Dunia Wildan, Anak Autisku: Cintanya Adik

NYALANYALI.COM, Kisah – Aku ingat sekali, bagaimana  adik sangat sayang pada kakak, bahkan selalu membela dan melindunginya. Itu sejak kecil dilakukannya.  

Pernah, saat Adik masih usia sekitar 5 tahun. Membeli bakso berdua, dan harus antre.  Kakak dengan cueknya langsung nyelonong minta dilayani dahulu.

Ada seorang anak tetangga, laki-laki juga yang lebih besar dari mereka berdua, nyelutuk, “Duh, anak ini nakal.”

Mendengar itu, adik langsung maju, memukul perut anak itu dengan keras. Sambil berkacak pinggang. “Kakakku tidak nakal! Kakakku autis. Mau apa kamu!”

Anak laki-laki itu langsung pergi sambil menangis. Pergi dengan memegangi perutnya.

Aku yang memandangi kejadian itu dari kejauhan hanya bisa mengucap syukur pada Allah. Ternyata, dengan usianya yang masih begitu kecil, sudah punya perasaan untuk membela kakaknya. Alhamdulillah ya Allah.

Memang, sejak tahu kakaknya menyandang autis, Ghulam, adiknya Wildan sering kubisiki, baik saat terjaga, maupun saat tidur. “Adik sayang kakak, ya. Adik selalu lindungi Kakak, ya.”

Kalimat-kalimat itu yang selalu aku bisikkan di telinganya.

Yang membuatku takjub, saat dia tertidur pun, ketika aku bisikkan kalimat-kalimat itu, dia mengangguk. Bahkan ‘tak jarang sambil  mengangguk, dia menjawab ‘iya’. 

Bahkan, sampai sekarang pun, sampai di usianya sudah semakin dewasa, 23 tahun, kalimat-kalimat itu tetap aku bisikkan. Sama seperti dulu, saat dia terjaga atau saat tidur., dan, Subhanallah … Dia tetap dengan anggukan dan kata ‘iya’nya itu.

Ghulam pun tidak pernah malu dengan keadaan kakaknya. 

Semua teman-temannya yang datang ke rumah, entah untuk keperluan belajar bersama, atau hanya sekadar untuk berkunjung, dia selalu memanggil kakaknya untuk diperkenalkan pada teman-temannya. Dengan santai dan tanpa beban sama sekali, memberitahu kalau kakaknya autism. 

Tidak jarang kakak pun dia libatkan dalam permainan mereka.

Begitu pula saat di sekolah. 

Pernah suatu kali, saat masih di SMA, aku dan Kakak menjemputnya  di sekolah. Melihat adik keluar dari pintu gerbang, segera kakak meloncat keluar dari kendaraan. Menjemput adiknya dengan mengeluarkan suara menceracaunya yang ramai dan riang. 

Adik yang melihat kakak menyongsongnya, langsung menyambut dan memeluknya dengan santai. Tanpa rasa jengah sama sekali.  Sementara teman-teman sekolah yang ada di dekatnya pada memperhatikan. Mata mereka semua tertuju pada anak-anak terkasihku yang sedang berangkulan itu. . 

Mataku yang memandang nanar kejadian itu dari dalam kendaraan,  seketika panas. Ada rasa haru yang tak dapat aku terjemahkan. 

Ingin rasanya ikut dalam pelukan mereka berdua saat itu.

Begitulah,  sering sekali aku terperangah karena mendapati sesuatu yang tidak aku sangka dari Adik. 

Adik yang masih seusia segitu, sudah harus merasa ikut bertanggung jawab pada kakaknya. Sampai-sampai kami sering merasa sudah tidak adil bersikap kepadanya. Namun, Alhamdulillah, dia amat memahaminya. 

Pernah, tanpa sengaja, aku bertemu dengan salah satu gurunya di sekolah. Beliau bertanya, “Pak Eki, saya mau nanya ke Pak Eki. Masalah Ghulam.” 

“Iya, Pak. silakan.” Perasaanku menjadi tidak enak. Ada apa dengan anakku, itu? 

“Tidak ada yang penting, kok, Pak. Hanya ingin tahu, bagaimana cara mendidik dia. Kok dia sabar sekali. bahkan tidak malu jualan kebab di sekolahan saat istirahat.”

Degh! 

Aku kaget. Anakku jualan kebab? Di sekolah? Apa uang sakunya kurang? Hanya tidak berani minta pada kami? 

Bahkan istriku pun tidak tahu ketika aku tanyakan masalah ini. 

Aku tidak menjawab pertanyaan beliau. Hanya tersenyum saja. Namun perasaanku terasa terurus. Sedih sekali membayangkan jika itu benar. Kasihan sekali anakku. 

Segera aku mendudukkannya saat sudah di rumah. 

“Sayang, apa benar kamu jualan kebab di sekolah?” tanyaku dengan tidak sabar. 

“Iya ….” 

“Buat apa? Apa uang sakumu kurang? Kenapa tidak minta tambahan?” tanyaku. 

‘Iya. Sebenarnya akhir-akhir ini, kurang. Karena motor yang Ayah belikan bensinnya boros. Karena CC-nya besar. Mana sekarang, persiapan mau ujian banyak sekali tugas. Jadi banyak yang harus di foto copy dan dijilid,” katanya, pelan. 

“Terus? Kok, nggak minta tambahan uang saku? Apa selama ini Ayah sama Mama pernah menolak, jika kamu minta jika itu memang benar-benar perlu?”

“Tidak usah. Tapi gak papa. Biar Ayah sama Mama konsen saja sama kakak, kasihan kakak. Kan sekarang ini Kakak butuh biaya obat banyak. Aku tak jualan kebab di sekolah buat nyari tambahan sendiri.”

Ya Allah … 

Aku hanya terdiam mendengar jawabannya. Seketika dadaku sesak. Penglihatanku kabur. Terhalang air mata. 

Hatimu, Nak …. Hatimu, Sayang. 

Maafkan Ayah dan Mama yang sering mengabaikanmu. Akhirnya kami tetap memberinya tambahan uang saku. Walau awalnya dia menolak. 


***

Namun yang paling menenangkan perasaanku adalah rasa cintanya  pada Kakak. Rasa ikhlas untuk melindungi dan menyayangi Kakak. Selalu berusaha untuk melindungi Kakak. Bahkan aku sendiri, Ayahnya sendiri, harus menghadapinya, 


Pernah terjadi, saat masih SMA, selepas sebuah acara, adik memberikan bahunya agar kakak yang kelelahan bisa tidur. Dan karena kuatir kakak terbangun, adik harus menahan tidak bergerak lebih dari 2 jam.

Suatu saat, aku yang baru pulang dari kantor, badan rasanya lelah sekali. Apalagi, sudah beberapa lama kurang tidur karena setiap malam harus menjaga dan mendampingi anak terkasihku yang sedang labil, jalan-jalan sampai subuh. 

Ya, sejak anak terkasihku mengalami masa puber, peningkatan hormon testorennya membuat  emosinya labil dan pola tidur berbalik arah. Siang menjadi malam, malam menjadi siang.

Baru masuk rumah, aku mendapati Adik  sedang meringis-ringis kesakitan. Namun sambil berusaha tersenyum pada kakak yang sedang meremas dan mencubiti telapak tangannyanya. 

Aku lihat sudah banyak darah di tangan Adik. 

Aku tahu, dia kesakitan, walau dengan sambil pura-pura tertawa-tawa. Terbukti bibirnya bergetar. Matanya terlihat basah. Berarti dia berpura-pura agar Kakak tidak semakin tantrum. 

Berusaha tersenyum agar kakaknya tenang. 

Aku yang memang dasarnya sedang lelah, merasa kepala langsung keram. Meloncat menengahi dengan merenggut tangan Wildan dengan sedikit kasar. Bahkan telapak tanganku sudah sedikit terangkat untuk ‘nyeples’ tangannya yang sedang menyubiti tangan adik. 

Namun tiba-tiba, 

“Yah! Kakak jangan dipukul. Kasihan! Biar saja, wes!” 

Ghulam  membentakku dengan suara keras. Aku kaget. Tanganku yang sedianya akan nyeples tangan Wildan terhenti di udara. 

“Biar, wes, biar. Aku gak papa dicubit. Tapi jangan pukul kakak. kasihan kakak,” katanya sambil menangis. Seketika hatiku luruh. 

Aku maju memeluk mereka berdua. Tanpa dapat berkata-kata. Hanya diam-diam  aku sisipkan telapak tanganku diantara tangan Kakak yang sedang mencubiti Adik agar tanganku yang dicubit. 

“Maafkan, Ayah, Dek.” kataku saat menemui Ghulam di kamarnya yang sedang mengobati tangannya yang penuh luka, setelah kejadian itu lewat dan Wildan sudah tenang kembali. 

“Iya, tapi tolong Ayah jangan bentak kakak. Apalagi mukul Kakak. kasihan Kakak, Yah.” Dia kembali menangis. 

“Iya, Nak, iya. Ayah salah. Maafkan Ayah,” kataku sambil memeluknya. Ada rasa sesal memenuhi dadaku. 

“Ayah sayang Kakak, kok. Sungguh. Hanya nggak tega lihat kamu dicubit Kakak.” 

“Iya, tapi aku gak papa, kok.” 

“Iya, Nak. Maafkan Ayah.”

Semenjak kejadian itu, tidak pernah lagi aku bentak atau nyeples  kakak. Apalagi sampai Adik tahu. Aku takut melukai peraaannya. 


***

Alhamdulillah, 

Rasa sayangnya pada kakak sampai detik ini, selalu terpancar dari sikapnya. Semoga selamanya begini.

Terima kasih, Nak. Selalu kau curahkan sayangmu pada kakak tanpa terputus. Walau kadang kau harus ikut merasakan cubitannya yang melukai tanganmu.

Ayah sayang kalian berdua. Ayah cinta kalian. Terima kasih, sudah menjadi bagian hidup Ayah. Menjadi bagian dari nafas Ayah. Menguatkan Ayah saat sedang lemah. 

Ayah selalu ridho padamu, Nak, batinku.

Terima kasih ya Allah, telah kau hadirkan adik sebagai penenangku. Terima kasih Kau beri aku mereka, anak-anak sebagai penyempurna kebahagiaan ini. 

Kota Batu, 11 Juni 2021

YUSRI RIZKY

Bagikan :

Advertisement