Pengamat Perbatasan Fauzan: Indonesia Merasa Tidak Punya Batas Maritim dengan Cina

NYALANYALI.COMPersoalan perbatasan masih menjadi fokus pemerintah sampai saat ini. Sengketa perbatasan antar negara merupakan suatu ancaman bagi keamanan dan perdamaian baik secara nasional tetapi juga meliputi keamanan dan perdamaian Internasional. Karena menyangkut kedaulatan sebuah negara yang nantinya akan berdampak pada keamanan nasional dan Internasional.

September lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kembali mengingatkan sejumlah sengketa perbatasan wilayah Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Menurut Tito, sengketa-sengketa yang ada diselesaikan satu per satu menurut skala prioritas. “Ada beberapa dispute atau sengketa perbatasan. Baik darat, laut terutama. Ini diselesaikan dengan skala prioritas secara bertahap,” ujar Tito dalam webinar nasional yang digelar Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Itu menandakan, persoalan perbatasan masih serius. “Permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga sangat kompleks, yang pertama dan mendasar berkaitan dengan kejelasan batas, baik batas darat maupun batas maritim. Oleh karena itu penetapan dan penegasan garis batas menjadi penting dan urgen. Karena masalah ketidakjelasan batas ini bisa berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan,” kata Fauzan , staf pengajar atau dosen Hubungan Internasional UPN Yogyakarta.

Ayah tiga putri yang sedang menyelesaikan S3 (Phd. Candidate) di Universiti Utara Malaysia dengan riset disertasi mengenai keamanan perbatasan maritim di Natuna ini, dalam perbincangan dengan Redaksi NyalaNyali.com  mengungkapkan berbagai persoalan dan konflik perbatasan. Berikut kutipannya:

Tidak banyak orang mengambil bidang terkait perbatasan. Apa yang menarik Anda mendalaminya?
Ya, memang belum banyak orang yang tertarik dengan bidang terkait perbatasan. Awal mula perkenalan dan ketertarikan saya dengan masalah perbatasan dimulai tahun 2002, ketika ditawari seorang kawan untuk terlibat dalam sebuah kajian di Bappenas. Pada waktu itu, Bappenas sedang membuat sebuah Kajian Pengembangan Kawasan Perbatasan di Kalimantan Barat, dan saya diminta untuk terlibat di dalamnya.

Sejak saat itu saya tertarik dengan berbagai isu perbatasan. Menurut saya, masalah perbatasan negara itu sangat dinamis dan kompleks dan perlu pendekatan multidisiplin untuk menanganinya. Dan justru kompleksitas permasalahan perbatasan itu yang membuat saya tertarik dan tertantang untuk lebih banyak belajar mengenai perbatasan, khususnya terkait masalah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangganya.

Berapa banyak sesungguhnya titik perbatasan kita?
Indonesai berbatasan darat dengan tiga negara, Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini dan Timor Leste.  Sedangkan batas maritim, Indonesia berbatasan dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.

Di sini perlu digarisbawahi secara tebal bahwa selama ini, Indonesia tidak merasa, tidak mengakui, dan tidak menganggap mempunyai perbatasan maritim dengan Cina atau Tiongkok, meskipun ada klaim sepihak dari Tiongkok dengan nine dashed-line-nya yang bersinggungan atau tumpang tindih dengan sebagian perairan Laut Natuna Utara atau ZEE Indonesia di Laut China Selatan.

Masih adakah daerah perbatasan yang masih belum tuntas dengan negara tetangga? Bagaimana upaya menyelesaikannya?
Di perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia masih  terdapat tujuh segmen yang belum clear  atau outstanding boundary problems (OBP) dan masih perlu upaya penyelesaian melalui perundingan-perundingan diplomasi perbatasan).

Tujuh OBP tersebut dibagi menjadi dua bagian besar atau sektor yaitu permasalahan di Sektor Timur, yakni wilayah antara Kalimantan Utara (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia). Di Sektor Timur masih menyisakan tiga permasalahan batas (OBP), yang sebelumnya ada lima OBP, yaitu permasalahan segmen Sebatik, segmen Sungai Sinapad, dan segmen B2700 s/d B3100.

Sementara permasalahan di dua segmen yaitu segmen Sungai Simantipal dan segmen C500 s/d C600 sudah dapat diselesaikan pada pertemuan The Joint Indonesia-Malaysia Committee on Demarcation and Survey of International Boundary, di Bandung pada 9-10 Oktober 2018 yang lalu.

Untuk sektor Barat?
Di Sektor Barat, antara Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Serawak (Malaysia) terdapat empayt permasalahan batas (OBP), yaitu segmen Batu Aum, segmen D400, segmen Sungai Buan, dan segmen Gunung Raya. Keempat OBP Sektor Barat ini berada di wilayah administrasi Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Pemerintah Indonesia dengan Malaysia telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahaan sengketa batas ini yang sudah dimulai sejak 2001. Namun demikian sesuai kesepakatan penyelesaian OBP, disepakati bahwa lima segmen  akan dirundingkan terlebih dahulu untuk Sektor Timur, dan empat segmen OBP Sektor Barat akan dirundingkan nanti setelah OBP Sektor Timur selasai.

Lantas?
Sedangkan permasalahan batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste telah disepakati pada pertemuan kedua pemerintah di Jakarta, pada 22 Juli 2019 lalu. Sebelumnya Indonesia dengan Timor Leste mempunyai masalah unresolved segment yaitu segmen Noelbesi – Citrana dan Bijael Sunan – Oben yang keduanya berbatasan dengan wilayah enclave Oecusse, Timor Leste. Dengan kesepakatan ini maka batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste menjadi clear

Sementara itu, untuk batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga sebagian besar masih menyisakan permasalahan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Nah, apa persoalan mendasar yang dihadapi terkait perbatasan kita saat ini, khususnya terkait dengan pertahanan dan keamanan?
Permasalahan perbatasan Indonesia dengan tetangga sangat kompleks, yang pertama dan mendasar berkaitan dengan kejelasan batas, baik batas darat maupun batas maritim. Oleh karena itu penetapan dan penegasan garis batas menjadi penting dan urgen. Karena masalah ketidakjelasan batas ini bisa berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan.

Kedua, masalah pertahanan-keamanan dan penegakan hukum di perbatasan. Panjangnya garis batas darat dan luasnya wilayah batas maritime Indonesia dengan negara tetangga menjadi salah satu kendala dalam pengamanan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah maupun pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan perbatasan.

Berikutnya adalah masalah ekonomi di kawasan perbatasan. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan. Akses menuju beberapa kawasan perbatasan masih sulit dan minim.

Adakah problem yang berbeda antara satu wilayah perbatasan satu dan lainnya?
Ya tentu, masing-masing kawasan perbatasan memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga problem yang muncul dan dihadapi pun berbeda-beda, meskipun dalam beberapa hal juga memiliki kemiripan problem yang dihadapi. Sebagai contoh, problem yang muncul di kawasan perbatasan darat tentu berbeda dengan di kawasan perbatasan laut atau maritim.

Demikian juga problem yang dihadapi masyarakat yang tinggal di sepanjang perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia berbeda dengan problem yang dihadapi di sepanjang perbatasan darat dengan Papua Nugini maupun perbatasan darat dengan wilayah Timor Leste.

Siapa yang kemudian saling bergantung kemudian?
Jika di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, ada semacam ketergantungan ekonomi masyarakat Indonesia terhadap sebelah atau tetangga, berbeda dengan di perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini dan Timor Leste di mana justru masyarakat mereka yang bergantung kepada wilayah Indonesia.

Bagaimana penjelasan terkait masalah politik, sosial dan budaya yang dihadapi wilayah perbatasan kita. Juga konflik ekonomi?
Secara garis besar, masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan merupakan etnik yang sama dengan masyarakat yang tinggal di sebelah atau negara tetangga. Namun mereka kemudian dipisahkan secara politik oleh penjajah dengan membagi-bagi wilayah jajahannya.

Sebagai negara yang mewarisi wilayah dari wilayah penjajahnya yang dalam istilah hukum dikenal sebagai Uti Possidetis Juris, maka Indonesia kemudian secara politis juga mempertegas garis batas negaranya dengan negara tetangga, meskipun sekali lagi bahwa masyarakat yang dipisahkan oleh garis politik itu merupakan etnik yang sama, yang secara sosial budaya adalah juga sama.

Mereka selama ini sudah melakukan interaksi lintas batas negara karena jalinan kekerabatan di antara mereka. Sehingga secara sosial, budaya maupun ekonomi relatif tidak ada masalah dengan masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan tersebut, meskipun secara politik mereka terpisahkan dan menjadi bagian dari negara yang berbeda.

Bagikan :

Advertisement