanusiaan terhadap masyarakat marjinal. Lirik-liriknya penting di tengah situasi yang menuhankan cuan kini. Leo mengajak kita merenung dan berpikir bahwa Indonesia ini bukan milik pribadi,” ungkap rohaniawan Katolik ini. Suatu hal yang lebih ditegaskan lagi oleh Eros Djarot menjelang akhir sarasehan bergizi tersebut.
Puncak acara bertajuk “Aku Tak Kan Pernah Mati”, –diambil dari lirik lagu “Tanah Merah In Memoriam”– dengan Konser Rakyat Leo Kristi yang menyisakan tiga personilnya: Ote Abadi (gitar, vokal, harmonika), Liliek Jasqee (gitar, vokal, flute, biola), dan Nona van der Kley (vokal, flute).
Mereka dibantu Dekan Jurusan Musik Institut Kesenian Jakarta, Damar (vokal/bass) dan tiga mahasiswanya: Rama Chrisna (keyboard), Mang Rama (gitar), serta Lewi (perkusi). Sekitar 20 lagu mereka bawakan di hadapan 200-an penonton yang bernyanyi, bertepuk, dan menari bersama. Semoga Mas Leo berbahagia di sana. “Ars longa vita brevis“: karya seni abadi, walau hidup pendek.
Depok, 28 Juli 2024
RAMDAN MALIK