Dari pintu ke pintu ia meyakinkan orangtua ABK (anak berkebutuhan khusu) supaya masa depan ABK cerah. Semua menolak, namun semangatnya tak patah arang. Nurya Ningsih sang Kepala Sekolah yang terus berjuang.
***
“Tiuuuuuuu…. Tiuuuuuuu…. Bunyi dering ponsel saya ketika mengontak seorang Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB). Tak lama kemudian ia mengangkat ponselnya. Kami saling menyapa lewat telepon aplikasi WhatsApp.
“Hallo Bu,” demikian saya menyapanya. Ia kembali menyahut lembut. “Hallo de”. Kami mengawali percakapan dengan akrab.
Kami sudah saling kenal. Sejak 5 tahun silam dibeberapa pertandingan ABK kami sering bertemu. Waktu itu aku masih aktif melatih ABK.
Kemudian kami berbincang-bincang.
***
Tahun 2010 silam, Nurya Ningsih memutuskan memenuhi panggilan hidupnya kepedesaan. Kenyamanan hidup kota, ia tinggalkan. Sebelumnya ia sudah bertahun mengabdikan diri di SLB Negeri Binjai. Di Binjai ia bisa mendapat segala sesuatu yang ia butuhkan. Tentu dirinya sudah merasa hidup lebih baik.
Namun pemerintah menempatkan Nurya sebagai kepala sekolah ke SLB Negeri Angkola. Tawaran ini bisa saja ditolak. Namun sebagai ASN dan guru yang siap ditempatkan di mana pun, ia lantas mengiyakan tawaran itu.
Kondisi sekolah itu menyedihkan. Bangunannya berbentuk L namun belum ada guru dan siswa. Lokasi sekolah dikelilingi hutan dan jauh dari keramaian.
“Sekolah ini bak rumah tua tak berpenghuni. Tidak ada suasana pembelajaran didapati” kata Nurya. Ternyata dirinya diutus untuk merintis sekolah itu.
Awalnya ia pesimis. Merasa tak mampu. Bahkan ia sering bertanya pada diri sendiri. “Apakah aku bisa mengembangkan sekolah ini?”
Pintu ke Pintu
Setelah meninjau sekolah, ia merencanakan menjangkau siswa ke rumah-rumah. Ketika itu pemahaman orangtua mengenai SLB masih keliru. “Mereka berpikir jika SLB itu sekolah orang gila,” kata Nurya mengenang perjuangannya sepuluh tahun silam.
Ia langsung menjumpai masyarakat yang mempunyai ABK. Nurya diabaikan. Masyarakat tidak mempercayainya.
Namun Nurya perempuan kelahiran Yogyakarta, 3 Juni 1976 ini tak mau putus asa. Semangatnya terus membaja. Dibarengi dengan kelihaian berpikirnya, ia langsung menghubungi Kepala Desa setempat namun hasilnya sia-sia.
Tidak berhenti sampai disitu, ditu, dirinya menemui Kepala Dinas Pendidikan untuk meminta surat rekomendasi penjaringan siswa ke sekolah-sekolah.
“Saya berpikir ini adalah jalan terbaik,” kata Nurya. Dia mengunjungi sekolah-sekolah. Memberi pemahaman ke setiap sekolah yang ia temui. Awalnya guru-guru tidak mengetahui SLB. Ia menjelaskan dan mencoba meyakinkan mereka, jika SLB yang akan ia rintis adalah sekolah yang tepat bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Berkat perjuangan itu satu persatu siswa berdatangan. Untuk meyakinkan mereka, Nurya berupaya melengkapi fasilitas. “Saya beli perlengkapan permainan anak-anak seperti plosotan, jungkat jungkit dan ayunan. Semua itu kami cat berwarna warni,” ujar Nurya.
Ketika itu belum ada sekolah inklusi tempat ABK bersekolah. “Sekolah tidak memiliki guru yang kompeten mendidik ABK. Nah, saya meyakinkan guru dan orangtua siswa, kalau anak mereka akan didik guru yang profesional,” katanya.
Hasil tidak pernah membohongi kerja keras. Kerja keras pasti membuahkan hasil.
Manis pahit telah dilalui Nurya. Ia mencucurkan keringat dan air mata. Perjuangannya untuk mengangkat harkat martabat ABK ternyata berhasil. “Dulu mereka (ABK) dipandang sebelah mata, bahkan dianggap tidak berarti. Kini orangtua sudah bangga melihat mereka,” ujarnya.
Sekolah yang tak berpenghuni itu, kini telah memiliki berbagai fasilitas pembelajaran sekolah. Mulai dari alat musik, peralatan olahraga, tata boga, tari-tarian, alat melukis dan asrama bagi siswa yang rumahnya jauh.
Di sekolah ini anak-anak dilatih keterampilan masing-masing seperti olahraga, memasak, menari dan drum band. “Saya yakin mereka memiliki bakat. Sebab tidak ada manusia yang lahir tanpa kelebihan,” ungkap Nurya.
Berkat kehadiran Ningsih, kini sekolah itu telah menghasilkan siswa berprestasi tingkat nasional di bidang olahraga lari, booce dan melukis.
Nurya juga tidak ingin anak-anaknya ketinggalan dalam keikutsertaan merayakan hari-hari besar seperti hari ulang tahun Republik Indonesia. Mereka melatih anak-anak bermain drum band. “Mereka kami latih.saya sedih jika mereka tidak dilibatkan,” ucapnya.
Keberhasilan Ningsih memajukan SLB Negeri Angkola patut diancungi jempol. Kerelaannya meninggalkan Kenyamanan hidup di kota hal yang sulit ditemui di negeri ini. Tidak banyak orang yang mau terpanggil memajukan pendidikan di pelosok. Bahkan masih banyak di sudut pelosok negeri ini lapisan masyarakat yang tidak terjang pendidikan dengan baik.
Kisah Nurya Ningsih, perempuan asal Yogyakarta ini layak ditiru dan digugu. Kegigihannya dan kerja kerasnya menjadi cambuk keras bagi orang lain yang tidak peduli dengan sekelilingnya.
Jika Nurya menjadi pahlawan di kampung orang nan jauh, maka kita harus melebihinya sebagai patriot di daerah masing-masing.
LINDUNG SILABAN – Deli Serdang, Sumatera Utara
Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nuisantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti (2019)