Cerita Dua: Rus & Kuin – Kumpulan Cerita S. Dian Andryanto

NYALANYALI.COM, Cerita – Si Rus mengakui, betapa membosankan hidupnya. 

Dalam kelompok “V” virus, dia termasuk senior. Dia tahu benar apa itu artinya bosan. Hidup, membiakkan diri, menginfeksi, mengkarantina dirinya sendiri dalam masa inkubasi dari tubuh satu korban ke korban lainnya. Begitu saja. Seperti tangga nada, dari “do” ke “do” lagi, tapi tak terbentuk satupun lagu.

Rus menjalani hidupnya dari yang penuh ambisi, kemudian melandai, hingga sekadar dijalani karena tak ada tantangannya lagi.

Puluhan tahun, ah, mungkin ratusan tahun sudah dijalani. Entah sudah berapa kali ia bermutasi. Sekuat apapun ia menjelma setelah bermutasi, yang dilakukan hanya itu-itu saja. Mengembangkan diri, menginfeksi, karantina diri dalam tubuh korbannya selama masa inkubasi.

Melompat lagi cari korban, biakkan diri, menginfeksi, sepi dalam inkubasi, lompat lagi. Begitu seterusnya. Satu atau seribu korban yang berhasil ia tumbangkan, sungguh tak ada beda buat dia dan kelompok “V” ini. Tak ada kebanggaan dan puja puji. Ia hanya menjalankan naluri.

Kini, Rus terjebak dalam bosan yang tak terperi.

Rus, begitu nama salah satu virus senior dalam gerombolan “V” itu. Dalam kesatuannya, ia telah menjadi legenda. Betapa virus-virus muda menaruh hormat kepadanya. Bukan soal berapa banyak korbannya, tapi ia jadi panutan terhadap kinerja dan loyalitasnya.

Rus lah yang kerap membangun keberanian para virus muda untuk menjalankan aksinya tanpa takut sedikitpun juga. Mengajarkan tentang segala teknik menginfeksi sehinggaa korban tak berkutik.

Namun begitu, buat Rus itu semua tak menarik lagi dijalani. Ia merasa tak ada dinamika lagi, seperti naik carousel hanya berputar-putar saja, apapun bentuk tunggangannya entah kuda atau cangkir, sama saja. Itu sebabnya, belakangan jika tak sedang dalam tugas, ia kerap mengurung diri.

Hingga satu saat, ia mendengar nama itu. Kuin.

Nama Kuin itu mengusik hidupnya yang datar. Rus mencari tahu, meskipun ia telah mendengar Kuin adalah satuan lain yang diciptakan sebagai penawar, jika tak ingin disebut sebagai satuan pembunuh virus “V” seperti dirinya.

Rus terus ingin tahu tentang Kuin. Sesuatu yang belum pernah ia temui. Tak mungkin juga ia temui karena akan ada pertempuran, dan salah satunya harus pergi.

Entah mengapa, semangat Rus menyala kembali. Ia meminta banyak informasi semua hal terkait Kuin ini. Tentang bentuk, warna, bau, hingga kemampuan dan perilakunya. Ia ingin dapatkan semua kabar tentang Kuin. Rus merasa ada lawan sebanding sehingga rasa bosan perlahan pergi dari dirinya.

Kuin adalah nama salah satu pemimpin pembunuh bangsanya. Kemampuannya untuk melenyapkan “V” virus, konon bukan main hebatnya. Jika Kuin telah masuk, ia laksana air bah, dingin tapi menggelegak bisa melenyapkan apapun yang dilaluinya, lenyap tanpa bekas, tak tersisa, raib dari sejarah. Tak ada ampun lagi. Tidak ada harapan bermutasi lagi.

Untuk itu, Rus menyiapkan virus-virus muda lebih kuat lagi. Menjadi hari-harinya menggembleng menghadapi segala kemungkinan melawan Kuin dan pasukannya, bila saatnya tiba. Sehebat apapun Kuin, Rus dan prajuritnya tak mau kalah dan jadi pecundang.

Ia pelajari seluruh hal, apapun tentang Kuin. Setiap kali, setiap hari. Setiap ada kesempatan, hanya tentang Kuin yang igin dia tahu. Kebosanan telah pergi, semangatnya tumbuh kembali. Meski ia tahu akan berhadapan dengan penawarnya yang dahsyat sebagai pembasmi.

Data sampai kepada Rus selain betapa ganasnya Kuin.

Kuin itu biru muda, bening. Jika sekilas saja cahaya matahari sampai padanya, nampak berkilat, berpendar-pendar. Indah.

Rus mengakui, tak ada keelokan yang menyerupai itu pada bangsanya, yang cenderung gelap, muram dan sangar. Ia melihat gambar Kuin, “Cantik,” desisnya.

Rus tahu benar satu kali ia harus berhadapan dengan Kuin, si cantik yang ia sebut itu.

Lambat laun, Rus seperti terikat dirinya dengan Kuin ini. Sesuatu yang tidak pernah ia temui sama sekali sebelumnya. Ia hanya memikirkan Kuin. “Apa yang terjadi padaku,” ujarnya, tak paham.

Ia merasa dirinya menjadi tak gelap lagi setiap membayangkan Kuin. Ia merasa hidupnya punya keriangan karena tiap waktu yang ia punya, dia pelajari tentang Kuin. Apa saja tentang Kuin. Betapa harum konon baunya, hingga segala kebusukan yang biasa “V” virus hisap, bisa menguap seketika, meski masih jauh sekalipun Kuin akan sampai. Baru baunya yang terendus, sudah sebegitu rupa.

Kuin sungguh telah jadi penyakit dalam pikiran Rus, virus senior ini. Hanya Kuin dan Kuin saja yang ingin diingatnya. Senyum yang sudah lama tak ia lakukan bisa terkembang sendiri bila mengingat hanya Kuin saja. Ada yang berkobar dalam dirinya tak seperti biasanya, kali ini yang menyala itu tak mematikan, tak membawa korban siapapun juga. Justru menghangatkan, membuatnya tak merasa sendiri.

Saat gerombolan “V” menganggap Kuin dan pasukannya sebagai sesuatu yang menakutkan. Hantu-hantu yang akan menyudahi mereka.

Tapi, Rus tidak begitu. Makin lama betapa ia merindukan pertemuan itu. Semakin cepat, semakin baik, hingga penasarannya akan terselesaikan, karena dengan perjumpaan menjadi tuntas ditunaikan. Entah, apapun jadinya nanti.

Sampailah itu hari.

Rus merayap, berjingkat-jingkat kemudian melompat tak seperti biasanya, kali ini ia begitu riang. Jika sebelum-sebelumnya tugas menginfeksi korbannya dilakukannya penuh kekuatan dan tebarkan aroma kematian, kali ini tidak demikian.

Rus menjalankannya dengan riang. Dirinya melenting tak seperti biasanya, ringan penuh rasa senang. Wajah angker itu tak nampak, senyum mengulas saja yang diperlihatkan. Gerombolan “V” merasa heran kepadanya. Mereka bertanya-tanya. “Apa yang terjadi dengannya? Aroma kematian tak terdeteksi dari dirinya? Dia seperti yang sudah-sudah, panutan kita, tak mungkin dia menginfeksi korban seperti rasa akan tamasya seperti yang diperlihatkannya”.

Rus tak peduli. Ia begitu riang. Membuncah sudah rasa gembiranya, hingga warna kelam tubuhnya pun tak semuram biasanya. Bahagia, rasa yang tak pernah ada itu datang padanya. Hanya karena ia mengingat Kuin semata?

Rus membawa gerombolannya melompat ke dalam tubuh korbannya. Menggelincir dari kerongkongan sambil menebarkan formula racun virus terus menerus, hingga sampai di saluran napas. Ia atur barisannya. Virus-virus muda di bawah perintahnya bekerja cepat, menyumbat berbagai titik saluran, sebagian lain melakukan operasi maut menembus paru-paru. Rus terus memberikan komando. Ia lakukan seluruh prosedur sistem penginfeksian seperti biasa, mematikan dalam senyap, tapi dilakukannya dengan perasaan riang bukan kepalang, itu bedanya.

Sepuluh hari Rus dan pasukannya sudah menjalankan tugasnya. Jika korbannya bersin dan batuk, ia sudah atur siapa saja yang akan melompat mencari korban lainnya, sekaligus itulah acara wisuda bagi para virus muda. Tanda sudah mumpuni dan dapat bergerak sendiri, punya gerombolan sendiri pula, menginfeksi sebanyak yang ia bisa membuat korban bertumbangan setiap hari.

Di hari ketigabelas.

Rus dapat info. Kuin dan pasukannya akan segera menyerbu mereka. Injeksi sebagai pintu masuknya Kuin sudah muncul.

“Jika kalian ingin bertahan, bertahanlah di sini bersamaku. Jika tidak, segera keluar dari sini, tak ada pilihan lain, selalu tak banyak pilihan dan kita harus memilih,” kata Rus kepada gerombolan “V”-nya. 

Sebagian besar gerombolannya memilih bertahan dengannya meski mereka tahu, Kuin dan pasukannya tak bisa dianggap enteng. Bisa jadi kebinasaan sudah di depan mata. Tapi, melihat Rus yang begitu tenang, bahkan semringah, gerombolan pun yakin akan bisa memenangi.

Pintu masuk Kuin main lebar.

Rus mendengar dari kejauhan suara berdebur. Tak begitu riuh. Ia paham, Kuin tengah menyiapkan pasukannya pula. Sesekali ia mencium bau wangi yang pernah diceritakan kepadanya, sesekali ia merasa tiupan sejuk yang pernah ia dengar kisahnya, sesekali ia melihat cahaya pendar samar biru muda seperti yang dirinduinya.

Hari keempat belas, masa inkubasi.

Rus sudah menyiapkan gerombolannya, menghadapi segala kemungkinan, karena ini adalah hari pertempuran. Kuin dan pasukannya pasti akan menerobos. Ia sudah pelajari semua gerakannya, dingin dan menggelegak.

Benar saja, suara berdebur itu menjadi gemuruh. Rus mengingatkan pasukannya untuk bertahan. Gemuruh itu makin mendekat. Bau wangi itu maki tercium lekat. Cahaya pendar biru itu makin terlihat jelas.

Pada saat itulah, Rus melihat dengan jelas Kuin. Mereka berpandangan sekilas. Senyum Rus tersungging puas, karena akhirnya ia bertemu Kuin yang menyesaki pikirannya selalu. Sementara Kuin, dingin rautnya, senjatanya terulur kepada Rus. “Sungguh cantik,” desis Rus tak sudah-sudah. “Tuntas sudah rindu itu,” kata dia, diujung mautnya.

***

Tak lama pertempuran itu. Kuin memandang Rus, yang berhasil ia kalahkan. Ada yang aneh buatnya, tak seperti yang selama ini ia lihat. Pimpinan gerombolan “V” virus itu tersenyum dalam kematiannya. Warnanya tak muram lagi.

Kuin terus memandanginya. Tak pernah ia tahu. Mengapa Rus bisa tersenyum dalam kematian diujung senjata miliknya.

Pondok Labu
31 Maret 2020

S. DIAN ANDRYANTO


Bagikan :

Advertisement