NYALANYALI.COM – Dia keturunan orang besar turun temurun di Mataram. Tetap menjadi Jawa meski mengenyam pendidikan di negeri Belanda dengan segala doktrinnya. “Saya memang berpendidikan di Barat, tapi saya tetap lah orang Jawa”.
Itu dilakukannya dengan sebenar-benarnya. Bujukan Belanda agar Keraton Ngayogyakarta kalau tak bisa tunduk, paling tidak mau kerja sama. Iming-iming menjadi Wali Negara dengan kekuasaan tak hanya di Yogyakarta tapi meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditolaknya mentah-mentah.
Minggu pagi, 19 Desember 1948, komandan militer lokal Belanda, Jenderal Meijer, mendatangi Keraton. Tapi gerbang ditutup rapat. Tak ada sambutan. Belanda berang.
Panglima tentara Belanda, Letnan Jenderal Spoor, nekad mengendarai Tank Stuart menuju pintu gerbang Keraton, sambil mengancam akan menerobos masuk. Ancaman itu tak membuat ia gentar.
Dia kemudian keluar Keraton, mengenakan surjan hitam dan kain batik, menghadang tank Letnan Jenderal Spoor. Dengan bahasa Belanda yang lantang, ia meminta Spoor turun dari tank dan jalan kaki masuk Keraton.
Dalam Keraton, dia tak berkompromi, ia justru meminta Belanda hengkang segera. “Oleh karena kalian sama sekali tidak berhak tinggal di wilayah yang telah diwariskan nenek moyangku, Ngayogyakarta Hadiningrat,” Itu disampaikannya dengan tegas, sekitar 10 menit saja, ia berdiri dari duduknya, meminta Spoor keluar. Bengong si Spoor karena belum satupun kalimat ia keluarkan untuk menawarkan ini dan itu, telah diusir.
Dia termasuk salah satu founding fathers negeri ini. Tak hanya Soekarno saja. Ketika Jakarta tak lagi aman bagi Bung Karno dan Bung Hatta, dia meminta kedua sahabatnya itu ke Yogyakarta, berjuang dari sana dan menjadi pelindungnya. Belanda mikir panjang mengusik keduanya.
Dia yang membuat Soekarno menangis tersedu-sedu. Saat ia mengatakan, “Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta,”. Ia berikan kepada Soekarno selembar cek 6 juta Gulden, angka sangat besar di masa itu, ia lakukan tanpa syarat, non-transaksional, uang sebanyak itu sebagai modal awal mendirikan pemerintahan ini. Kas yang kosong mulanya mulai ada dana untuk menggerakkan roda negara yang baru merdeka ini.
Peristiwa itu terjadi tak lama setelah Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 6 Desember 1949, atau setelah Soekarno dan Hatta kembali dari pengasingan.
Soekarno menangis, dia tersenyum.
Dia tetap di Yogya, tak ikut gebyar dan pesta kemerdekaan di Jakarta. Dia siap benar akan dilupakan seluruh jasanya. Dia tak mengapa, tak dapat sorotan.
Dia, Raja Jawa. Tapi tak tinggal dalam kebanggaan kebangsawanannya saja. Dengan bercaping lebar, ia kerap mendatangi rakyatnya di segala pelosok tanpa kawalan dan yang tahu siapa dia. Ia bisa menangkap suara rakyat yang tak dibuat-buat.
Satu hari di tahun 1960-an, Brigadir polisi Royadin yang sedang menjaga lalu lintas di persimpangan Soko, Pekalongan, pagi pukul 05.30, melihat sebuah sedang hitam melaju pelan melawan arus. Sigap Royadin menyetop mobil itu. “Selamat pagi, bisa lihat rebuwes?”. Rebuwes itu istilah surat kendaraan. Kaca mobil dibuka, seketika Royadin panas dingin.
Ia tahu benar siapa yang duduk di belakang kemudi itu. “Ada apa pak polisi?” tanya si pengemudi. “Bapak melanggar verboden,” Royadin menjawab gugup. Ia mengajak pengemudi melihat tanda verboden yang tak terlalu jelas di sisi jalan, tapi pengemudi itu menolak. “Ya saya salah. Kamu yang pasti benar. Jadi bagaimana?”
“Maaf, sinuwun terpaksa saya tilang,” kata Royadin. “Baik brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal,” katanya. Royadin memberikan surat tilang, tanganya bergetar.
Royadin heran, bisa saja pengemudi itu menggunakan pamor dan kekuasaannya. Dengan senang hati ia akan menuruti. Tapi tak ada penolakan apapun, bahkan surat tilang diterimanya dengan senyum tanpa bantahan dan perilaku sok kuasa. Hukum dipatuhi meski hanya dia dan Royadin saja yang tahu.
Dia membaktikan dirinya karena tahtanya yang ia punya, didedikasikan untuk rakyat sepenuhnya. Tanpa puja dan sanjung berlebihan.
Dia, Gusti Raden Mas Dorodjatun, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bergelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga”.
Dia sungguh berada dalam pusaran negeri ini, sejak perjuangan kemerdekaan, ketika kemudian tak banyak yang mengingat jasanya ia tak memasalahkan, ketika teman seperjuangan yang lain dapat sorotan penuh citra, ia memilih berdiam diri di kediamannya berselimut nilai-nilai agung para leluhurnya.
Dia yang kami kagumi. Raja yang tak haus puja dan sanjung. Raja yang mengayomi semua tanpa kecuali. Raja yang tak memamerkan jasa-jasanya sendiri. Raja yang berani mengakui kesalahannya. Raja yang memberikan tahtanya untuk rakyat. Tanpa syarat.
DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup