Makam Tjitrokoesoemo Leluhur RA Kartini di Bukit Merak Imogiri

Sultan Agung Hanyokrokoesoemo memanggil Tjitrokoesoemo ke Mataram. Bupati Jepara I itu segera datang.

Sang Sultan yang diyakini mampu sekejap mata berada di Mekah menunaikan salat Jumat, tanpa teleportrasi, tanpa pesawat jet itu mengenggam lemah wangi. Tanah harum dari Mekah itu dilemparkan sang raja. Melayang-layang di udara, sebelum jatuh ke Bukit Merak. Tersabdalah, di sana kelak makam-makam raja mataram berada.

Itu muasal Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo dititahkan menghadap ke Mataram. Dia arsitek kondang di zaman itu, tahun 1600-an. Tugasnya, membuat Bukit Merak sebagai tempat peristirahatan terakhir raja-raja Mataram.

Bukit Merak kemudian lebih dikenal dengan sebutan Imogiri, gunung berkabut.

Mulai dibangunlah pajimatan, pesarean itu. Pada 1630, Tjitrokoesoemo membawa pengukir dari Jepara dan Bali. Babad alas dilakukannya. Tangga-tangga menaiki bukit disusunnya. Filosofi hidup dan kematian digelarkannya di sana.

Sultan Agung selalu mendapat kabar perkembangan tempatnya akan dimakamkan nanti. Sudah dituliskan, raja-raja Mataram tak diperkenankan ke Imogiri selama ia hidup, dia akan ke sana hanya ketika berpulang.

Satu hari, Sultan Agung mendapat kabar Tjitrokoesoemo sakit dan kemudian meninggal. Untuk bakti dan jasanya, ia diperkenankan dimakamkan di area makam raja-raja Jawa, di depan tempatnya nanti dikuburkan. Arsitek kesayangannya telah berpulang mendahuluinya, ketika menggarap sebuah karya besar. Arsitek yang sangat ia percaya ketika musim berbagai pengkhianatan. Orang yang sangat ia yakini, membuka Bukit Merak tempat ia kemudian menyatu dengan bumi. Menghadap penciptanya.

Dan, 6 April 1645, Sultan Agung Hanyokrokoesoemo wafat. Ia raja Mataram Islam pertama yang dimakamkan di pajimatan Imogiri. Tak jauh dari makam Tjitrokoesoemo.

Makam Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo, sendiri, menjulang. Sekitar tiga meter tadinya di atas gundukan tanah. Tak jauh dari gapura supit urang, menuju kasultanan agungan.

Dalam ziarah ke leluhur itu waktu, kami menyempatkan pula ke makam Tjitrokoesoemo yang sendiri itu. Mengirimkan doa. Mengagumi kecerdasan, kepiawaiannya, kesetiaannya, kecintaannya pada budaya tanah leluhurnya.

Angin bertiup pelan, menggesek daun-daun, banyak kisah yang ingin disampaikan.

Kisah lelaki itu tak berhenti sampai di sini, karena dia yang kemudian menurunkan RA Kartini.

Bagikan :

Advertisement