NYALANYALI.COM, Kisah – Jalan punya kami, Bos.
Anak tongkrongan punya wilayah. Gak perlu helem dan surat-surat, motor modifikasi se modif-modifnya ngelencer di jalanan. Revisi: ngelencer persis di tengah -tengah jalanan, Bos.
Semalam main kebut-kebutan, Bos.
Di jalanan mumpung tak ada patroli. Beberapa ribu uang taruhan, kami tahu tak akan membuat kaya raya, tapi yang penting kesohor, Bos.
Kami bukan pencari sensasi, Bos.
Main motor pelarian saja, karena kerja makin sulit didapat. Otangtua pun sudah larang melarang, tapi kami nekat saja, butuh aktualisasi paling tidak di sekitar kawan sendiri, Bos.
Kami jangan diberitakan negatif ya, Bos. Berita banjir di Terminal 3 saja, tak “berani” media mengangkatnya, seolah dilupakan saja. Media sudah tak jelas posisi berdirinya, merasa menjadi anggota keluarga istana semua. Bagaimana bisa, Bos. Kok bisa sih, Bos.
Ini cerita kami, Bos.
Kalau saja sekolah murah, kerja mudah, buat apalah kami begini. Membanggakan orangtua pun tak bisa, meski menang balapan beberapa kali, beberapa kali pula teman balapan melaju ke akherat atau ke rumah sakit. Sedih, Bos.
Maunya kami, nah Bos.
Kalau ada sirkuit balap buat orang semacam kami, siapa tahu salah satu kami bisa kocok-kocok botol besar dipanggung juara balap motor dunia. Siapa tahu, Bos.
Menyetut, mendorong motor mogok dengan kaki pengendara lain, kerap kami lakukan, Bos. Kami anggap tolong menolong dalam kebaikan. Setelah menggeber wrang wreng motor butut semalaman. Motor mogok kemudian jadi kerjaan mengesalkan, Bos.
Kami punya jalan, Bos. Persis di tengah jalan. Berwrang wreng dahulu, menyetut-nyetut kemudian. Pepatah kami itu, Bos.
:: Di ujung jalan dekat persimpangan, polisi mengintip dari kejauhan, formulir tilang tergenggam di tangan.
Walah, apes nian lah kau, Bos.
26 Agustus 2016
S. DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup