NYALANYALI.COM – Tradisi tulis Nusantara telah ada sejak dulu. Ditulis di lontar, kulit binatang, bilah bambu, daluwang, maupun kertas. Ia salah satu saksi perjalanan peradaban manusia yang menyimpan kisah bersejarah tentang apa, bagaimana, mengapa, siapa, kapan, di mana, dan mungkinkah hal itu terjadi di era silam? Keilmuan yang bersinggungan langsung dengan tradisi tulis kuno adalah Filologi, ilmu yang mempelajari tentang manuskrip kuno yang berisi deratan-deretan aksara dan bahasa kuno, merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik.
Sampai saat ini, Filologi di Nusantara masih dianggap sebagai keilmuan ke-dua, cukup puas digunakan sebagai data sekunder, atas dasar opini bahwa terjadi banyak penambahan dan pengurangan dalam manuskrip kuno karena alasan-alasan tertentu. Sebagai saksi sejarah, beberapa kali telah ia buktikan, bahwa keberadaannya sebagai rekam jejak masa lalu sangatlah membantu dalam penelusuran sejarah Nusantara maupun di belahan bumi lainnya.
Ketika pada abad pertengahan Eropa dilanda musim dingin yang hebat, kabut kering menerpa Perancis, gerhana bulan terjadi di Inggris, musim semi yang kuat terjadi di utara Islandia, kelaparan di Inggris, Jerman Barat, Perancis, Utara Italia, akibatnya wabah pun menyebar ke London, Perancis, Austria, Irak, Suriah, dan tenggara Turki.
Apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Mereka menduga, hal tersebut pasti disebabkan oleh sebuah bencana alam yang begitu dasyat, dari gunung kah? Atau samudera kah? Atau mungkin dari luar bumi?
Eropa dirundung duka. Banyak tangisan dari mereka akan kehilangan anggota keluarga atau harta benda yang telah dikumpulkan bertahun-tahun lamanya. Para ilmuwan dikerahkan untuk mencari jawaban, tetapi yang didapat masih berkutat di wilayah pertanyaan.
Hingga pada akhirnya, ketika sekian lamanya dunia mempertanyakan, apakah yang sebenarnya terjadi? Dari mana penyebab itu berasal? Sumber tulis kuno dari Nusantara mampu menjawabnya, bahwa bencana tersebut adalah efek dari letusan salah satu gunung dan sumber letusan misterius pada abad pertengahan itu berasal dari bagian Komplek Gunung Api Rinjani, yaitu Samalas. Informasi tersebut diperoleh dari naskah ‘Babad Lombok’, berisi tambo sejarah Lombok, tersimpan di Perpustakaan KITLV dan Perpustakaan Universitas Leiden dengan beberapa versi berkode HKS 2502; KITLV 324; LOr. 6442; LOr. 6621; LOr 10.667; LOr. 11.153; LOr. 10.296; LOr. 13.90; PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) berkode Bd. Codex 395.
Teks salah satu manuskrip salinan Babad Lombok, dalam aksara dan bahasa Jawa, pupuh 274-279, antara lain :
“Gunung Rénjani kularat, miwah Gunung Samalas rakrat, balabur watu gumuruh, tibèng Désa Pamatan, yata kanyut balé aling parubuh, kurambang ning sagara, wongipun along kang mati.”
Terjemahan :
“Gunung Rinjani longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu bergemuruh, meluluh-lantakkan Desa Pamatan, banyak rumah roboh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang meninggal.”
“Pitung dina laminira, géntuh iku angaběki prětiwi, ing lèněng adhampar, aněrus maring watu, děnděng kang nganyuk, wongipun kabèh ing paliya, sawènèh munggah ing wukir.”
Terjemahan :
“Tujuh hari lamanya, gempa dasyat memporak-porandakan bumi, terhampar di jalanan, terseret oleh bebatuan yang menggelinding, manusia saling berlarian, sebagian ada yang menaiki bukit.”
“Ing Jaringo asingidan, saminya angungsi salon darak sangaji, akupul ana ing riku, wènèh ngungsi samuliya, Boroh Bandar Papunba lawan Pasalun, Saworok Pili lan Ranggiya, Sambalun Pajang lan Sapit.”
Terjemahan :
“Bersembunyi di Jeringo, tersisa kerabat raja yang mengungsi, berkumpul mereka di tempat itu, mereka mengungsi hingga keadaan membaik untuk pulang, yaitu di Borok, Bandar, Pepumba, Pasalun, Serowok, Piling, Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sampit.”
“Yak Nango lan Pělaméran, Batu Banda jějangkah tanahnéki, Duri arané Měnyan Batu, Sahér kělawan Balas, Batu Lawang Batu Rěntang Batu Cangku, samalih tiba ing těngah, Brang Bantun génira ngungsi.”
Terjemahan :
Di Nangan dan Palemoran, Batu Banda termasuk wilayahnya, Duri nama lain dari Menyan Batu, Saher dan Balas, Batu Lawang, Batu Rentang, Batu Cangku berada di tengahnya, Brang Bantun tempat pengungsiannya.”
“Ana ring Pundung Buwak Bakang, Tanah Gadang Lěmbak Babidas iki, sawènèh ana alarut, ing bumi Kěmbang Kékrang, Pangadangan lawan Pukahatin lungguh, sawènèh kalah kang tiba, mara ing Langko Pajanggih.”
Terjemahan :
“Ada di Pundung Buwak, Bakang, Tanah Gadang, Lembak, Babidas inilah, sebagian ada yang hanyut (di lautan), di wilayah Kembang Kekrang, Pangadangan dan Pukahatin terduduk (wilayahnya tidak terlalu hancur), sebagian wilayah yang hancur lebur, mengungsi di Langko Pajanggih.”
“Wěrnaněn kang munggéng palowan, sami larut lawan ratu ing uni, asangidan ya riku, ing Lombok goku mědah, gěněp pitung dina punang géntuh, nulih angumah désa, ing prěněha siji-siji.”
Terjemahan : “Dikisahkan para pengungsi, bersama-sama dengan ratunya, berlindung mereka di tempat itu, di Lombok seperti tanpa kehidupan, genap sudah tujuh hari setelah gempa, mereka segera kembali ke desa, membangun kembali satu persatu.”

(Gambar : topografi Pulau Lombok sebelum dan sesudah letusan Gunung Samalas. Dok. google)
Letusan Samalas telah merubah secara total topografi Pulau Lombok, mengubur Kerajaan Pamatan yang letaknya tidak diketahui hingga kini, abu letusannya masuk hingga ke stratosfer (lapisan atmosfer), sehingga menghalangi cahaya matahari hingg ke Eropa, yang kemudian mengendap hingga ke Kutub Utara.
Letusan itu menjadi salah satu letusan terbesar selama holosen hingga menyebabkan anomali iklim pada tahun 1258 Masehi, terutama di belahan utara bumi. Akibat letusan itu, para ilmuwan geologi seakan berlomba untuk mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Letusan Samalas pada tahun 1258 Masehi menjadi tantangan para ilmuwan untuk meneliti pola migrasi kerajaan, budaya, dan populasi penduduk di kawasan tersebut di masa lalu. Dituliskan, bahwa dampak letusan Samalas mengakibatkan melemahnya kerajaan di kawasan timur Nusantara, serta mempengaruhi salah satu peristiwa heroik Jawa, penyerbuan Kertanegara sang Raja Singosari ke kerajaan Bali pada tahun 1284 Masehi.
Bercermin dari peristiwa di atas, dapat disimpulkan alangkah pentingnya nilai sebuah catatan sejarah. Tidak dipungkiri, selanjutnya Filologi menjadi keilmuan yang diperhitungkan dan menempati posisi yang semestinya dalam pembacaan sejarah. Seorang Filolog mampu menyuguhkan sebuah ‘peta’ yang terbaca dari deretan-deretan aksara dan bahasa kuno. Selanjutnya, tafsir ‘peta’ digunakan sebagai sumber data oleh peneliti-peneliti lainnya.
Agustin Ariani