NYALANYALI.COM – Jauh sebelum periodisasi masehi, tumbuh berkembang sebuah negeri. Sistem demokrasi menjadi pilihan para pendiri negeri sejak negeri yang terletak di ufuk barat itu diproklamirkan, melalui debat panjang dan alot tentunya. Negerinya genit, segenit ondel-ondel. Akhirnya bersepakat para pendiri negeri untuk menamakan negeri mereka sebagai Negeri Ondel-ondel.
Sempurna Paripurna, seorang anak negeri, berwawasan kebangsaan pas-pasan. Intelektulitasnya tak terlalu menonjol. Hanya saja, pria yang akrab disapa Sempur itu memilki kemampuan imajinasi di atas rata-rata. Rupanya, skil imajinasi yang dimilikinya baru disadari setelah dua tahun dirinya tak bekerja alias pengangguran. Maklum, Negeri Ondel-Ondel pernah dilanda wabah penyakit menular, sewindu lamanya. Sempur menjadi salah satu orang yang terdampak, diberhentikan dari tempatnya bekerja karena alasan keuangan.
Suatu ketika, dalam masa penganggurannya, Sempur mengambil sebuah buku kecil tak terlalu tebal dari rak usang yang hampir keropos dimakan rayap. Rupanya, buku catatan nama dan alamat kerabatnya. Dibukanya mulai dari lembar pertama. Sambil mengingat aktivitasnya terdahulu sebagai pegiat organisasi lokal di wilayahnya.
Didapati nama kawannya, Timbul. Dua sahabat itu pernah terlibat dalam sebuah tragedi tak berdarah di kampungnya. Tragedi itu pula yang mengikat hubungan perkawanannya. Mereka sering bertitip salam, meskipun tak tatap muka.
Bergegas Sempur dengan langkah hampir gontai.
“Semoga si Timbul belum pindah rumahnya,” harap Sempur.
Dalam kecamuk pikirnya, Sempur terus melanjutkan langkah. Selain silaturahmi, rupanya dia punya asa lain, asa kembali beraktivitas yang tak hanya berorientasi sosial, diharapkan dapur juga bisa terus ngebul.
Tiba dia di depan rumah yang tak terlalu besar, ingatannya makin menguat, yakin jika itu adalah rumah kawannya, Timbul.
“Permisi…”
“Permisi…”
“Ya…”
Sahut suara dari dalam. Suara yang makin meyakinkan, bahwa rumah yang dikunjungi adalah rumah Timbul.
“Sempur…”
“Kemana aja, baru nongol?”
“Tidak banyak berubah muka kamu.”
“Saya pikir sudah ditelan matahari, kamu.”
Bentuk rasa rindu pada sahabatnya, Timbul memberondong suara dan candaan.
Berjumpa mereka, setelah sewindu tak tatap muka, ditemani dua cangkir kopi dan rebusan singkong. Saling bertanya kabar dan kegiatan masing-masing. Tak seperti biasa, jika dalam tradisinya, mereka jarang terlibat pembicaraan serius soal uang dan bisnis. Kali ini, disisipkan oleh Sempur pembicaraan soal uang. Maklum ekonomi Sempur sedang tidak baik-baik saja.
Timbul bukan orang dalam kategori ekonomi menegah ke atas. Pas-pasan ekonominya, cukup makan dan kebutuhan sehari-hari saja. Hanya saja dia memiliki informasi lebih terkait kegiatan yang berpotensi menghasilkan uang.
“Sekitar 500 hari mendatang negeri kita akan menyelenggarakan hajat demokrasi, pemilu,” kata Timbul, seraya menginformasikan kepada Sempur.
“Dalam proses pemilu, dibutuhkan orang untuk menjadi penyelenggara pemilu.”
“Sebaiknya, kamu ikut mendaftarkan diri sebagai penyelenggara,” imbuh Timbul kepada Sempur.
Berfikir sejenak Sempur, sembari menyantap singkong rebus yang disuguhi tuan rumah. “Baik, saya akan ikut seleksi penyelenggara pemilu,” ucap Sempur dengan mantap.
Setelah pulang dari rumah kawannya, Sempur mulai mempersiapkan persyaratan administrasi pendaftaran. Tak lupa, dia pun belajar tentang materi wawasan kebangsaan. Karena menurut informasi, hal itu lah yang akan diuji oleh tim seleksi.
Sepekan kemudian, setelah lolos administrasi, Sempur memasuki tahapan seleksi selanjutnya, yakni tahapan tes wawancara. Bersama para calon penyelenggara lainnya, Sempur berhadap dengan tim seleksi. Satu persatu para calon ditanya oleh tim seleksi, diuji wawasan kebangsaan Negeri Odel-ondel. Ada yang mampu menjawab dengan benar, ada pula yang memberikan jawaban keliru. Sedari pagi tes wawancara itu berlangsung, hingga sebelum matahari terbenam, tim seleksi menyudahi proses tes wawancara.
Pulang semua para calon penyelenggara, berharap terpilih dalam tiga orang yang akan menjadi penyelenggara pemilu . Sepekan mereka harus menunggu pengumumnan. Dalam proses menunggu, banyak manuver yang dilakukan oleh para calon demi terpilih sebagai penyelenggara. Ada pula yang pasrah dan berdoa tanpa intrik.
Sepekan berlalu, saat yang ditunggu akan tiba . Terpampang pengumuman di sejumlah titik. Di pasar, balai warga, pelabuhan, dan beberapa tempat keramaian lainnya. Ada lima orang yang namanya tertulis dalam pengumuman yang dibuat oleh tim selesksi, sebagai penyelenggara terpilih. Sempur masuk dalam salah satunya. Ada yang bergembira, ada pula yang kecewa atas keputusan tim seleksi penyelenggara pemilu di Negeri Ondel-ondel. Bagi yang tak terpilih, jelas raut muka kecewa. Namun, Sempur tak menunjukan ekspresi berlebih, datar sedatar bumi yang diinjaknya.
Tahapan demi tahapan telah dilaluinya. Hingga masuk tahapan yang mulai menguras banyak energi, persiapan menuju hari pencoblosan. Peraga kampanye mulai bertebaran, banyak harapan dan janji terpampang. Ada pula yang menganggap bahwa itu semua tak lebih dari proses tipu-tipu, apatis dengan demokrasi di negerinya.
Satu pekan sebelum pencoblosan, anggaran sudah mulai didistribusikan dari otoritas terkait. Tak sedikit uang yang akan berputar di negeri itu. Integritas akan bertarung dengan hawa nafsu. Apalagi kapasitas sebagai seorang penyelenggara.
Mekanisme distribusi anggaran mengharuskan penyelenggara mengambil dana pemilu ke otoritas yang telah ditentukan sesuai regulasi.
Bergegas Sempur menuju tempat yang ditunjuk pemerintahnya untuk mengambil dana pemilu, kemudian akan dipergunakan untuk proses pemilihan, pekan mendatang. Tanpa ditemani anggota lainnya, seorang diri dia membawa koper untuk membawa uang. Bukan maunya seorang diri, anggota lainnya berhalang ikut, ada urusan yang tak kalah pentingnya dari sekadar mengambil dana pemilu.
Setelah diverifikasi, valid data Sempur. Diberikan sejumlah uang yang tak sedikit nilainya.
“Saya belum perah meihat uang sebanyak ini.”
“Mungkin, seumur hidup saya, tak akan sanggup mengumpulkan uang sebanyak ini.” Verifikasi administrasi usai dilakukan, tanda tangan pun sudah, serah terima uang sukses. Bergegas Sempur meninggalkan tempat pengambilan dana pemilu, pulang membawa koper berisi uang.
Kurang dari setengah jarak perjalanan, dilihatnya dari kejauhan sebuah pohon rindang, pikirnya cocok untuk beristirahat. Berhenti Sempur, diletakan koper berisi uang dengan posisi seperti bantal. Merebahkan diri dengan berbantal koper.
Tetiba, terdiam Sempur.
Kali ini bukan sekadar imajinasi, delusi Sempur muncul.
Ada dua mahluk muncul dengan dua karakter yang berbeda. Keduanya muncul dari sisi yang berbeda. Awal kemunculan kedua mahluk itu sungguh mengejutkan, seperti kisah Aladin yang mengeluarkan jin dari teko ajaib dalam hikayat 1001 Malam.
Asap putih muncul dari sisi kanan dan kirinya. Membumbung hingga membentuk sebuah pola. Bukan kotak, bukan pula bundar, polanya lebih mirip kepala dan badan manusia. Tak sampai di situ, keluar suara dari pola asap, diduga jin. Makin terkejut Sempur.
Awal suara, keluar dari sisi kiri Sempur.
“Hai Sempur …!”
“Saat ini kau berkesempatan untuk menjadi orang kaya.”
“Bawa saja uang dalam koper itu. Setelah itu kau bawa keluargamu pergi yang jauh, mulai hidup baru dengan uang itu.”
“Kau tak perlu takut, pasti akan aman.”
Tak langsung percaya anjuran jin. Sempur membantah bujuk rayu jin.
“Kau pikir akan sesederhana itu. Negara punya laskar, pasti aku akan dicari. Setelah itu aku dipenjara, anak istriku akan menderita sepanjang hidupnya.”
Tak mau kalah argumentasi, jin mengeluarkan jurus baru demi terbujuk target.
“Hei… Manusia!”
“Kau pikir sistem intelejensi dan keamanan negeri kita secanggih di Indonesia?”
“Laskar Negeri Ondel-ondel memiliki banyak catatan kasus prioritas yang harus ditangani di tahun politik ini, pemerintah pasti akan lebih serius mengusut kasus lawan politiknya ketimbang kasusmu.”
Terbujuk rupanya Sempur, dalam hati membenarkan argumentasi jin penggoda.
“Kau betul juga jin, baik kalau begitu.”
“Kali ini, akan aku ikuti anjuranmu.”
Matahari mulai merendah di ujung barat, dialog jin dan Sempur pun usai. Menang jin, Sempur terpengaruh bujuk rayu. Argumentasi jin rupanya dirasa masuk akal. Mulai bergegas Sempur, sambil berpikir kemana dia dan keluarga akan bersembunyi dari jerat hukum atas tindakan yang dilakukan, membawa kabur dana pemilu Negeri Ondel-ondel.
Tak lagi mempertimbangkan komitmen dan integritas sebagai penyelenggara pemilu, Sempur mulai mengangkat koper berisi uang. Belum sampai dia bergegas, tiba-tiba dikejutkan untuk kesekian kalinya. Kali ini dia dikejutkan oleh suara yang muncul dari mahluk sisi kanannya.
“Sempur… Bukan kah kau sudah komitmen dan disumpah atas integritas.”
“Jika kau gondol uang itu, bagaimana nasib pemilu yang beberapa hari lagi akan dilaksanakan.”
“Negeri ini akan carut-marut jika pemilu tidak dilaksanakan.”
“Sebab suara rakyat sudah sepakat bahwa tak ada penambahan periodisasi kepemimpinan.”
“Suara rakyat adalah suara Tuhan, bagaimana nanti kau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan rakyat dan Tuhan?”
Bijak seraya menasihati, jin dari sisi kanan Sempur mengarahkan agar tak menjalankan niatnya untuk membawa kabur uang dalam koper itu.
Terdiam Sempur, berada di tengah, antara sisi kanan dan kiri. Kembali berpikir matang untuk menentukan jalan mana yang akan diambil.
Perdebatan sengit terjadi di antara dua jin, Sempur hampir tak mampu berpikir matang karena argumentasi kedua jin masing-masing memiliki dasar dan diterima oleh kapasitas logikanya. Sulit saat itu baginya untuk membedakan realitas dan delusi, juga imajinasi.
Saat perdebatan dua jin masih berjalan alot, saling lempar argumentasi belum usai. Tiba-tiba saja, persis dari arah jam dua belas ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Awalnya yang dilihat hanya sebuah fatamorgana, kelamaan membentuk pola berstruktur manusia. Benar saja, semula fatamorgana, dalam pandangan Sempur berubah menjadi seorang kakek bertongkat. Makin terkejut untuk kesekian kalinya, Sempur.
“Ya Tuhan… Apa lagi ini!”
“Reealitas atau ilusi?”
Sempur bergejolak psikologinya, jiwanya tergoncang. Mencoba berprasangka baik atas situasi yang terjadi.
Kakek bertongkat dalam pandangan Sempur mulai menggerakan kaki seraya melangkah mendekatinya. Senyum tipis terlepas dari bibir yang tak lagi merekah mengiringi langkah sang kakek. Sekira berjarak selangkah orang dewasa, si kakek menatap tajam Sempur.
“Aku tahu, kamu sedang dalam pergolakan pemikiran, antara kana dan kiri, anak muda.”
“Aku datang membawa solusi atas kegundahanmu.”
“Ikuti langkahku, bawa koper isi uang itu, ketimbang engkau menggondol uang negara.”
Tanpa pikir panjang, yakin dengan cakap si kakek, Sempur mengikuti arahannya. Taka ada dialog panjang, singkat saja, mereka melangkah meninggalkan tempat yang menjadi titik awal kemunculan mahluk imajinernya.
Sepanjang perjalanan, taka ada dialog, pun sekadar bertanya identitas. Hingga sampailah mereka di sebuah tempat. Alih-alih akan diajak istirahat di tempat yang tenang, Sempur hanya bisa diam, karena justru dia diajak ke tempat ramai dan penuh aktivitas.
“Tempat apa ini, kek?”
“Mengapa engkau mengajakku berhenti di sini?”
Sang kakek kembali menatap, setajam tatapannya pada awal berjumpa dengan Sempur, merespon atas pertanyaan Sempur.
“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku akan bercerita dahulu siapa dan dari mana aku berasal!”
“Panggil aku Nepo, aku hidup jauh sebelum peradabanmu saat ini, bahkan sejatinya aku bukan dari bangsamu, bangsa manusia. Aku adalah bangsa jin yang merubah wujud menjadi manusia.”
“Aku lebih memilih keluar dari alam dan dimensiku, ada persoalan prinsip yang tak bisa ditawar. Aku berbeda pendapat dengan para petinggi negeriku.”
“Perbedaan prinsip itu berawal ketika dinamika tata pemerintahan di negeriku sudah sangat panas, sepanas tata kelola pemilu di Indonesia. Krisis kepercayaan sudah tak bisa dihindarkan, agitasi atas reformasi sangat terstruktur, sistematis, dan masif. Arus bawah, akademisi, aktivis, serta cendikiawan menawarkan solusi kebangsaan, agar negeriku merubah bentuk pemerintahannya menjadi demokrasi. Konsekuensi logisnya, pemilihan umum harus direalisasikan untuk memilih pemimpin negeriku.”
“Namun, di saat itu pula, pemangku kepentingan tertinggi negeriku tetap kukuh pada pendiriannya, bahkan para laskar jin memberangus, semua yang menolak dihanguskan. Atas dasar itu, aku keluar dari negeriku.”
“Dalam pengembaraanku di alam jagat raya ini, aku mendengar negerimu akan mengadakan pemilihan umum, dan aku melihat engkau dalam situasi yang tidak baik-baik saja sebagai penyelenggara. Aku berempati, tak sekadar simpati kepadamu,” tutur Nepo.
“Jika berkenan, bolehkah aku menolong dirimu, anak muda? Agar engkau tidak terjebak pada skandal pemilu. Karena jika hal itu terjadi, dipastikan proses pemilihan umum di negerimu akan gagal dilaksanakan, artinya negerimu akan berpotensi berpindah haluan pada bentuk pemerintahan selain demokrasi, mungkin saja tirani,” tambah Nepo.
Alih-alih langsung menerima kebaikan yang ditawarkan Nepo, rupanya Sempur melepaskan pertanyaan kritis, di luar dugaan Nepo.
“Wahai Nepo, jika niatmu adalah berempati atas situasiku yang sedang tidak baik-baik saja. Mengapa engkau tidak mengarahkanku untuk mengikuti perintah mahluk yang keluar dari sisi kananku, saat percakapan di bawah pohon besar awal kita berjumpa?”
Nepo tak gentar dengan pertanyaan kritis itu, bukan jin kaleng-kaleng rupanya.
“Anak muda… Apakah kau lupa, aku ini datang dari bangsa jin, kedua mahluk yang keluar dari sisi kanan dan kirimu saat kamu istirahat di bawah pohon besar itu juga mahluk jin.”
“Aku sangat paham modus dan motif dari bangsa jin.”
“Oh… Ada yang lupa aku informasikan kepadamu. Di negeriku, aku adalah jin dengan predikat intelejensi nomor wahid.”
“Jelas, aku paham motif dan modus kedua jin itu,” jelas Nepo.
Kembali kacau alam pikir Sempur, dialektika pemikiran yang dihadapi sangat tajam. Argumentasi Nepo terus mereduksi nalar logisnya. Terlebih ketika Nepo mengatakan bahwa dia memahami motif dan modus kedua jin. Kembali Nepo mengulas, bahwa tidak seperti pada asumsi umumnya, jika mahluk yang keluar dari kanan adalah refresentasi kebaikan, dan sebaliknya.
Tidak demikian. Ternyata menurut Nepo, keduanya adalah refresentasi keburukan. Karena mahluk yang keluar dari sisi kanan Sempur sudah dipengaruhi dan didominasi oleh keburukan. Sedangkan mahluk kiri tak mampu mengharmonikan keburukannya, akhirnya buruk tetap buruk.
Seandainya, kata Nepo, engkau menuruti perintah jin kanan yang dalam asumsimu adalah kebaikan, sebetulnya tidak.
“Dia sudah mempersiapkan skenario yang lebih kejam dari jin kiri,” jelas Nepo.
Sempur merasa berterima kasih atas empati dari Nepo, merasa diselamatkan dari potensi perbuatan melawan hukum. Tak keluar kata, ucapan terima kasih tak terdengar, tapi telah bersepakat hati dan pikirnya untuk mengikuti arahan Nepo.
Sementara itu, geliat aktivitas di tempat yang mereka singgahi terus berjalan. Bahkan makin ramai, pun matahari mulai bergerak untuk terbenam. Kuntul kembali bertanya pada Nepo, maksud dan tujuan dirinya dibawa ke tempat itu.
“Nepo, selanjutnya, apa arahanmu kepadaku, aku terlanjur tak berdaya.”
“Apakah sebaiknya aku kembali ke wilayahku membawa koper berisi uang ini untuk mempersiapkan pemilu,” ujar Sempur.
Berserah diri rupanya Sempur, Nepo menyambut. Dia menawarkan sebuah solusi, meyakinkan Sempur bahwa solusinya menguntungkan, minim risiko tindak pidana pemilu.
“Baik, akan aku berikan solusi, jalan tengah yang menguntungkan, jika kau sepakat!”
“Apakah kau mengetahui tempat apa ini?”
“Tidak,” jawab Sempur, singkat tanpa ekspresi.
“Tempat ini adalah lokalisasi perjudihan,” sambung Nepo.
“Lalu mengapa kau membawaku ke lokalisasi perjudihan,” tanya kembali Sempur.
“Baik, akan aku jelaskan,” sahut Nepo sambil menarik napas.
“Bukan kah sebelumnya sudah aku jelaskan, bahwa di negeriku, negerinya para jin, aku termasyhur sebagai jin yang memliki kapasistas intelejensi yang paling top, akurasi atas analisaku tak diragukan.”
“Kemudian?” sahut Sempur, mulai penasaran.
“Tempat ini akan menjadi titik awal dalam membentuk dirimu sebagai orang kaya, tanpa harus kau tersandung delik pidana pemilu.”
Dengan sangat hati-hati Nepo meyakinkan Sempur, sementara terlanjur Sempur menyerahkan perjalanan takdirnya sebagai penyelenggara pemilu pada Nepo.
Ternyata, di luar dugaannya, rupanya Nepo mengarahkan Kuntul untuk berjudi menggunakan uang yang ada di dalam koper, dana pemilu.
Sontak saja, Sempur menolak, murka pada Nepo.
“Dasar kau jin gila, manusia gila saja tak akan terpikirkan cara seperti itu untuk menjadi orang kaya,” murka Sempur pada Nepo.
“Kau masih meragukan intelejensi dan analisaku,” kata Nepo, mulai menaik nadanya. “Baik, jika kau mau bukti,” tantang Nepo.
Tepat di seberang mereka berdialog, berdiri seorang bocah sekira usia delapan tahunan. Berdiri tanpa kawan, tak ada aktivitas khusus yang dilakukan. Rupanya, Nepo memanggil bocah itu, pun sepertinya mereka belum saling mengenal.
Manut bocah oleh panggilan si kakek jin, mendekat dengan langkah semangat, berharap ada sesuatu yang diberikan. Hanya menyeberang jalan, sampai si bocah di hadapan Nepo dan Sempur.
Selanjutnya, Nepo meminta Sempur mengambil uang dari dalam koper. Bertanya Sempur, untuk apa uang itu. Nepo tak banyak penjelasan, hanya mengatakan bahwa ini adalah pembuktian.
Sempur mengambil selembar uang dari dalam koper, ternyata Nepo meminta dengan jumlah lebih banyak. Tak tanggung-tanggung, dia meminta seperdelapan dari total uang yang ada di dalam koper. Kembali Sempur mengatakan si kakek jin itu gila. Namun, Nepo terus berusaha meyakinkan.
Mengalah Nepo, menerima pemberian selembar uang dari Sempur. Rupanya, selembar uang itu diberikan kepada bocah yang dipanggilnya dari seberang jalan. Nepo menyuruh bocah itu untuk masuk ke dalam lokalisasi perjudihan membawa selembar uang pemberian Sempur. Sebelum bergegas, Nepo membisikan sesuatu kepada si bocah. Moncer langkah bocah menuju lokalisasi perjudihan, sedangkan Sempur dan Nepo menunggu di luar.
Tak berselang lama, keluar bocah dengan wajah sumringah. Rupanya, bocah keluar dengan membawa dua lembar uang, nilainya bertambah seratus persen. Menang judi si bocah.
Terus dilakukan berulang, membawa lembaran uang yang lebih banyak dan keluar membawa hasil kemenangan. Hingga akhirnya, terpesona Sempur pada kecanggihan analisa dan intelejensi Nepo. Tak berdaya, Sempur menyerahkan sejumlah uang permintaan Nepo, seperdelapan dari total uang dana pemilu.
Tapi, urung Sempur memberikan uang itu ke bocah yang sudah berkali-kali menang berjudi dari uang dana pemilu.
“Tunggu, kali ini biarkan saya yang melakukannya ke dalam,” pinta Sempur.
Nepo mengiyakan permintaan itu. Seperti apa yang dilakukan kepada si bocah, dibisiki telinga Sempur oleh Nepo. Mantap niatnya, Sempur bergegas ke dalam lokalisasi perjudihan.
Masuk Sempur membawa sejumlah uang yang tak sedikit nilainya. Nepo dan bocah menunggu di luar. Tak berselang beberapa lama, keluar Sempur dengan raut kegembiraan.
“Kamu luar biasa, Nepo. Aku menang,” teriak Sempur dari pintu lokalisasi perjudihan. “Sekarang aku yakin, kau memiliki akurasi yang jitu, intelejensi dan analisamu tak ada tanding,” teriak Sempur, seraya memuji.
Alih-alih menyudahi perjudihan karena sudah menang dengan jumlah yang fantastis, Sempur malah makin tergiur, tak perlu lagi Nepo memprovokasi.
Mantap niat Sempur, memboyong semua uang tanpa disisakan untuk dipertaruhkan di meja judi. Melangkah dia dengan membawa harapan, menang berjudi. Saking kuatnya niatnya bertaruh, meskipun saat itu sudah ada syair larangan berjudi seperti yang ditembangkan oleh Bang Haji Rhoma Irama, rasanya tak akan ampuh juga untuk menghalau langkahnya ke lokalisasi perjudihan untuk bertaruh nasib.
Di meja judi, hanya Sempur seorang diri berhadapan dengan seorang operator judi. Saling bertatap meraka, tanpa ada basa-basi. Ditaruhnya seluruh uang yang dibawa Sempur di atas meja pertaruhan.
“Aku pertaruhkan semua uangku,” kata Sempur, dengan mantap.
Sempur kalah berjudi, semua uang yang dipertaruhkan raib. Pemilu di wilayahnya terancam gagal karena dananya sudah habis di meja judi. Sempur kalut, tidak tahu lagi harus berkata apa. Dalam situasi kalutnya, Dia memohon bantuan kepada si kakek jin, Nepo. Alih-alih memberi pertolongan, Nepo malah tertawa terbahak-bahak, gembira luar biasa.
Puas dengan situasi terpuruk sasarannya, Nepo kembali pada wujud aslinya menjadi mahluk yang menyeramkan, bermata satu dengan posisi di bagian bawah wajah, posisi mulut ada di atas hidung. Dasar jin, bentuknya tak sebaik manusia.
Keluar suara aslinya, menggelegar dibarengi gemuruh dari empat penjuru. Berkata dia pada Sempur, nadanya tegas dan mengerikan. Membuka tabirnya, Sempur kaget bukan kepalang.
“Sekarang kau sudah hancur, bahkan negerimu dengan demokrasinya terancam carut-marut. Perlu kau ketahui, aku adalah mahluk yang diutus oleh junjunganku untuk misi strategis. Misi menghancurkan sistem demokrasi di negerimu,” papar Nepo.
“Mengapa kau mau menghancurkan negeriku dengan demokrasinya,” timpal Sempur, bertanya.
Dalam kebingungan Sempur, bercerita Nepo soal misi strategisnya. Dikatakannya, bahwa dia diutus oleh tim anggrek, sebuah tim yang dibentuk oleh oposisi Negeri Ondel-ondel yang tak bersepakat dengan sistem demokrasi.
Jauh sebelumnya, tim anggrek sudah melakukan upaya agitasi agar masyarakat negeri itu tak menerima sistem demokrasi, namun kandas.
Rupanya, di antara anggota tim anggrek ada salah seorang yang memiliki kemampuan mengendalikan jin. Akhirnya keluarlah ide untuk menghancurkan demokrasi Negeri Ondel-ondel melalui pintu pemilihan umum dengan cara menjebak penyelenggaranya dengan sihir jin. Menangis Sempur sejadi-jadinya, ingat kemudian dia kepada Tuhannya, memohon ampun dalam hati. Terbayang kemungkinan buruk yang akan terjadi pada keluarga, juga negeri yang dicintainya. Sepanjang hidupnya, hari itu menjadi momentum puncak Sempur pasrah kepada Tuhannya.
Hari mulai gelap, kebanyakan orang sudah menyudahi aktivitasnya masing-masing. Sempur masih terdiam di sudut depan ruang lokalisasi perjudihan. Pintu ruangan masih terbuka lebar, tiba-tiba mendekati anak kecil yang sebelumnya menjadi pemantik dirinya untuk bertaruh judi. Anak yang memberikan keyakinan sebelumnya, bahwa kakek jin itu akan mampu menjadikannya orang kaya, tetapi nihil.
Anak itu mendekat, tapi Sempur tak merespon, hanya tatapan sinis yang diberikan. Kecewa dia pada si bocah yang dianggapnya sekongkol dengan Nepo.
Anak itu menghampiri Sempur dengan membawa koper besar, disanggah oleh kedua tangannya yang belum terlalu kekar. Tak banyak cakap, anak itu meletakan koper di hadapan Sempur. Tak menyebutkan, apa isi di dalamnya.
“Apa maksudmu, koper ap aitu?”
Terus menggumam Sempur, masih kesal dan kecewa. Tapi tak banyak juga yang bisa dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula.
“Silakan buka koper itu, paman,” timpal bocah dengan nada tenang, tanpa ada rasa takut sedikitpun di raut wajahnya atas kemurkaan Sempur.
Mulai bergerak tangan Sempur menyentuh koper, lalu diletakan di atas meja yang berada tepat di depannya. Tak menunggu waktu lama, langsung dibuka koper. Betapa terkejutnya, ternyata koper yang diberikan si bocah itu berisi tumpukan uang.
“Uang apa ini?”
“Mengapa kau berikan kepadaku?”
Dengan tatapan tajam, si bocah mulai membuka mulut, menjelaskan apa yang tidak diketahui Sempur.
“Sebenarnya aku adalah anak dari sahabat Paman, Pak Timbul!”
“Aku sengaja diutus untuk menyelamatkan paman. Bapakku mengetahui konspirasi yang dilakukan oleh tim anggrek, orang-orang yang akan berusaha menghancurkan demokrasi di negeri ini.”
“Bagaimana mungkin Timbul bisa mengetahui rencana jahat mereka,” timpal Sempur.
“Menurut Bapak, saat aku baru beberapa hari dilahirkan dan saat negeri ini awal dilanda wabah penyakit menular, bapak bekerja di markas tim sembilan. Bapak mengetahui segala informasi, termasuk rencana konspirasi jahat merusak pemilihan umum di negeri ini.”
“Saat paman terpedaya oleh kakek jin itu, dan mempertaruhkan semua uang yang ada di dalam koper, saat itu aku berpikir bagaimana caranya menyelamatkan uang itu.”
“Akhirnya, aku mendapatkan kesempatan untuk menukar koper yang paman bawa dengan koper kosong yang sudah aku persiapkan.”
“Kesempatan itu datang, saat paman dan kakek jin sedang melakukan dialog serius untuk memutuskan mempertaruhkan semua uang dalam koper di meja judi.”
“Mengapa jin itu tidak mengetahui rencanamu, sedang dia adalah jin yang sakti dengan kemampuan intelejensi yang tinggi,” tanya Sempur, penasaran.
“Untuk hal itu, aku sudah dibekali. Bapak sudah mengetahui banyak informasi, termasuk kelemahan si kakek jin. Sehingga kemampuan dan kapasitas intelejensi si kakek jin tidak berlaku padaku.”
“Silakan, jumlah uang dalam koper ini sesuai dengan jumlah awal yang paman ambil dari penyelenggara pemilihan umum pusat negeri ini. Paman bisa menggelar pemilihan umum Negeri Ondel-ondel di wilayah kita.”
“Terima kasih, Nak.”
“Entah dengan apa aku harus membalas kebaikanmu.”
“Semoga Tuhan memberikan perlindungan dan pertolongan kepada kamu dan keluarga.”
Bahagia Sempur, selamat dari jerat hukum. Berterima kasih dia pada si bocah, seraya mendoakan. Si bocah, anak sahabatnya itu undur diri, keluar dari ruangan lokalisasi perjudihan meninggalkan Sempur seorang diri. Sedang Sempur hanya terdiam, mensyukuri atas pertolongan Tuhan dengan perantara anak sahabatnya.
Terus dia terdiam beberapa saat. Mulut tak keluar suara, kaki tak kunjung melangkah. Hingga terdengar suara.
“Sempur… Saudara Sempur…!”
Terus suara itu memanggil. Hingga tersadar dia dari diamnya.
“Iya… Saya!”
“Loh, mengapa saya masih berada di tempat ini. Bukankah saya sudah melewati tahapan ini semua.”
“Mengapa saya masih berada di ruang tes psikologi.”
“Apa yang terjadi sesungguhnya?”
Saat Sempur tersadar, empat pasang mata di hadapannya, tajam meyorot dirinya. Rupanya keempat orang itu adalah tim seleksi untuk badan adhoc penyelenggara pemilu di salah satu kabupaten di Indonesia.
Rupanya Sempur bukan hidup di periodisasi sebelum masehi, hanya imajinasinya saja yang masuk dalam Negeri Ondel-ondel. Realitasnya, Kuntul hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan menyelenggarakan hajat demokrasi, pemilu.
“Untung saja Anda masih selamat dari sekandal pemilu Negeri Ondel-ondel. Jika tidak, sulit rasanya untuk lolos menjadi penyelenggara pemilu. Sebab, jangankan dalam realitas, dalam imajinasipun kami mengharamkan calon anggota penyelenggara pemilu terlibat dalam sekandal,” pungkas salah seorang anggota tim seleksi.
Kembali berkecamuk psikologi Kuntul. Bingung dia dibuatnya oleh pernyataan salah satu anggota tim seleksi. Dia bergumam, mengapa tim seleksi bisa mengetahui imajinasinya.
“Secanggih apa metode psikologinya.”
Dalam gumam Sempur, kembali salah seorang anggota tim seleksi buka suara.
“Saudara Sempur, sendainya saat itu anda gunakan semua uang dalam koper untuk program investasi jangka pendek. Mungkin, anda akan tetap menjadi orang kaya tanpa harus terjerat pidana pemilu. Karena pada periode itu di Negeri Ondel-ondel sudah ada model investasi jangka pendek Langit Merah, dengan bunga yang besar untuk jangka waktu beberapa hari saja.”
“Bagaimana anda bisa mengetahui, saya saja pemilik imajinasi tidak mengetahui,” tanya Sempur.
“Sebetulnya, saat anda berkunjung ke rumah sahabat anda, Timbul, anda akan diberi tahu olehnya. Hanya saja saat itu, anda keburu menyudahi obrolan,” jawab salah seorang anggota tim seleksi.
Makin kagum Sempur dengan kecanggihan dan kecerdasan imajinasi tim seleksi, sampai-sampai bisa mengetahui apa yang tidak diketahui olehnya, padahal imajinasi itu miliknya.
Di tengah kekaguman, tiba-tiba saja dari arah belakang Sempur, suara langkah sangat tak teratur terdengar. Langkah itu menuju anggota tim seleksi. Rupanya, seorang dengan kemeja putih dilapis jaket hitam yang mengahampiri salah seorang anggota tim seleksi itu adalah tim pengawas independen, Bawas namanya.
Bawas mendekati salah seorang anggota tim seleksi yang memberikan saran kepada Sempur untuk menginvestasikan dana pemilu dalam imajinasi sekandal pemilu di Negeri Ondel-ondel.
“Bagaimana mungkin anda sebagai tim seleksi memberikan saran kepada saudara Sempur untuk menginvestasikan dana pemilu agar dia bisa menjadi orang kaya dan lepas dari jerat hukum.”
“Bukan kah, secara prinsip anggota tim seleksi sudah sepakat, bahwa untuk hal-hal terkait pelanggaran tidak bisa ditoleransi, meskipun dalam zona imajinasi.”
“Ada hal yang tidak Anda ketahui, bahwa satu pekan setelah peristiwa Sempur di lokalisasi perjudihan, perusahaan investasi yang anda maksud akhirnya kolaps. Semua dana nasabah raib, otoritas jasa keuangan Negeri Ondel-ondel lepas tangan atas nasib uang nasabah. Termasuk Sempur, jika saat itu dia menginvestasikan semua dana pemilu, maka akan dipastikan akan raib semua uangnya. Artinya pemilu di Negeri Ondel-ondel di ambang kehancuran.”
Bawas terus mengeluarkan peluru argumentasinya, sampai tak ada celah bagi anggota tim seleksi untuk mengklarifikasi. Bawas mencatat, dua kesalahan salah seorang anggota tim seleksi. Pertama, anggota tim seleksi tidak memiliki kompetensi psikologi yang tajam serta kecerdasan imajinasi yang standar. Kedua, mengarahkan seseorang untuk melakukan tindak pidana pemilu dalam zona imajinasi.
Sempur lelah, tak lagi tertarik melanjutkan proses seleksi sebagai penyelenggara pemilu. Bangun dia dari duduknya, melangkah keluar ruangan, tanpa pamit. Baru saja membuka membuka pintu, dilihatnya seseorang bapak sedang berjalan bersama anaknya. Kembali berkecamuk psikologinya. Ternyata anak dan bapak yang dilihatnya, persis seperti sosok Timbul dan anaknya dalam imajinasi di Negeri Ondel-ondel. Sementara dari dalam ruang seleksi, perdebatan dan saling uji argumentasi soal imajinasi terus berlanjut.
***