NYALANYALI.COM, Kisah – Nak, kopi pekat ini selalu tak pernah benar-benar habis. Biasanya hanya berakhir jadi santapan semut. Ataupun dikala mengisi perut, harus selalu ngebut karena dikejar-kejar makhluk imut yaitu dirimu.
Koran yang setiap harinya dikirim Mang Udin juga hanya kurapikan sebab tak ada waktu luang untuk sekedar membaca. Kamu memang amat menyita perhatian. Seolah tak boleh ada yang lain selain kamu dan kamu. Tapi itu tak masalah, Aqilah cantik tahu waktu yanda begitu lapang buat ananda.
Lareina aqilah, kamu cepat tumbuh dan lincah. Aktivitasmu semakin melampaui waktu. Tapi kalau kamu sedang rewel, kamu hanya mau yanda gendong, jelas beratmu kini tak seperti dulu. Ngilu, pegal, linu selalu yanda rasakan tiap malam. Bukannya yanda tak mau sayang, tapi yanda tak bisa terus menerus menggendong kamu sambil mengerjakan seabrek pekerjaan rumah.
Aqilah cantik mungkin belum tahu tahu. Ada setumpuk pekerjaan yang menunggu. Menyapu, menyikat wc, menguras bak, mencuci baju kita semua. Itu semua tidak mudah dan jelas perlu tenaga, sayang. Jadi anakku cantik mari belajar bersabar.
Tampaknya kita juga perlu sinkronisasi waktu. Karena disaat Aqilah tertidur belum tentu yanda juga bisa ikut terlelap pulas, karena biasanya ada saja yang perlu dikerjakan. Tapi sekali lagi itu tak masalah karena yanda sayang Aqilah.
Maaf yah jika yanda terkesan berkeluh kesah. Tapi bukan itu maksudnya. Yanda tulis ini supaya kelak Aqilah cantik bisa menghargai waktu. Karena hitungan jam itu hanya berceceran sayang, hari ke hari itu kian mirip ilusi. Ah, kamu terlalu imut untuk mampu mengerti hal ini.
Maka dari itu kita harus menghargai yang kecil sebelum menatap yang besar. Hal kecil itu bukan hanya handuk yang selalu yanda ganti, atau lap yang yanda pastikan kering, atau baju kotor yang menggantung di wc, atau mengisi sabun ke dalam tempatnya.
Mengisi gas, membeli aqua, atau mengeluarkan dan memasukan motor. Atau merapikan karpetmu, membersihkan bekas mandimu, melipat dan menyusun bajumu, atau berpuluh-puluh kali dalam sehari merapikan naunganmu. Yang kecil bukan itu sayang akan tetapi keterbatasan kita untuk mampu menghargai itu semua.
Sayang, ini pertama kalinya yanda menjadi orangtua. Salah dan alpa itu niscaya. Yanda bukan superhero atau manusia sempurna. Yanda hanya daging dan kulit yang tidak anti pada rasa lelah, ceroboh dan kecewa. Oleh karena itu yanda benar- benar minta maaf jikalau yanda pernah membuatmu tak nyaman. Kelak kamu akan mengerti bahwa menjaga amanah itu tak mudah.
Sekelumit cerita di atas adalah keseharian saya sebagai bapak rumah tangga. Ya, anda tidak salah baca, jalan cerita di sinetron “Dunia Terbalik” itu memang nyata. Saya adalah contoh kongkretnya.
Dalam kultur budaya yang patriarkhi, pembagian peran dan tugas seperti yang saya alami cenderung tabu dan bahkan “memalukan” untuk diceritakan. Paling tidak cara pandang seperti itu saya dengar dan dapatkan langsung dari para tetangga yang tak “sungkan” mencibir cara hidup keluarga kami.
Belum lagi pola pengasuhan ayah yang “diragukan” kapasitasnya. Tak akan sedahsyat mereka yang diasuh ibunya. Atau juga kelas-kelas parenting yang jarang sekali memusatkan kajian pada kasus yang saya alami. Intinya, bapak rumah tangga itu masih dianggap nihil di nusantara tercinta ini.
Antropolog dari Universitas Padjajaran, Budi Rajab dalam sebuah artikelnya di harian Pikiran Rakyat mengatakan, perbedaan gender berhubungan dengan karakter dan peran sosial. Menurutnya perbedaan gender sebenarnya bisa diubah dan bahkan dibalik.
Tapi tentu saja tak semua masyarakat paham betul apa yang dikatakan Budi Rajab. Alih-alih sepakat, posisi laki-laki masih dianggap dewa dalam rumah tangga. “Merendahkan” diri dengan urusan remeh-temeh rumah tangga adalah sesuatu hal yang dianggap tercela.
Tapi sekali lagi itu tak mengapa bagi saya. Pasalnya konsekuensi dari pilihan yang saya ambil sudah dipikirkan sejak jauh-jauh hari. Bagi saya, banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dengan menjalani peran ini. Saya seperti kembali belajar hidup dari anak-anak.
Dari mereka, saya kembali menata konstruksi tentang konsep kejujuran. Saya belajar memahami arti kesederhanaan. Saya menemukan bingkai hidup bernama kesabaran. Saya bahkan belajar menyelami makna hidup itu sendiri. Ya, saya sungguh-sungguh belajar hidup dari titipan Tuhan.
INDRA SETIAWAN