NYALANYALI.COM – Perjalanan panjang bangsa Indonesia sangat kaya akan kronik sejarah. Begitu pula kisah kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara meninggalkan banyak misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan, terkait kenapa, kapan dan bagaimana berakhir masa pemerintahannya. Demikian halnya dengan cerita rakyat, sebagai khasanah budaya bangsa yang dituturkan lintas generasi, hanya dianggap sebagai pemanis dan ditempatkan di ranah dongeng atau mitologi, tanpa penelusuran mendalam. Informasi sejarah yang simpang siur acapkali memancing pertanyaan, “Sedemikian mudahkah Imperium Penguasa itu runtuh??”
Istilah Imperium Penguasa senada dengan isi prasasti Canggal tahun 732 Masehi, bahwa Pulau Jawa disebut sangat indah, hijau, subur, dan kaya akan emas. Pulau Jawa adalah salah satu pulau utama di Nusantara, berpusat di dekat 7° 30’10 “S, 111° 15’47” E, membentang dari sekitar 106° E – 114° E di sepanjang tepi timur laut Samudera Hindia di bagian tenggara Asia. Selain sebagai nama pulau, Jawa ternyata menjadi nama sebuah kerajaan. Berdasarkan naskah Nāgarakŗtāgama 16.5.1 terlihat pada kalimat, “Irika tang anyabhūmi sakhahěmban in Yawapurī”, artinya : “Kemudian tanah-tanah lain di mana saja, yang semuanya disatukan di Kerajaan Jawa”. Istilah Kerajaan Jawa digunakan dalam tradisi Arab dan Cina untuk menunjuk Jawa, sebagaimana keterangan Prapanca. Istilah itu menggeser nama kerajaan induk yang memimpin kerajaan-kerajaan kecil di Jawa. Sementara itu, Warsito Sastroprajitno menilai istilah Jawa tidak hanya mengacu pada wilayah Pulau Jawa semata, tetapi juga wilayah selain Pulau Jawa. Interpretasi ini dilakukan sekalipun tidak ada data secara resmi sebuah daerah disebut sebagai Jawa, selain yang dicatat dalam Prasasti Canggal (Irawan Djoko Nugroho, 2011 : 24).
Majapahit adalah salah satu imperium yang pernah berkuasa pada abad 13–15 Masehi. Pusat pemerintahnnya berada di Jawa Timur dan menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara. Dalam naskah Nāgarakŗtāgama disebutkan pula, bahwa pada masa Hayam Wuruk, wilayah Majapahit meliputi Jawa; Sumatera; Tanjungpura (Kalimantan); Nusa Tenggara; Sulawesi; Maluku; Papua; Tumasik (Singapura); Semenanjung Malaka (Malaysia); dan daerah-daerah pulau di sekitarnya. Majapahit juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara sekitar, seperti Siam; Champa; India; Cina hingga Afrika.
Majapahit menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu yang energi positifnya masih dapat dirasakan hingga kini. Sebagai negara besar, tentunya Majapahit memiliki sistem pemerintahan sangat bagus, ditopang dari segi sosial-budaya-politik dan perekonomian. Kondisi sosial–budaya-politik di Majapahit sangat terjaga dengan adanya toleransi beragama yang berlangsung harmonis, yaitu Hindu, Buddha, dan aliran karesian sebagai agama resmi. Meskipun tidak sebanyak pemeluk agama resmi dan hanya di kalangan tertentu, Islam saat itu telah mendapatkan posisi baik di Majapahit.
Perekonomian Majapahit ditopang pula oleh sektor pertanian, perdagangan, dan transportasi. Di sektor pertanian, Majapahit banyak membangun sarana irigasi berupa tanggul, waduk, serta dam yang berfungsi untuk meningkatkan hasil pertanian dan menanggulangi bahaya banjir. Di sektor perdagangan, baik perdagangan antar pulau di Nusantara maupun dengan negara manca, Majapahit membangun pelabuhan-pelabuhan yang keberadaannya merupakan sarana vital untuk penyeberangan.
Sedangkan di sektor transportasi, adanya armada kapal niaga diperlukan untuk mengangkut hasil bumi ke seluruh wilayah Nusantara. Dalam perkembangannya, armada niaga Majapahit menjadi lebih kuat dan besar, karena ada kebutuhan untuk pelayaran niaga ke India, Afrika, dan Cina. Untuk dapat menguasai lautan dan melindungi keamanan pelayaran di laut Jawa dan Selat Malaka dari gangguan perompak, selanjutnya Majapahit mengembangkan armada perangnya.
Majapahit menetapkan beberapa wilayah menjadi kota pelabuhan yang berada di tepian sungai Brantas dan sungai Bengawan Solo yang disebut sebagai desa penambangan atau tempat aktivitas tambat-labuh perahu, seperti pelabuhan Canggu, Trung, dan Curabhaya. Desa penambangan tersebut dikenal sebagai Naditira Pradesa. Dalam teks prasasti Canggu tahun 1358 Masehi disebutkan, bahwa terdapat 44 (empat puluh empat) tempat penyeberangan di tepi sungai Bengawan Solo dan cabangnya, dan 34 (tiga puluh empat) tempat penyeberangan di tepi sungai Brantas. Terdapat 3 (tiga) tempat sebagai pelabuhan angkut atau pemunggahan, mulai dari Hilir (Curabhaya), Trung, dan Canggu. Disebutkan pula, bahwa Canggu sebagai pelabuhan barang, sedangkan Bubat dan Trung adalah pelabuhan untuk menurunkan penumpang. Oleh pemerintahan Majapahit, di masing-masing wilayah pelabuhan ditugaskan satu Kepala Jawatan atau disebut Tandha untuk mengelola keuangan pajak transportasi sungai.
Pecattandha atau Pancattandha adalah suatu jabatan dalam tata negara Majapahit yang berhubungan dengan penguasaan wilayah di sektor jual–beli dan pusat hubungan lalu lintas sungai atau tambangan. Di Babad Tanah Jawa, istilah ‘Pecattandha’ sering disebut dan dikaitkan dengan kisah Adipati Trung atau dikenal sebagai Arya Pecattandha. Dapat disimpulkan, bahwa kedudukan Adipati Trung dalam kisah Babad Tanah Jawa adalah penguasa wilayah Trung yang bertugas sebagai kepala jawatan perpajakan transportasi pelabuhan sungai. Informasi yang sama didapat pula dari cerita rakyat yang berkembang di wilayah tersebut, bahwa dahulu Kadipaten Trung dipimpin seorang adipati bernama Raden Husen.
Dalam cerita rakyat, Adipati Trung memiliki seorang putri jelita yang ia hukum mati karena dianggap membawa aib. Sepulang sang adipati dari perang melawan Blambangan dan berhasil merebut keris pusaka Sengkelat dari raja Blambangan lalu diserahkan ke raja Demak, tetiba putrinya hamil lantaran melanggar pantangan untuk tidak memangku sebuah belati yang dipinjamnya dari pemuda tak dikenal untuk memetik bunga. Dikisahkan, pemuda pemilik belati yang tak lain adalah Sunan Bonang dari Tuban itu menghilang setelah meminjamkan belati miliknya.
Karena dianggap hamil tanpa suami, di hadapan ayahnya sang putri bersumpah bahwa dirinya tak pernah melakukan tindakan tercela dengan lelaki manapun. Sebelum dihukum mati sang putri pun berpesan, jika darah yang keluar dari tubuhnya berwarna putih dan berbau wangi, berarti ia masih suci. Ia juga memohon kepada ayahnya agar jasadnya nanti dihanyutkan ke sungai Trung. Jika air sungai yang berarus deras tersebut berhenti mengalir, maka semua tuduhan kepada dirinya pun salah.
Di akhir kisah, Adipati Trung menyesali perbuatannya, karena ternyata darah yang keluar dari tubuh sang putri berwarna putih dan berbau wangi. Lalu, saat jasadnya dihanyutkan ke sungai Trung yang berarus deras, tetiba air sungai itu berhenti mengalir. Ia begitu mudah menuduh sang putri telah berbuat cela. Sebagai pengingat, peristiwa tersebut diabadikan oleh rakyat Trung menjadi monumen berupa makam sang putri dengan sebutan ‘Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung’, yang berarti ‘seorang putri yang meninggal dalam keadaan hamil dan belum sempat melahirkan’. Bagaimana ketersesuaian cerita rakyat Trung dengan kisah sejarah sebenarnya?
Makam Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung berada di Desa Terung Wetan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut penuturan juru kunci Situs Trung, Mbah Sahuri, sebelum dipugar makam Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung berupa lahan bambu cukup lebat. Terdapat batuan kuno sebagai penanda makam (patok). Terdapat pula dua candi yang berdekatan dengan lokasi makam, yaitu dikenal dengan nama Candi Trung dan Candi Dermo. Lokasi ketiganya berdekatan dengan sungai kecil Junwangi yang alirannya menuju sungai besar, yaitu sungai Trung.
Keberadaan Candi Trung dan Candi Dermo di era lalu dimungkinkan sebagai sub-distrik pemerintahan Majapahit di wilayah pelabuhan Trung. Begitu pula dengan sungai Junwangi yang lokasinya di antara sungai Trung dan Brantas, karena termasuk sungai kecil dan arusnya tidak terlalu deras, dimungkinkan berfungsi sebagai tempat menambatkan perahu yang tidak sedang beroperasi. Ketiganya menjadi kesatuan dengan makam Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung, karena berada di teritorial pemerintahan yang sama. Lalu, misteri apakah di balik cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung? Apakah makam itu benar adanya, atau hanya sebagai kode? Mari kita kaji menggunakan pendekatan semiotika.
Semiotika adalah studi tentang tanda atau kode dan segala yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Dalam kajian sastra, pendekatan semiotika khusus mengkaji sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri, sedangkan sistem itu berurusan dengan masalah teknik, mekanisme penciptaan, ekspresi, dan komunikasi. Analisis sastra dalam cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung telah terlihat kode-kode budayanya, yaitu ikon; simbol; dan indeks.
Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Ikon merupakan bagian semiotika yang menandai sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan obyek kepada subyek. Ikon dari dulu hingga kini tidak pernah berubah dan tanpa kreatifitas apapun, bersifat statis, lugas, dan obyektif. Contohnya : ikon dari Legenda Baru Klinthing adalah naga, diinterpretasikan sebuah lorong besar dan panjang meliuk-liuk seperti ular naga. Dalam cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung, ikonnya adalah Raden Ayu yang digambarkan sebagai perempuan jelita, interpretasi dari ‘Kadipaten Trung’.
Simbol merupakan sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subyek kepada obyek. Simbol adalah dunia lambang, yaitu dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan, bersifat dinamis, khusus, subyektif, dan majas. Suatu lambang selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang telah diberi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional. Contohnya : warna merah dan putih pada bendera Sang Saka Merah Putih merupakan lambang kebanggaan bangsa Indonesia. Makna warna merah secara situasional, kondisional, dan kultural adalah gagah dan berani, sedangkan makna warna putih adalah suci, bersih, mulia, luhur, bakti, dan penuh kasih sayang. Sementara itu, dalam cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung, simbolnya adalah :
- ‘Adipati Trung berperang melawan Blambangan dan merampas keris pusaka Sengkelat sebagai wujud kemenangan oleh Demak’, diinterpretasikan sebagai ‘misi penyebaran agama baru hingga wilayah ujung timur Jawa’;
- ‘pantangan memangku belati kecil bagi sang putri’, diinterpretasikan sebagai ‘polemik masuknya agama baru melalui misi perkawinan politik’;
- ‘pemuda tak dikenal atau pemilik belati’, diinterpretasikan sebagai ‘penyebar agama baru’;
- ‘darah sang putri yang berwarna putih dan wangi’, diinterpretasikan sebagai ‘kesetiaan penganut agama lama’;
- ‘arus sungai Trung yang deras lalu berhenti mengalir’, diinterpretasikan sebagai ‘keruntuhan Trung karena perkawinan politik’; dan
- ‘ontjat tandha wurung atau meninggal dalam kondisi hamil atau meninggal sebelum melahirkan’, diinterpretasikan sebagai ‘masa transisi keruntuhan Trung karena konflik sosial–politik’.
Indeks diartikan bahwa antara tanda dan acuannya ada kedekatan eksistensial. Penanda merupakan akibat dari petanda (hubungan sebab-akibat). Tanda yang dimaksud menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan pertandanya. Contohnya : mendung merupakan tanda akan hujan dan asap menandakan adanya api. Dalam cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung, ‘penyesalan dan kesedihan Adipati Trung setelah menghukum mati putrinya’ merupakan indeks bahwa ‘masa akhir Trung yang bergejolak’.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tanda Wurung memiliki banyak sanepa atau sindiran terhadap kondisi sosial–politik di akhir pemerintahan Kadipaten Trung. Oleh leluhur Trung, sanepa sengaja diciptakan lantaran adanya gonjang-ganjing perpolitikan saat itu, di mana untuk tujuan menjaga keharmonisan maka kisah tersebut tidak diceritakan secara lugas. Kode-kode budaya yang terbaca adalah sebagai berikut : di masa akhir pemerintahan Majapahit, Trung menjadi wilayah transit. Kehidupan majemuk di Kadipaten Trung menjadi sasaran utama misi penyebaran agama baru melalui perkawinan politik. Dikarenakan kesetiaan para penganut agama lama, misi tersebut tidak berjalan lancar hingga menyebabkan gejolak sosial–politik dan berimbas pada keruntuhan Trung. Kode tersebut terlihat jelas pada suasana sedih di akhir kisah.
Berdasarkan hal di atas, misteri yang menyelimuti cerita rakyat Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung mulai terkuak. Sebaran Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCD) di sekitar titik koordinat (yang diduga) makam dimaksudkan jika cerita rakyat sengaja dibuat untuk pengkodean atau kamuflase saja. Sebaran ODCB, di antaranya : tatanan lantai kuno berbahan batu bata saling menyambung; sumur berbentuk bundar (lanang) dan kotak (wadon); batu pemberat perahu berbentuk manggis; dan pecahan batu bata, tembikar, dan keramik. Oleh warga Desa Terung Wetan, temuan-temuan ODCD tersebut disimpan rapi di museum rakyat bernama ‘Museum Kreweng’, digagas oleh juru kunci Situs Trung, Mbah Sahuri, dan pegiat sejarah lokal, Mas Candra. Dari semua data yang ada menguatkan interpretasi jika area lokasi (yang diduga) makam Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung dan sekitarnya adalah sebuah Kawasan Cagar Budaya, menyerupai deretan distrik-distrik di suatu tatanan pemerintahan.
Temuan tatanan lantai kuno berbahan batu bata dan batu pemberat perahu berbentuk manggis di dekat lokasi makam Raden Ayu Ontjat Tandha Wurung. Gambar bawah : juru kunci dan pegiat Situs Trung yang menggagas Museum Kreweng. Dok. Agustin Ariani
Meskipun istilah ‘Ontjat Tandha Wurung’ dan ‘Pecattandha Trung’ hampir memiliki persamaan bunyi, namun dua istilah tersebut memiliki arti berbeda. Dalam cerita rakyat lebih mengenal ‘Ontjat Tandha Wurung’, sedangkan dalam naskah Babad Tanah Jawa tertulis ‘Pecattandha Trung’. Anggapan bahwa leluhur Jawa telah menyadari jika meninggalkan warisan berupa catatan kuno di lontar, dluwang, kertas sebagaimana perpustakaan kuno di peradaban bangsa lain akan hilang karena kondisi sosial–politik dan alam yang jarang terjadi di peradaban bangsa lain, maka satu-satunya jalan adalah menyimpannya dalam ingatan manusia yang dinilai aman dalam kurun waktu lintas generasi, berupa cerita rakyat.
Rupanya, fenomena makam atau kuburan yang menyimpan kisah sejarah sangat banyak ditemui di Nusantara dan uniknya di lokasi makam selalu ditemukan sebaran batuan kuno. Misal : Makam Prabu Aji Putih di Cipeueut – Sumedang; Makam panjang di Pulau Angso Duo – Sumatera Barat; Makam Daeng Pasang di Antang – Makasar; Makam Datu Nuraya di Tatakan – Kalimantan Selatan; Makam Batu Ampar di Madura; dan lain-lain. Sejalan dengan pernyataan Peter Carey, sejarawan asal Inggris, mengatakan bahwa demi mengelabui rencana Belanda merusak situs, maka masyarakat Nusantara melakukan perlawanan, di mana mereka menjadikan beberapa situs yang dianggap vital sebagai kuburan (sengaja dikubur), sehingga tidak dilakukan penggalian oleh Belanda.
Fakta jika makam adalah titik vital disembunyikannya kode-kode sejarah Nusantara kian menambah keyakinan, bahwa tidak semua bukti sejarah itu hancur, hanya saja bagaimana cara pewaris kode dapat menguaknya kembali. Jika memang ditemukan fenomena serupa di seluruh penjuru Nusantara, dapat dipastikan bahwa para pendahulu telah menuliskan kode-kode budaya tersebut dalam sebuah ‘Ensiklopedia’.
AGUSTIN ARIANI
Filolog dan peneliti independen
Daftar Referensi :
Djafar, Hasan. 2012. Masa Akhir Majapahit : Girindrawarddhana & Masalahnya. Jakarta : Komunitas Bambu.
Djoko Nugroho, Irawan. 2011. Majapahit Peradaban Maritim : Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta : Yayasan Suluh Nuswantara Bakti.
Situngkir, Hokky. 2016. Kode – Kode Nusantara. Jakarta : Expose.
Zoest, van Aart. 1993. Semiotika : tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
Naskah Babad Tanah Jawa (tedhakan) beraksara Jawa, koleksi Sdr. Fajar – Wonosobo.
Wawancara dengan Juru Kunci Situs Terung : Mbah Sahuri dan Mas Candra.
http://setyamanggalamajapahit.blogspot.com