Politics of Piety: Antropologi Kesalehan Menurut Saba Mahmood

NYALANYALI.COM, Resensi Buku – Politics of Piety, karya Saba Mahmood yang pertama diterbitkan pada 2005, adalah salah satu karya akademis paling penting dan berpengaruh dalam abad ke-21. Tak terhitung berapa banyak bidang keilmuan dan aliran pemikiran sosial yang turut terguncang akibat kritik dan argumen yang dilancarkan Mahmood dalam buku ini, termasuk studi gender, studi sekularisme, antropologi, studi Islam, studi pasca-kolonial, serta gerakan feminis sendiri. 

Karya ini merupakan analisis terhadap penelitian etnografis yang dilakukan oleh profesor kelahiran Pakistan itu selama tinggal di Kairo, Mesir. Mahmood meneliti sebuah fenomena yang ia sebut sebagai “gerakan kesalehan perempuan” (women’s piety movement), yang adalah bagian dari “gerakan kebangkitan Islam” (Islamic revival) secara global. 

Sejak tahun 1980-an, hampir seluruh dunia Islam sudah melihat perkembangan gerakan ini, yang melawan hegemoni sekularisme dan menawarkan visi bagi bangkitnya Islam yang kaffah sekaligus moderen, seperti terlihat dengan gerakan yang sering disebut “hijrah” di Indonesia pada tahun-tahun terakhir. 

Dalam kata pengantar, Mahmood merenungkan jalan hidupnya sendiri sebagai aktivis feminis dari Pakistan. Ia memberi otokritik terhadap sikap sekular-liberal yang kerapkali menjadi landasan bagi gerakan “progresif” dan rentan meminggirkan dan meremehkan pengalaman dan sistem nilai yang dianut orang-orang beragama, termasuk perempuan. Padahal sebenarnya ia juga mengakui bahwa ada banyak kemajuan yang sudah diraih di negara-negara di Timur Tengah sebagai hasil dari berbagai gerakan dan partai Islamis yang sering memperjuangkan demokrasi dan melawan negara otoriter. 

Tapi, menurut Mahmood, orang-orang Muslim saleh tetap cenderung dihina oleh kalangan progresif karena sikapnya yang sekuler dan yakin dengan kebenaran sekularisme. Ia menawarkan buku ini sebagai upaya yang tulus untuk memahami kesalehan para “ukhti-ukhti” tanpa adanya pamrih, rasa superioritas, maupun niat meremehkan. Ia menegaskan, “Kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa cara hidup yang sekuler beserta nilai-nilai progresif dari sekularisme merupakan satu-satunya jalan yang benar untuk memberi makna kepada kehidupan ini” (xi-xii).

Pertama-tama, Mahmood menjelaskan bahwa ia ingin memberi alternatif terhadap beberapa pengertian utama yang sering dipakai untuk menjelaskan kedudukan perempuan dalam gerakan-gerakan Islamis. Salah satunya adalah teori “kesadaran palsu” (false consciousness) yang melihat para perempuan salehah itu sebagai orang-orang yang tidak punya kepribadian, yang terbius oleh ideologi yang sebenarnya menindasnya. 

Bersama dengan perspektif tersebut, ada pula asumsi dalam wacana liberal bahwa ada sesuatu yang naluriah pada jati diri perempuan yang seharusnya membuatnya menolak keterkungkungan yang kerap dicitrakan sebagai keadaan Muslimah yang salehah (2). Berlawanan dengan narasi tentang “kesadaran palsu,” ada juga tulisan-tulisan yang membela perempuan-perempuan Muslim dengan menekankan bagaimana mereka juga rasional atau memiliki perlawanan (dalam pengertian liberal). 

Mahmood juga melawan pemahaman tentang agensi (agency) yang menganggap bahwa seorang individu adalah asal dan penentu tindakannya. Sering ada karya-karya akademik yang mencoba mengidentifikasi unsur-unsur yang liberatif dalam kehidupan perempuan yang sering dianggap tertindas dan cara-cara mereka menunjukkan kepribadiannya. Mahmood kurang setuju dengan tren ini karena dengan memusatkan agensi, pendekatan ini membenarkan konsepsi atas kehidupan yang terbelah antara kuasa yang mengatur dan menindas dan agen-agen yang melawan.

 Pengertian ini adalah bagian dari liberalisme, yang menempatkan segala potensi untuk kebebasan pada agensi individu yang mandiri sekaligus menggambarkan segala pembatasan atas kebebasan manusia sebagai penindasan (7). Dalam perspektif liberal ini, seorang Muslimah yang menunduk kepada suaminya menjadi dipandang sebagai ditindas, dan justru ikut serta dalam penindasan dirinya seakan-akan ada cacat dalam agensinya. 

Pandangan demikian berasal dari obsesi liberalisme dengan kebebasan, di mana pandangan bahwa kehidupan yang baik (yang tidak layak dikasihani) ialah di mana seorang individu dapat mencapai “kehendak sejati” (true will) yang ada dalam diri (11). Perspektif individualis ini memang bertolak belakang dengan kehidupan berkomunitas (13). 

Karya akademik yang bertolak dari asumsi ini memang hanya bisa menanggapi perempuan-perempuan salehah dengan meremehkannya karena terbius atau membelanya dengan mencoba menunjukkan bahwa mereka sebenarnya rasional atau justru melawan. Namun, fokusnya tidak pernah lepas dari kebebasan individu. 

Sebagai alternatif, Mahmood ingin menghilangkan obsesi akademik dengan agensi individu sebagai sumber perlawanan. Menurutnya, perempuan-perempuan salehah di Mesir yang ditelitinya malah lebih bersemangat untuk meraih norma-norma yang mereka warisi, pelajari, dan amalkan ketimbang untuk melawannya atau menjadi “bebas.” Tapi, sama halnya juga dengan orang-orang liberal, karena bukannya mereka lebih tercerahkan atau rasional tapi mereka juga hidup dalam dunia normatif (sekuler-humanis) yang diwarnai oleh warisan-warisan sejarah Barat dan segala pertarungannya. 

Begitu memang Mahmood mengecilkan peran agensi dan lebih menekankan pentingnya tradisi, wacana, dan disiplin dalam dinamika dunia sosial. Kita semua dibentuk oleh dunia sosial kita (lagi-lagi terlihat pengaruh Foucault, Asad, dan Butler dalam argumen ini). 

Sesuai dengan argumen di atas, bagi Mahmood pewarisan norma itu bukan sesuatu yang hanya dipaksakan dari luar, tapi sesuatu yang turut dibentuk dan diperkuat oleh perilaku orang-orang yang hidup dalam dunia normatif tersebut. Konsep “perfomativitas” (performativity) ini ia dapatkan dari Judith Butler, di mana proses kita menampilkan diri atau berperilaku tertentu adalah cara dihidupkannya dan dilestarikannya norma-norma yang ada. 

Saba Mahmood (1962-2018)

Sesuatu yang ditekankan Mahmood adalah pentingnya tubuh sebagai ranah kesalehan bagi para perempuan salehah, sekaligus sebagai sarananya (ingat konsep embodiment). Menurutnya, para Islamis punya pemaknaan atas tubuh yang jauh berbeda dari (dan sering disalahpahami oleh) orang-orang sekuler. Misalnya dalam norma rasa malu (haya) sebagai sifat terpuji bagi perempuan, lebih khususnya dalam kasus jilbab. 

Menurut logika sekuler, jilbab hanya selembar kain saja, dan yang lebih penting adalah rasa malu yang ada dalam hati seorang individu. Jilbab hanya sekedar perlambang. Nah, tapi dalam logika Islam, menurut Mahmood, pakaian merupakan cara yang penting untuk membentuk kesalehan dalam hati. Sikap atau kecenderungan (disposition) bukan hanya sesuatu yang murni yang terletak dalam hati nurani setiap individu (seperti dalam pandangan sekularisme), tapi adalah hal yang bisa dibentuk oleh amalan yang dibiasakan. 

Begitu para perempuan salehah Mesir berusaha mengembangkan rasa malu yang dicitakannya dengan terus-menerus memakai jilbab terlepas dari apakah dalam hati mereka sudah memang punya rasa malu atau haya. Dalam paradigma mereka, etika bukan sesuatu tentang “menemukan kehendak yang sejatinya (true desires)” dalam dirinya, tapi upaya untuk “mendekati teladan untuk pribadi yang saleh”. 

SAWYER MARTIN FRENCH
Dosen Tamu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject [Politik Kesalehan: Kebangkitan Islam dan Citra Pribadi Feminis]. Penerbit Universitas Princeton.

BACA

The Gift: Dinamika Sosial dalam Pemberian Menurut Marcel Mauss

Bagikan :

Advertisement