Masa Kecil Novel Baswedan (01): Seru Bermain di Kuburan dan Gobak Sodor

NYALANYALI.COMMasih ingatkah cerita lelaki yang berjalan usai salat subuh, diteror dengan disiram air keras saat jalan pulang, Selasa, 11 April 2017 itu? Lelaki yang tak bisa dipisahkan dari upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan mengisahkan masa kanak-kanak yang tidak akan pernah ia lupakan. Ia menghabiskan masa kecilnya di Semarang, Jawa Tengah sejak ia dilahirkan, pada 20 Juni 1977.

Peraih penghargaan Satya Lencana Dharma Nusa, Satya Lencana Kesatria Tamtama dan beberapa penghargaan lainnya ini, ingat benar suasanya kampungnya di Sumur Umbul, di wilayah Utara Semarang. “Tempat itu terletak di area Kota Lama Semarang, posisinya dekat Gereja Blenduk, gereja besar peninggalan Belanda, dan tidak jauh dari Pasar Kobong, pasar besar setelah Pasar Johar,” kata ayah lima anak ini, berkisah.

Novel yang menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai panutannya, di sela kesibukannya, ia menceritakan waktu kecilnya. Pikirannya diajak berlari jauh ke puluhan tahun silam. Dan, ia mengisahkan kepada Redaksi NyalaNyali.com. Berikut petikannya:

Hidup berbatas waktu, maka manfaatkan waktu untuk berbuat baik sebanyak banyaknya, selagi masih punya waktu dan kesempatan.

Masa kecil di Kampung Sumur Umbul, Semarang seperti apa dalam ingatan Anda?

Kampung Sumur Umbul, sebenarnya tak jauh dari pusat Kota Semarang. Saat itu, kebanyakan warga kurang mampu tinggal di sana. Tidak banyak yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, paling dua atau tiga orang saja, itupun kemudian mereka pindah tempat tinggal.  Daerah tempat saya tinggal itu, dikenal dengan premanismenya.

Premanisme?

Iya, saat itu di sana banyak premansime, pergaulan anak-anak muda kurang bagus. Waktu saya kecil, banyak yang mabuk-mabukan dan lainnya. Itu sebabnya, orangtua saya tidak membolehkan saya sering main di luar rumah. Sangat dibatasi pergaulan saya ketika kecil, boleh main hanya sore sampai sebelum magrib.

Saya dari keluarga besar, warga sekitar menghormati kami sekeluarga, mungkin karena mereka mengenal kiprah kakek saya (Umar Baswedan, saudara pahlawan nasional AR Baswedan), yang kerap membantu warga sekitar. Ketika kami susah, masyarakat pun memberikan bantuan. Kondisi orangtua saya saat itu ada masalah sedikit dengan ekonomi juga, kami semua merasa sama.

Saat itu, orangtua sangat menjaga Anda agar tak terpengaruh lingkungan pergaulan negatif, ya?

Benar, orangtua saya melihat pengaruh lingkungan yang kurang baik. Masyarakat di sana banyak yang masih saling berkerabat, itu sebabnya meski dalam kondisi seperti itu, tapi kepedulian antartetangga sangat baik, saya waktu kecil merasakannya. Semua saling kenal satu per satu, jika ada kesulitan saling membantu dan tumbuh empati antarmereka.

Apa problem mendasar warga di sana?

Ketika saya kecil, saat itu melihat masalah ekonomi  dan sosial di sana. Itu tadi, secara umum tingkat pendidikan tidak tinggi. Cara berpikirnya pun  sederhana. Tapi, kedekatan dengan anak-anak sebaya cukup baik.  Di sisi lain, kesetiakawanan di sana baik sekali, karena tadi barangkali ada kekerabatan, kepeduliannya dengan tetangga sangat baik. Semua saling mengenal sangat baik satu per satu, bahkan bayi lahir pun semua tetangga tahu namanya.

Jika ada yang meninggal ditandai dengan suara semacam alat tiup, sehingga kabar duka cepat sampai. Jika satu tetangga mendapat kesulitan, yang lain akan segera membantu, meski dalam kondisi ekonomi tidak baik. Empati tumbuh di sini.

Permainan apa yang paling sering Anda mainkan bersama kawan-kawan?

Di kampung, jalan keluar dan masuk hanya satu arah, areanya seperti tertutup. Tentu saja ini menyenangkan buat anak-anak bermain, beda dengan daerah yang banyak perlintasan, jadi susah menemukan tempat main.

Halaman antar satu rumah dan rumah lainnya yang saling berhadapan cukup luas, sekitar 10 meter jaraknya, sehingga saya dan kawan-kawan bisa main dengan leluasa di sana. Buat main bola saja bisa. Kami sering main  layangan, dan permainan tradisional lain seperti gobak sodor. Wah, seru kalau sudah main ini bersama teman-teman. Ha-ha-ha.

Sampai usia berapa Anda tinggal di sana?

Seingat saya, saat usia 9 tahun kami sekeluarga pindah ke rumah kontrakan di daerah Jalan Supriadi, Semarang. Tempat ini di daerah perdesaan saat itu. Sekitar 100 meter di belakang rumah, ada kuburan besar, kami sering bermain di kuburan itu. Atau main di tegalan.

Saya ingat, tak jauh dari rumah, ada sungai yang jernih dan ikannya banyak. Untuk menangkapnya dengan kaki saja sudah dapat, saking banyaknya ikan dan mudah ditangkap.

Kemudian, sekitar umur 11 tahun atau 12 tahun, kami sekeluarga pindah lagi ke daerah Citarum, Indragiri di Semarang Kota. Tidak lama di daerah ini. Kemudian kami pindah Kembali ke Kampung Sumur Umbul, jika sebelumnya kontrak di rumah nomor 81, kemudian saat pindah ke rumah nomor 84. Saya senang karena bertemu dengan teman-teman lama dan di lingkungan yang sudah saya kenal sebelumnya.

Bersambung ke Masa Kecil Novel baswedan (02)

Bagikan :

Advertisement