NYALANYALI.COM, Kisah – Stasiun Kutaraja, Banda Aceh, 1938.
Orang berbondong-bondong ke stasiun itu, setiap Rabu malam. Kebanyakan mereka bukan menunggu orang datang dari kota lain, tapi tetap ada yang ditunggu.
Tak sabar, setiap minggu ada yang ditunggu. Majalah Pedoman Masjarakat dari Medan yang mereka tunggu. Bukan segala berita yang mereka nanti, sampai berderet-deret antrean banyaknya itu. Tapi cerita bersambungnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA mereka nanti tak sabar hati. Menunggu bagaimana kelanjutan kisah Zainuddin dan Hayati dari minggu ke minggu.
Hamka menuliskannya hingga merasuk dalam jiwa pembacanya. Cerbung itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, novel. Itulah awal inisial Hamka dikenal.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pada 1962 menjadi bulan-bulanan Pramoedya Ananta Toer, di Rubrik Lentera, Harian Bintang Fajar. Plagiat dari karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832) yang kemudian diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke bahasa Arab. Terus saja karya Hamka dipersoal-soalkan.
Bagaimana bisa? Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck bukan persoalan roman biasa, percintaan dua anak muda semata, pada masa itu Hamka mengkritik kawin paksa, pembedaan strata sosial masyarakat, lunturnya adat oleh infiltrasi budaya Barat di ranah Minang kala itu. Sangat kental nilai lokal ditampilkan. Orang yang pernah hidup di dalam adat itu yang bisa menceritakan detilnya, Hamka orangnya.
Cuma Hamka, seorang ulama masa itu yang meyakini cerita roman sekalipun bisa memberikan nasihat yang baik bagi pembacanya. Selama 57 tahun tak kurang dari 84 judul buku sudah ditulisnya termasuk Di Bawah Lindungan Ka’bah. Untuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk bahkan menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia hingga Malaysia. Di Indonesia Van Der Wijck dicetak 14 kali, dan di Malaysia dicetak 9 kali.
***
Zainuddin, tokoh dalam novel itu berkata pada Hayati, kekasihnya, “Kau yang sanggup menjadikan saya seorang yang gagah berani, kau pula yang sanggup menjadikan saya sengsara selamanya.”
Hayati pernah pula berkata, “Kasihanilah perempuan yang ditimpa musibah berganti-ganti ini.”
Zainuddin dalam dendam cintanya berkata, “Ketika itu, kau antarkan saya ke seberang jalan, kau berjanji menunggu kedatanganku berapapun lamanya. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati.”
Lebur hati pembaca oleh kata-kata itu. Hanya Hamka yang bisa membuatnya. Kapal Van Der Wijck di tangan Hamka tak pernah tengelam, bahkan berlayar sepanjang masa. Cinta Zainuddin dan Hayati mengarungi sastra Indonesia dari karya seorang ulama, cerdik pandai, ninik mamak kebanggaan. Hamka namanya.
18 Juni 2018
S. DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup