NYALANYALI.COM, Kisah – Yanto, demikian dia biasa dipanggil, sekilas seperti karyawan pada umumnya. Kerjanya tidak begitu berat, hanya mengantarkan berkas dari unit kerjanya ke ruangan-ruangan yang hendak dituju. Kadang kalau di ruangan, dia juga membantu karyawan lainnya untuk foto copy, penjilidan atau pekerjaan kantor “kelas bawah” lainnya. Sebagai karyawan yang berada “kelas jabatan” terendah, namun Yanto tidak merasa direndahkan, apalagi kawan-kawan seruangannya juga tidak pernah menjadikan kelas jabatan sebagai “tembok berlin” dalam bergaul di tempat kerja.
Meski jabatan di kantor hanya sebagai caraka, jabatan kelas paling bawah, tapi jangan ditanya tentang keberaniannya di bidang yang lain. Mereka yang punya jabatan tinggi saja belum tentu punya keberanian seperti Yanto. Bisa jadi karena dia adalah orang Betawi asli, sehingga memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh banyak orang.
“Bukankah agama tidak melarang untuk memiliki istri lebih dari satu,” demikian alasan yang dia sampaikan dengan polosnya. Sebagai orang muslim, saya tahu itu diperbolehkan. Daripada udah nikah tapi selingkuh? Atau udah nikah malah berkeliaran di lokalisasi? “Mending kaya saya. Sah menurut hukum agama, saah menurut hukum negara. Dan karena sah, justru malah membawa berkah buat kami sekeluarga,” jelasnya.
Kuliah tentang poligami pun berlanjut. Menurutnya, kalau kita pacaran gak jelas, atau bahkan sering “jajan” di tempat yang gak jelas juga, hukuman dari Allah tidak hanya akan diterima di akhirat saja, tapi pasti sudah dikasih DP di dunia. “Hukuman di dunia itu hanya DP aja. Kalau kita menyikapinya dengan tawadhu, hukuman itu bisa jadi peringatan karena Allah sayang sama kita, agar kita segera kembali ke jalan yang benar,” dia menjelaskan dengan gaya seorang ustad.
Ketika ditanya, apakah dia bisa berlaku adil terhadap kedua istrinya, dia menjawab, “adil itu letaknya bukan karena ini,” ujarnya sambil menjentikan jari tengah dan ibu jarinya, “tapi di sini,” jelasnya sambil meletakkan tangan kanannya di dada kirinya. Menurut dia, keadilan bukan hanya dilihat dari pemberian materi yang sama kepada para istri, tapi lebih bagaimana menjaga perasaan para istri agar mereka merasa diperlakukan sama oleh kita sebagai suami. Kepada istri pertama saya akan memberikan materi lebih sedikit dibanding yang kedua, karena anak-anak saya dari yang pertama udah pada kerja, dan bisa bantu orang tua. Dan kadang yang kedua juga bisa lebih banyak dari istri pertama ketika anak-anak dari istri kedua membutuhkan biaya sekolah yang lebih. Selama keduanya memahami dan menerima, itu sudah bisa dibilang adil. “Saya juga sering mengingatkan kepada mereka. Jika kalian sayang saya, tolong tegur saya ketika saya dianggap berlaku tidak adil, karena saya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam hati kalian, hal inilah yang membuat kami selalu akur-akur saja,” tambahnya.
Yang lebih menarik, ketika dia ditanya, apakah dengan gaji seorang caraka, dia bisa menghidupi dua istri beserta 12 anaknya? Dengan enteng dia menjawab, “gaji memang diatur kantor, tapi untuk rezeki, Allah yang ngatur.” Jawaban sederhana namun dia sudah berhasil membuktikannya, karena sampai detik ini dia bisa menghidupi keluarganya. “Gaji saya memang tidak sebesar Bapak-bapak pejabat. Tapi Bapak-Bapak itu tidak ada yang memiliki keberanian sebesar saya,” ujarnya sambal tertawa.
Menurutnya, banyak orang yang jabatannya jauh di atas dia, tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, apalagi dilakukan secara terang-terangan. “Saya juga heran, kenapa orang seperti Bapak malah tidak berani melakukan seperti apa yang saya lakukan,” dia mulai menyerang pribadi sepertinya. He he he……
Sepertinya masalahnya bukan masalah berani atau tidak berani, saya mencoba cari argument. Kebanyakan dari mereka masih khawatir tidak bisa berlaku adil. Karena salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa berpoligami adalah berlaku adil. “Ah, omong kosong itu Pak,” dia langsung memotong penjelasan saya. “Yang jelas mereka takut sama istrinya dan takut kehilangan jabatannya. Padahal yang harus kita takuti sebenarnya hanya Allah SWT, dan jabatan itu cuma titipan,” diapun berfilosofis.
Di satu sisi, pendapat dia ada benarnya juga. Selama ini banyak yang khawatir kehilangan jabatan bukan hanya karena gak berani berpoligami saja, tapi juga ada hal lain. Khawatir pendapatannya berkurang, khawatir performancenya turun, khawatir tidak dihormati orang lagi, khawatir kehilangan fasilitas dan masih banyak kekhawatiran lainnya. Padahal jabatan itu hanya titipan. Yang bisa hilang kapan saja.
Sebagai amanah, jabatan juga harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya dipertanggungjawabkan setiap triwulan kepada atasan kita, tapi juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah saat yaumil akhir kelak.
“Dan saya siap mempertanggungjawabkan terhadap apa yang sudah menjadi jalan hidup saya ini Pak. Dan menurut saya, pertanggungjawaban saya lebih ringan, karena hanya bertanggung jawab sebagai keluarga terhadap dua istri dan 12 anak saya, “ ujarnya sambil menambahkan bahwa kalau para pejabat harus mempertanggungjawabkan amanah mereka terhadap para karyawan dan keluarganya. “Jika seorang Kepala Bagian punya anak buah 20, dengan anak karyawan masing-masing 3 orang, maka dia harus berlaku adil terhadap 100 orang,” jelasnya dengan senyum khasnya. “Jadi masih lebih enak saya kan…??” ujar Yanto, demikian dia biasa dipanggil.
WASTA GUNADI
Penulis dan Pengajar Kehumasan – Jakarta
Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 01: Orang-orang Sakti (2019)