NYALANYALI.COM, Kisah – Kembali lagi ingin menulis tentang hasrat untuk selalu bersaing dan mengungguli. Hasrat yang membuat aku kehilangan banyak waktu untuk mengenali diri secara jernih dan dalam.
Hasrat itu dulu membawaku masuk pada jurusan yang betul mampu memberiku predikat cumlaude hanya karena tidak ingin kalah. bukan karena ingin mengeksplorasi ilmu, akibatnya aku merasa tidak terlalu paham apa-apa selepas kuliah.
Sisi baiknya, aku akhirnya menjadi orang yang sangat kritis pada pilihan anak-anak saat kuliah. Saat si sulung mau kuliah di kedokteran atau saat si tengah masuk ekonomi kami betul-betul berdiskusi, mengayak pilihan-pilihan itu apakah karena dorongan dalam diri atau di luar diri mereka.
Melihat binar mata si sulung saat “melayani” pasien, melihat si tengah begitu mudahnya menerangkan ekonomi makro yang jelimet saat mengaplikasikan dengan keadaan riil membuatku bersyukur pernah “tersesat”.
Ketersesatanku berguna juga di kemudian hari sebagai tonggak bagi kami membangun nilai- nilai baru dalam keluarga kami. Menjadikan jalan bakti berbasis potensi sejati diri. Tuhan sesungguhnya memberi banyak tanda akan tujuan kehadiran kita, namun kita tak sungguh-sungguh “niteni” diri Sendiri.
Bersyukurnya ketika kita menyadari kekeliruan langkah selalu saja DIA memberi jalan yang terbuka untuk kembali menyusun langkah.
Aku yang tak pandai memasak, tak pandai mencari uang diberi jiwa yang senang saja jika melihat orang lain tersenyum terutama mereka yang saat ini terpinggirkan di jalan sunyi. Ada puluhan sahabat yang nyata maupun dumay (dunia maya) yang selalu Allah kirimkan untuk menggenapi tujuan menghadirkan kegembiraan itu.
Aku hanya perlu memulai langkah awal saja dan membiarkan semesta merangkai segalanya dalam keindahan kasih sayangNya. Yang menemani dan tidak menemani bukan lagi tentang mereka baik atau tidak baik tapi karena diijinkan menjadi teman seperjalanan.
Itu murni kehendakNya semata. Tugasku hanya menuliskan apa yang membuatku merasa bersemangat mempersiapkan “jalan pulang” ku . Cita-cita tertinggi seorang muslim ingin kembali saat hati ridha pada diri sendiri dan sang pemilik kehidupan ridha akan dirinya, bukan?
Aku masih merasakan getaran kegembiraan Mbah-Mbah dengan takjil dan makanan istimewa untuk mereka berbuka. Aku juga merasakan kegembiraan ibu-ibu pedagang warung sekitar kami. Mereka secara bergantian memesan untuk mengisi lemari kaca yang kami letakkan di masjid tengah kampung.
Tiba tiba saja, dua bulan lalu kami diminta tolong oleh sebuah komunitas sedekah emak-emak untuk mencari masjid yang perlu lemari kaca untuk display sedekah Jumat dan mereka rutin mengirimkan dana untuk kami pesankan di penduduk setempat setiap Jumat. Dampak Covid-19 terasa bagi pendukung sekitar masjid, karena dahulu ada pondok pesantren dengan ratusan santri yang menghidupi usaha mereka.
AINAL YAKIN – Surabaya
BACA:
Keindahan Selalu Di Depan Mata
Keajaiban Musala Kecil Kami