Sinar Kebaikan

NYALANYALI.COM, Cerita  – Anon benci kegelapan. Setiap malam tiba, ia menyalakan lilin sebanyak mungkin di rumah.

“Aduuuh…, Anon! Satu ruangan lilinnya satu aja,” tegur ibunya. “Kurang terang, Bu,” keluh Anon. “Kamu boleh pakai beberapa lilin, tapi saat kamu ada di ruangan itu. Buat apa ruangan terang sekali, kalau tidak digunakan,” timpal ayah. Anon tak pernah mendebat orangtuanya. Ia menyisakan satu lilin di setiap ruangan.

Di kamar tidurnya, Anon mengamati lilin di meja. Sinarnya cantik, meski agak redup. “Seandainya ada sinar yang jauh lebih terang dari lilin,” ia membatin. Anon meniup lilin itu, lalu berbaring. Matanya menerawang berusaha mengalahkan kegelapan, sampai ia tertidur.

***

Menggenggam obor, Anon bergegas pulang. Hari sudah gelap. Terlalu lama ia berkunjung ke rumah teman. Ketika hampir mencapai rumah, Anon berhenti. Seorang perempuan dewasa berdiri di mulut jembatan. Sepertinya ia mau menyeberang ke desa tetangga. Jalan paling singkat memang lewat jembatan kayu itu, tetapi… Anon buru-buru mencegah, “Bu, tunggu sebentar!”

Setengah terengah karena berlari, Anon menatap perempuan tadi. “Maaf, Bu. Apakah Ibu mau pergi ke desa seberang?” “Betul, Nak.” Suaranya begitu manis dan lembut, penuh sikap keibuan.

Anon mengulurkan obor. “Bawa ini, Bu. Tanpa penerangan, Ibu bisa tersandung.” Perempuan itu kelihatan khawatir. “Kamu sendiri bagaimana?” “Saya ingat semua jalan di sini. Lagi pula, rumah saya sudah lumayan dekat. Ibu lebih memerlukannya daripada saya,” jawab Anon.

Perempuan itu mengambil obor yang disodorkan Anon. “Kamu baik sekali, terima kasih.” Muka Anon memerah. Ia tersipu. Tangan kanan perempuan sibuk merogoh saku baju. “Untukmu.” Anon mengamati benda sebesar telapak tangan. Bentuknya  tabung pipih dari kaca. Dengan ragu, Anon mengambilnya. “Ia akan terus menyala, jika kamu sering melakukan hal seperti malam ini. Sinarnya jauh lebih terang dari lilin…” ujar perempuan itu lirih.

Anon mendongak. Tak lagi dijumpai perempuan tadi. Di tangannya tabung kaca itu memancarkan sinar yang luar biasa terang. Sinarnya mengalahkan semua sinar obor yang terpasang di rumah-rumah. Anon kegirangan. Cepat-cepat ia pulang dan menuturkan pengalamannya kepada sang ayah. Tabung kaca itu diletakkan di atas meja kamarnya. Diliputi sinar terang ia terlelap.

***

Keesokan pagi, sinar dari tabung kaca itu sirna. Diterangi sebatang lilin, Anon tak bisa belajar sama sekali. Benaknya sibuk memikirkan perkataan perempuan misterius semalam. “Apa yang kamu pikirkan, An?” tanya ayah. Remaja itu tersadar dari lamunannya. “Soal tabung kaca, Yah. Kata  perempuan itu, tabung kaca akan menyala kalau aku sering melakukan hal seperti semalam. Aku harus sering berbuat seperti semalam supaya tabung kaca bisa bersinar lebih lama. Tetapi, apa maksudnya, ya?”

Alis Ayah terangkat. “Hmmm…, kemarin katamu, kamu memberikan obormu kepada perempuan itu. Mungkin kamu perlu melakukan hal yang sama ke orang lain.” “Oh, bisa jadi begitu, Yah!” seru Anon semangat. Ia memeluk ayahnya seraya mengucapkan terima kasih. Lalu Anon menghampiri ibunya di dapur. Beberapa roti ia bungkus. “Ayah, Ibu, aku tidak makan di rumah malam ini. Aku mau cari orang yang perlu obor,” Anon bergegas keluar rumah.

Satu per satu jalan desa dikelilingi Anon. Tetapi orang-orang sudah membawa alat penerangan sendiri. Di tengah jalan, ia malah bertemu seorang pengemis yang minta makanan. Anon menolak membagi rotinya. Ia perlu bekal yang cukup untuk melanjutkan pencarian. Sampai larut malam, usaha Anon gagal.

Demikian yang berlangsung tiap malam. Anon ingin membantu orang yang tidak membawa obor. Namun, ia berhadapan dengan orang-orang yang butuh pertolongan lain. Tidak satu pun ditanggapi Anon. “Mereka hanya akan menghambat tujuan utamaku,” gumam Anon. Bahkan, sekarang Anon jarang membantu ibu di rumah. Ia pun tidak lagi menikmati santap malam bersama ayah dan ibunya. Saat malam tiba, Anon selalu pergi ke luar sambil mengacungkan obor.

Seminggu lewat. Tabung kaca tidak lagi bersinar. Anon amat sedih, tetapi ia enggan menyerah. Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya. Semua yang dijumpai Anon sudah memegang obor. Putus asa, Anon berjalan lunglai. Di mulut jembatan ia duduk. Perlahan ia mengeluarkan tabung kaca dari tasnya. Ia berharap bisa bertemu pemberi tabung kaca dan bertanya kepadanya.

Terasa kehadiran seseorang. Anon menaikkan pandangan. Seorang pengemis mendekatinya dengan tatapan penuh derita. “Saya tak punya uang, ini saja untuk Bapak,” kata Anon seraya menyerahkan separuh bekalnya. Di mata Anon pengemis itu kelihatan sangat putus asa, mengingatkan ia pada dirinya sendiri.

“Terima kasih, anak muda.” Pengemis berjalan lambat, hingga lenyap dalam kegelapan. Bersamaan dengan itu, tabung kaca di dalam tas Anon kembali bersinar. Anon kaget bercampur senang. Ia berlari pulang.

Anon menyerbu masuk rumah. Diletakkannya tabung kaca di atas meja makan. Bergegas ia ke dapur membantu ibu yang tengah membereskan perabot. Anon segera mengambil alih seluruh pekerjaan rumah yang belum sempat diselesaikan ibunya. Sejurus ia melirik ke tabung kaca. Sinarnya bertambah terang.

Usai merapikan dapur, Anon memijat tangan dan kaki ayahnya. Ayah pasti lelah setelah seharian bekerja di ladang. Sinar dari tabung kaca itu makin terang. “Aha, jawabannya adalah berbuat baik!” teriak Anon penuh kegirangan. Ayah tertawa lebar mendapati putranya telah memperoleh jawaban. Meski ibu kurang mengerti, ia ikut senang putranya kembali ceria seperti sedia kala.

***

Sejak itu, setiap kali ada kesempatan berbuat baik, Anon segera menyambut. Awalnya ia melakukan itu demi tabung kaca bersinar di malam hari. Lama-kelamaan berbuat baik jadi kebiasaan Anon. Di kalangan penduduk desa, Anon kini dikenal sebagai anak baik hati.  

Tetapi tidak demikian di mata Manto. Ia yakin, Anon hanya cari simpati. Keduanya berteman cukup baik, sebelum Anon menjelma jadi malaikat desa.

Suatu malam, Manto melintas di depan rumah Anon. Dari kejauhan ia melihat cahaya sangat terang memancar dari balik jendela kamar Anon. Penasaran, Manto mengintip. Dari tirai yang sedikit tersingkap, Manto melihat tabung kaca di meja yang bersinar terang sekali. Manto ingin sekali memiliki tabung kaca itu. Tak perlu repot membakar lilin setiap malam.

Kesempatan yang ditunggu akhirnya tiba. Di hari ulang tahun Anon mengundang beberapa teman bermain ke rumahnya, termasuk Manto. Ketika Anon lengah, dengan sigap Manto menyelinap ke kamar Anon dan memasukkan tabung kaca ke dalam tasnya.   

Ketika hari beranjak gelap, perlahan-lahan Manto mengeluarkan tabung kaca dari tasnya. “Mengapa tidak menyala? Manasinarnya?!” gerutu Manto. Tabung kaca itu diputar dan dikocok berulang kali. Sia-sia usaha Manto.

Mulai malam itu, Manto memupuk kebencian terhadap Anon. Ia berharap hal buruk menimpa temannya itu. Bahkan ia merancang berbagai rencana untuk mengerjai Anon. Makin hari, makin keji pikiran Manto. Makin lama, makin gelap sekelilingnya.

***

Manto tidak menyadari, bahkan Anon belum sempat mengetahui keunikan tabung kaca itu. Kebaikan akan membuatnya bersinar, sedangkan kejahatan menyebabkan tabung kaca melepaskan kegelapan.

Gelap betul! Manto tak mampu melihat apapun. Ia berusaha bangun dan mencari tempat tidurnya. Tidak ada! Tangannya terentang ke depan, mencoba meraba tembok. Tidak ada! Perlahan ia berjalan menuju pintu kamar. Tidak ada juga! Ke mana saja ia memandang, yang tampak hanya hitam pekat. “TOLONG!!!” teriaknya.

Orang tua Manto terkejut mendengar teriakan anak mereka. Secepat mungkin mereka menuju arah suara. Keduanya gemetar. Mereka tidak menemukan kamar Manto, melainkan ruangan gelap hitam tak berujung. “Manto… Manto… di mana kamu?” tanya ibunya ketakutan.

Makin keras Manto berteriak, “TOLONG… TOLONG!!! Pintu rumah digedor. Ayah Manto membukakan pintu. Para tetangga datang, lengkap dengan obor. “Ada apa, Pak?” tanya mereka bersamaan.

Ramai-ramai mereka mencoba masuk ke ruangan gelap gulita itu. Baru beberapa langkah, semua berhenti. Obor mereka tetap bercahaya, tetapi gagal menerangi sekitar. Tak tampak apa-apa, selain hitam pekat. “Mengapa gelap sekali di sini?!” Mereka berbalik. Kehilangan nyali untuk melangkah lebih jauh.

Di tengah kebingungan, muncul Anon. “Syukur kamu datang, Anon. Kamu dengar teriakan Manto juga?” tanya Pak Darso, salah seorang tetangga. Setelah menjelaskan persoalannya dengan cepat, Pak Darso berpesan, “Kamu jangan masuk ke situ. Sinar obor saja tak mampu menembusnya. Kita tunggu, coba cari cara lain.”

Anon sangat ingin menolong Manto. Tetapi ia sendiri kehilangan tabung kacanya beberapa hari lalu. Karena tadi tergesa-gesa berangkat, di tangannya hanya ada sebatang lilin. Ah, aku harus menolong Manto. Anon menerjang masuk dalam kegelapan.   

Meringkuk di sudut ruangan, Manto menutup wajahnya. Berdiri di hadapan Manto sambil memegang lilin, Anon berusaha meraih tangan temannya. Perlahan, sekeliling berangsur terang. Mungkin tabung kaca itu mulai bekerja, sangka Manto. Bukan, sinar ini bukan dari tabung. “A.. Anon?! Ka…kamu bersinar!”

Anon merangkul Manto. Seketika kegelapan sirna. Manto masih berada di kamarnya. Keduanya beranjak keluar kamar. Ayah dan ibu Manto memeluk dan menciumi anak tunggal mereka. Tak henti mereka berterima kasih kepada Anon. “Bagaimana kamu bisa menembus kegelapan itu?” tanya para tetangga kagum. “Anon bersinar. Terang sekali! Semua jadi kelihatan lagi,” tutur Manto.

Mereka menatap Anon. Wajahnya memang berseri-seri, tetapi tidak mungkin bisa menerangi seluruh ruangan kamar yang gelap pekat.  “Ah, Manto, kamu salah lihat. Sinarnya dari lilin yang kubawa,” ucap Anon. Orang-orang tak lagi bertanya. Semua sudah lelah dan ingin lekas pulang. Walau sebenarnya dalam hati mereka masih menyimpan tanya: cahaya lilin bisa mengalahkan obor?

***

Keesokan pagi, dalam perjalanan ke sekolah Manto berpapasan dengan Anon. Ia menyodorkan tabung kaca. “Maafkan aku. Aku mencurinya….,” ujar Manto sambil merunduk. Anon menghela napas. Ia memandangi tabung kaca di tangan Manto. Senyumnya merekah. “Buatmu saja. Teruslah berbuat kebaikan, nanti tabung kaca ini akan bersinar.”

Manto kehilangan kata-kata. Ia hanya dapat menatap lekat Anon. Sekali lagi ia  melihat Anon bersinar. Bukan lantaran cahaya matahari pagi, tetapi sinar yang memancar keluar dari sekeliling tubuhnya. Bersama mereka melangkah.

Tak jauh dari pintu gerbang sekolah, mereka berjumpa dengan pengemis tua yang biasa mangkal di situ. Anon memberi nasi bungkus yang sudah disiapkan dari rumah. Dari jauh, Pak Darso menyaksikannya. “Anak yang baik,” bisik Pak Darso. Tiba-tiba ia memandang dengan takjub. Perkataan Manto semalam benar. Anon bersinar. Sungguh, sinar terindah yang pernah ia lihat.

DELLA TRISTANI – Jakarta

BACA:
Cerita: Gerobak Salvo

Bagikan :

Advertisement