Di era serba digital dan komputerisasi ini, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata tak semua bisa semudah itu teknologi diterapkan. Bahkan di perusahaan bank sekalipun. Ah, tepatnya di Bank BTPN, khususnya di Kantor Cabang Semarang. Begini kisahnya.
Pagi itu, suasana memang sudah mendung. Saya tergopoh-gopoh ke Bank BTPN Semarang untuk menyerahkan segala berkas yang dibutuhkan terkait data meninggalnya Ibu saya, nasabah di Bank BTPN ini. Ibu meninggal masih dalam hitungan hari.
Perempuan petugas customer service (CS) akhirnya menemui saya, setelah menunggu sekian lama dalam antrean. Tak apa, memang pandemi ini tidak membuat orang leluasa dalam antrean, tapi memang protokol Kesehatan harus demikian diberlakukan. Saya paham.
Petugas CS itu menerima berkas yang saya serahkan, kemudian dengan teliti memeriksa berkas-berkas yang saya sodorkan dan dengan wajah serius melihat monitor komputer di depannya beberapa kali.
” Maaf Bu, ternyata Ibu Anda bukan nasabah dari bank kami di sini, ini dari Surabaya, jadi segala pengurusan berkas dan surat yang berhubungan dengan saldo di rekening tabungan Ibu Anda harus diurus di Surabaya,” kata dia, datar.
” Tapi ini sudah era digital Mbak, semuanya serba online. Apakah tidak bisa kalau urusan ini diselesaikan di bank ini? Toh, dengan bank yang sama juga tempat Ibu saya buka rekeningnya.”
” Maaf ibu, ini sudah sistem dan prosedur. Kami tidak bisa melayani apabila tidak sesuai dengan prosedur,” kata petugas CS itu, lagi.
“Tapi ini pandemi Mbak, banyak aturan untuk menuju ke Surabaya. Tidak bisakah dibantu untuk ini?” kataku, setengah memohon.
Petugas CS itu bergeming, ia tak berusaha sedikitpun untuk membantgu, menurutku. “Sekali lagi, maaf ibu, kami tidak bisa melayani, saldo di rekening Ibu Anda juga hanya sedikit.”
Jawaban itu seperti menohokku. Ibu saya memang pensiunan, semula membuka rekening di Bank BTPN Kertajaya, Surabaya, untuk memngambil pensiuanannya. Namun belakangan ikut saya ke Semarang sehingga mengambil pensiun pun di Semarang. Tapi, persoalan saldo rekening Ibu sedikit atau banyak, tentu bukan urusan petugas CS itu. Menurutku, customer service tugasnya memberikan layanan sebaik-baiknya kepada nasabah, tak penting saldonya beberapa puluh ribu atau triliunan rupiah. Layanan kepada siapa saja, bukankah sama?
“O, begitu ya Mbak. Jadi, kalau saya tidak mengurus ke Surabaya dan rekening berhenti begitu saja tidak apa-apa ya?” tanyaku.
” Iya Bu, kiranya demikian penjelasan dari saya,” petugas CS itu sangat sakhelijk, kelihatan ia tidak ingin menampung banyak pertanyaan saya lagi. Jika sudah atas nama system dan prosedur, sepertinya sudah harga mati.
” Terima kasih, Mbak,” kataku, lemah.
Rekening yang saya urus ini memang punya almarhumah Ibu, jumlahnya memang mungkin tidak seberapa, Ibu saya pensiunan biasa, bukan konglomerat. Bukahkah harusnya petugas CS perwakilan bank ini mengucapkan terima kasih karena saya telah sesegera mungkin melaporkan dan memberikan berkas-berkas terkait meninggalnya Ibu yang saya sayangi itu. Masih dalam kondisi duka, saya tunaikan itu.
Belum sempat beranjak dari tempat duduk terdengar suara nyaring dari petugas CS itu tersebut.
“Pak Bambang, silakan…”
Kalimat itu dengan kata lain saya harus beranjak berdiri, dari kursi di depannya. Ia tak menoleh saya lagi, ia menatap lurus ke depan, menyambut Pak Bambang, nasabah lain yang dipanggilnya tanpa nomor antrean itu.
Perlahan, saya pun berdiri dari bangku terhormat, tempat yang seharusnya nasabah mendapat layanan terbaik. Saya meninggalkan ruangan. Tidak sepenuhnya mengerti, di era serba digital ini, nasabah mengapa harus berlari ke sana ke mari untuk memberikan berkas, beda kota dan jauh jaraknya. Terlebih saat pandemi seperti sekarang, betapa tak mudah ke luar kota.
Saya meninggalkan ruangan sejuk di bank BTPN itu. Semua ini saya lakukan demi gundukan tanah merah di makam Ibu, demi segenggam asa yang ada di hati. Saya harus menerima semua ini, atas nama sistem dan prosedur. Begitu susahnya antar cabang bank ini saling berkonfirmasi. Apakah benar katanya, karena saldo rekening Ibu saya tak banyak?
Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena saya bukan siapa-siapa. Jika bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah? Apakah harus begitu?
12 Januari 2021
SARWORINI – Mranggen, Demak