NYALANYALI.COM, Kisah – Bisa dihitung jari yang mempunyai kios di pinggiran pasar itu. Kios kecil itupun hasil swadaya para pedagang yang modalnya pinjam dari kas desa setempat. Berjajar rapi para pelaku ekonomi layaknya pedagang besar di sebual mall di kota kota besar.
Pasar kecil, pasar tradisional yang selalu ramai dan penuh dengan pemandangan yang selalu indah untuk dikenang di tengah jaman modern ini. Mranggen bukan sebuah kota besar.Dan hanya mempunyai pasar yang tak bisa dikatakan besar pula.
Di ujung tempat parkir kendaraan pengangkut sayur, buah, dan kebutuhan lain dari daerah sekitar dan agak jauh dari daerah setempat, ada sebuah tempat yang selalu ramai dikunjungi. Selalu menjadi tempat penantian dan selalu di rindukan. Te3mpat yang kadang tidak mengingat musim untuk selalu dikunjungi seseorang.
Sebuah meja jadul tanpa alas yang kadang juga terlihat sedikit berdebu, pudar warna serat kayunya, sebuah cermin dengan bingkai yang mulai memudar warna catnya, yang jelas sangat berbeda dengan meja konsul di sudut ruangfan di sebuah rumah mewah anggota para Dewan di kebanyakan di kota besar di negeri kita tercinta ini.Ini hanyalah cermin di atas sebuah meja tua.
Ada sisir bergigi jarang, sisir bergigi rapat, gunting, silet dan pisau cukur serta sebuah kain penutup badan warna biru yang sudah mulai memudar warnanya. Tukang cukur, Mbah Kusno nama pemilik alat-alat sederhana yang besar fungsi dan artinya.
Laki laki berusia 74 tahun yang terlihat masih sigap dan cekatan itu adalah seorang kapster. Tapi bukan istilah itu yang melekat pada diri Mbah Kusno dari dulu hingga kini. Mbah Kusno seorang tukang cukur rambut. Dari anak anak hingga orang dewasa lebih mengenal istilah itu dan seperti sudah melekat di hati semua orang yang pernah memakai jasa Mbah Kusno.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi dia masih tetap seperti layaknya para kapster profisional pada jaman ini. Jari jarinya masih lincah dan cekatan. Matanya masih tajam untuk ukuran seseorang seusia Mbah Kusno. Dan hampir tidak pernah ada salah pada akhir hasil kerjanya. Hal ini menjadi salah satu penyebab bahwa setiaap pelanggannya menjadi puas.
“ Mbah Kus..banyak nggih pelanggannya…? “ tanyaku pada suatu hari pada kesempatan melewati tempat kerja Mbah Kusno.
“ Lumayan nok..sampai kadang tekan tutup sik ana sing arep cukur. “ jawab Mbah Kusno dengan sorot mata yang jelas menggambarkan binar binar bahagia dengan hasil kerjannya.
Nok adalah sebuah sebutan akrab orang tua untuk anaknya di daerah Mranggen. Rasanya adem juga dipanggil sebutan itu oleh seorang yang jelas jelas tidak mempunyai pertalian darah dan rasanya senang juga di panggil seperti itu . Karena mungkin diriku masih terihat muda….
Sudah lebih dari setengah abad Mbah Kusno menekuni profesi itu.Profesi sebagai tukang cukur di bawah pohon kala itu banyak orang menyebutnya.
Bermula ketika Mbah Kusno muda kala itu gagal untuk jadi seorang perangkat desa pada waktu pemilhan di desanya. Tanpa modal yang berarti mustahil hal itu akan berhasil. Jer basuki mawa bea. Pepatah Jawa itu benar adanya. Kalau hanya sekedar rasa kepercayan dan nurani seseorang tanpa ada modal atau uang untuk pelican sangatlah susah dan tidak mungkin akan lancar jalan usaha tersebut. Hanya dengan modal yakin tidak akan hal itu akan terwujud. Itu hanya ukuran seorang perangkat desa di bawah seorang kepala desa yang tentu lebih banyak membutuhkan modal besar.
Impian Mbah Kusno mungkin terlalu melambung di atas awan . Rasanya sakit bilamana tersadar dan akhirnya terjatuh. Hanya bermodal sawah dalam hitungan petak yang tiada banyak impian itu sudah pasti tidak akan terwujud. Hinga Mbah Kusno sadar akan hal itu.
Tidak mudah menjadi kaya dan makmur pada waktu itu. Padi dan tembakau di panen bergantian dan kadang di tanam di tempat yang berbeda. Dan hanya mereka yang mempunyai lahan luas yang bisa memperoleh panen ganda secara bergantian waktu dan tempatnya.
Beruntung Mbah Kusno lelaki yang ulet . Tidak gampang menyerah dengan apa yang dia punya dan yang harus dikerjakan hingga membuahkan hasil untuk keluarganya. Dengan seorang istri yang ndilalah kata orang Jawa seorang pekerja keras dan setia dengan sang suami maka hanya dengan modal sebidang sawah yang tidak bisa di bilang luas bisa untuk menghidupi keluarga.
Di saat panen padi telah berlalu dan kebetulan tidak bisa untuk bertanam tembakau ada sebagian penduduk desa yang beramai ramai membuat batu bata di lahan di ujung desa milik seorang yang memang lahannya memang sengaja dibiarkan untuk membuat batu bata tersebut.
Mbah Kusno selalu ikut dalam pembuatan batu bata itu. Kadang mereka tidak peduli dengan pemeo yang kadang terdenngar sebagai sebuah guyonan bahwa membuat batu bata itu sama saja menjual tanah air. Mungkin hal itu hanya sebuah guyonan saja bagi mereka. Yang dilakukan hanya mencari nafkah di saat padi sudah lewat panen.
Semuah kerja musiman yang kadang hasilnya tidak seberapa dan tidak bisa diandalkan terus menerus. Akan tetapi apabila telah muali musim bakar batu bata dan sudah ada pembeli dari daerah lain hasil yang telah di bagi rata cukup lumayan. Bisa untuk memenuhi kebutuhan dapur dan sebagian bisa untuk membeli benih untuk masa tanam berikutnya.
Tanpa mempelajari dari buku atai berguru pada seseorang Mbah Kusno bisa mencukur rambut dengan rapi . Dua anak lelakinya adalah orang pertama yang menjadi modelnya kala itu. Bocah bocah kecil yang merasa senang melihat yang memangkas rambut mereka adalah bapak mereka sendiri dan bukan orang lain. Bermula dari sinilah mulai banyak laki laki untuk minta bantuan Mbah Kusno untuk memangkas rambutnya. Dari bocah bocah kecil higga laki laki dewasa hingga lelaki tua yang masih tumbuh rambut di kepala mereka.
Kadang Mbah Kusno dipanggil untuk datang pada mereka.Tanpa upah yang berarti kala itu. Hanya dengan pujian pada hasil kerjanya bagi Mbah Kusno sudah cukup membuatnya bahagia.
Karena cukup banyak yang menggunakan jasa Mbah Kusno dan mereka dengan suka rela memberikan upah sebagai uang lelah maka Mbah Kusno mulai bekerja layaknya seorang pekerja professional.Hanya dengan 100 rupiah kala itu sudah menjadikan Mbah Kusno kewalahan dan harus dengan sabar mereka harus antri menanti giliran.Di depan rumah Mbah Kusno di halaman yang cukup luas mereka dengan sabar menungu giliran berikutnya. Tidak peduli model rambut yang seperti apa atau bagaimana yang penting terlihat rapid an tidak sumuk kalu mereka bilang.
Kini tanpa terasa waktu bergulir begitu saja. Mbah Kusno masih saja seperti yang dulu. Tangannya masih saja terampil dan cekatan. Memotong dan merapikan rambut para pelanggannya. Tidak peduli kepala siapa itu. Mbah Kusno layaknya seorang pembesar dan punya kesaktian.
Sampai kini pelanggan Mbah Kusno sudah banyak hingga ke mana mana. Semua mengenal Mbah Kusno sebagai tukang cukur di pinggir pohon di dalam pasar. Cukup merogoh uang Rp 5.000 rambut di kepala menjadi rapih.
Kedua anak Mbah Kusno sudah “menjadi orang”. Yang sulung menjadi seorang abdi negara. Seorang TNI AD dan bermukim di Bandung dengan keluarga kecilnya. Yang bungsu menjadi seorang guru olahraga di sebuah SMP di Boyolali.
Mereka berdua sangat menghormati dan menyayangi Mbah Kusno dan melarangnya untuk bekerja lagi. Tapi Mbah Kusno tetap melanjutkan profesinya. Kali ini bukan urusan materi yang di harapkan tapi sebagai jasa dan bentuk kepuasan melihat setiap hasil akhir usahanya.
Mbah Kusno tetap bersepeda ke pasar. Tas kotak kecil selalu dibawanya. Tidak pernah terlihat lelah dan selalu merasa bahagia dengan hidupnya. Hatinya selalu puas melihat setiap orang yang memakai jasanya tersenyum dan selalu berkata akan kembali lagi. Sederhana tapi penuh dengan makna.
SARWORINI
Mranggen, Demak
Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti (2019)