Ombudsman Jakarta Raya: Forkopimda DKI Harus Perbaiki Koordinasi

NYALANYALI.COM, Jakarta – Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mendesak Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi DKI Jakarta segera memperbaiki komunikasi mereka terkait penanganan Covid-19 di wilayah Jakarta. “Peristiwa kerumunan massa di Tebet, Petamburan, kehadiran Wagub di acara Maulid Nabi di Tebet, kunjungan Gubernur ke rumah HRS, pemanggilan Gubernur dan jajaran oleh Polda Metro Jaya, dan terakhir penurunan baliho oleh Kodam Jaya, bukan oleh Satpol PP adalah bukti nyata buruknya komunikasi dan koordinasi Forkopimda dalam penanganan Covid,” buka Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho kepada media (23/11/2020).

Teguh meminta Forkopimda yang terdiri dari Gubernur, Ketua DPRD, Kapolda, Kajati, dan Pangdam menelisik seluruh regulasi terkait penerapan PSBB di Jakarta. “Para pimpinan tersebut seyogyanya faham bahwa sejak adanya pendelegasian kewenangan oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: HK.01.07/Menkes/239/ 2020 tentang PSBB di Provinsi DKI Jakarta, bahwa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 di Jakarta, maka kewenangan penanganannya menjadi tanggung jawab pemimpin daerah termasuk aparat penegak hukum,” kata dia.

Tata Laksana dan Sanksi PSBB Merupakan Kewenangan Daerah

Teguh mengingatkan, berbeda dengan penanganan kerumunan Bandara yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) UndangUndang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan bahwa “Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kekarantinaan Keesehatan di Pelabuhan, Bandar Udara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara.

”Pengaturan dan regulasi terkait tata kelola manajemen penanganan Covid-19 di wilayah yang telah ditunjuk sebagai Wilayah PSBB sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dilaksanakan oleh daerah yang disetujui oleh Kemenkes sebagai kawasan yang menerapkan PSBB. Hal ini termasuk aturan tata laksana dan regulasi terkait sanksi terhadap para pelanggarnya sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

“Hal yang sama juga berlaku terkait peristiwa di Megamendung dimana Kabupaten Bogor sebagai salah satu wilayah yang diawasi oleh Ombudsman Jakarta Raya dalam pelayanan publiknya masuk ke dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: HK.01.07/Menkes/289/ 2020 tentang Pemberlakukan PSBB di Provinsi Jawa Barat Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, sebagai daerah yang ditetapkan sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat yang menerapkan PSBB,” ujar Teguh.

Dengan adanya pendelegasian tersebut, maka proses pencegahan, penanganan, dan penindakan atas pelanggaran protokol kesehatan di daerah-daerah tersebut mengacu pada Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (dalam bentuk Pergub atau Perbup) sementara sampai mereka memiliki Peraturan Daerah.

“Kalau kita mau menilai kesalahan dalam penanganan di tempat-tempat tersebut seperti di Tebet dan Petamburan, maka itu merupakan kesalahan kolektif karena Forkopimda tidak mampu melakukan koordinasi dengan baik dalam proses pencegahan termasuk Kepolisian yang memiliki fungsi intelkam dalam proses deteksi dan pemberian izin keramaian dan Pangdam Jaya terkait perbantuan personil dalam proses pencegahan jika diperlukan,” lanjut Teguh.

Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya menilai, meski dalam KUHAP dan Undang-Undang Karantina Kesehatan, Polisi merupakan penyelidik dan penyidik tindak pidana kejahatan karantina kesehatan, namun akan lebih bijak jika Polda Metro Jaya memilih berkoordinasi dengan Gubernur dan jajarannya terkait pelanggaran yang berada di wilayah hukumnya. “Mengacu pada Pergub 101/2020 tentang Sanksi dalam Pelaksanaan PSBB, maka penyidik dalam pelanggaran tersebut adalah Pol PP sehingga akan lebih baik jika polisi membantu Pol PP dalam pelaksanaan sanksi tersebut dan semua itu bisa dilakukan dalam forum bersama Forkopimda DKI,” kata Teguh.

Fokus pada PR Besar Ombudsman

Jakarta Raya menilai ada PR besar yang harus segera dilakukan Forkopimda yaitu membantu pihak Dinas Kesehatan DKI dalam melakukan tracking (pelacakan), tracing (penelusuran), dan testing (pengujian) terhadap massa yang berkerumun di Tebet dan Petamburan agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar. Terkait penurunan baliho, Ombudsman Jakarta Raya menilai hal itu penting tapi bisa diserahkan ke pemegang otoritasnya terlebih dahulu.

“Penurunan baliho merupakan hal yang penting sebagai pelaksanaan Perda No. 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, namun dalam perspektif penanganan Covid, akan lebih efektif jika Polda Metro Jaya dan Pangdam Jaya memberi perbantuan kepada Pemprov dengan mengerahkan Bhabinkamtibmas dan Babinsa melakukan proses tracking dan tracing terhadap peserta kerumunan agar Dinkes DKI bisa melakukan testing di Tebet dan Petamburan,” kata Teguh.

“Untuk baliho, media reklame, dan media ruang luar lain yang tidak sesuai dengan peraturan serahkan dulu ke Satpol PP dan jika mereka menemui kesulitan, Polda Metro Jaya bisa memberi bantuan pengamanan dalam proses penindakannya jika diperlukan,” ujarnya.

Pekerjaan rumah lain yang besar menurut Teguh saat ini adalah pemberlakuan Perda No. 2 Tahun 2020 yang membutuhkan turunan dalam bentuk Pergub agar segera bisa dijalankan. “Saatnya Forkominda berkoordinasi termasuk menelaah draft Pergub tersebut agar masing-masing pihak memahami perannya ke depan nanti,” ujarnya lagi.

Namun menurut Ombudsman, PR terbesar Pemprov DKI dan jajaran Forkopimda ke depan adalah konsistensi dalam penerapan aturan khususnya Perda untuk mengantisipasi ledakan transmisi Covid-19 akibat lemahnya pencegahan dan pengawasan terhadap aturan terkait protokol kesehatan selama PSBB di Jakarta. Berdasarkan pantauan Ombudsman, kerumunan massa di Tebet dan Petamburan juga Megamendung itu hal yang tampak, namun ada pelanggaran yang tidak tampak tapi dampaknya sama dahsyatnya dengan kerumunan massa di tempat-tempat tersebut yaitu klaster perkantoran dan perjalanan dinas.

Bahaya Silent Crowd

Ombudsman Jakarta Raya mengkhawatirkan kluster perkantoran dan perjalanan dinas akan mendominasi pusat penyebaran Covid-19 ke depan mengingat kepatuhan perkantoran dan industri dalam menerapkan protokol kesehatan semakin rendah. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemacetan jalan raya dan kepadatan di Commuter Line yang terus mendekati angka normal sebagai salah satu indikator rendahnya kepatuhan perkantoran dan industri dalam menerapkan protokol kesehatan.

Sementara klaster perjalanan dinas diperkirakan akan mulai terasa dampaknya di awal tahun. “Menjelang akhir tahun, bisa dipastikan kantor-kantor pemerintah akan kalap dalam menyerap anggaran termasuk pemberian izin perjalanan dinas bagi pegawainya tanpa megindahkan kewajiban untuk untuk melakukan isolasi mandiri pasca perjalanan. Jika kita tracking dari sisi anggaran, akan terlihat jumlahnya sangat banyak, mungkin sama dengan jumlah pelaku kerumunan di tempat-tempat seperti Tebet dan Petamburan, dan ini seperti silent crowd” kata Teguh.

Menurut Ombudsman, keterlibatan APH dalam penegakan aturan di dalam Perda termasuk penegakan aturan di perkantoran dan perjalanan dinas sama pentingnya dengan pencegahan dan penanganan kerumunan massa yang tampak.

Bagikan :

Advertisement