NYALANYALI.COM – Meskipun 1 Oktober telah lewat, tapi nanti, mendekati tanggal dan bulan tersebut, maka film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI menjadi bahan diskusi “panas” di berbagai forum, pembicaraan hangat antarnetizen yang mengiringi peringatan Hari Kesaktian Pancasila tersebut.
Film yang dibesut sutradara Arifin C, Noer pada 1984, saat ia berusia 43 tahun. Film tersebut menjadi karyanya yang ke-7 setelah film Djakarta 1966. Film G30S PKI yang disutradarai Arifin C Noer ini meraih penghargaan untuk skenario terbaik pada tahun 1984. Selain itu, film ini juga meraih Piala Antemas untuk film Indonesia terlaris tahun 1985. Di masa Orde Baru, film ini wajib diputar setiap tanggal 30 September untuk memperingati tragedi G30S PKI pada tahun 1965.
Salah seorang yang mengetahui benar situasi dan suasana saat pembuatan film yang beberapa kalangan menganggap sebagai film bermuatan propaganda itu, adalah Embie C. Noer. Adik Arifin C. Noer itu menjadi penata musik film yang konon berbiaya Ro 800 juta dan dibintangi aktor ternama saat itu antara lain Amaroso Katamsi, Ade Irawan, Umar Kayam, Wawan Wanisar.
Redaksi NyalaNyali.com mewawancarai pria kelahiran Kota Cirebon, 17 Juli 1955 yang bernama asli Rumli Chairil Noer itu, tentang kisah di balik layar proses film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Berikut petikannya:
Setiap Oktober selalu ditayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam film tersebut, bagaimana sebenarnya proses pembuatannya?
Sebuah karya film yang dikerjakan dengan sangat serius dan profesional. Hingga saat ini, nyaris tidak pernah terasa ada nilai teknis dan artistik yang berarti sehingga mengganggu penonton saat menikmati jalannya cerita yang disuguhkan. Padahal ini adalah film yang panjang dan komplek.
Apakah benar pembuatan film tersebut semata propaganda Orba? Adakah kisah di belakang layar yang banyak orang tidak tahu?
Propaganda sudah pasti, karena film ini dibuat dengan moral dasar untuk membentuk kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia agar tetap tegas dengan sikap antikomunis. Dan nampaknya dampak film ini cukup besar dan berhasil, terbukti masyarakat masih tetap kompak untuk menolak ideologi komunis muncul di Indonesia.
Kisah di belakang layar pasti banyak, karena film ini membutuhkan banyak hal, data, tenaga keterampilan dan organisasi yang baik, mengingat ini film besar dalam arti besar organisasi kerjanya.
Adakah suka duka dalam pembuatannya?
Tentunya pada saat mewujudkannya banyak terjadi suka dan duka, rintangan tantangan problematik yang muncul berkaitan dengan proses visualisasi, karena dalam film ini sangat banyak gambar yang harus dibuat untuk menggambarkan kejadian masa lalu. Untuk itu akurasi sangat dituntut agar dapat diraih efek adegan yang serealistik mungkin.
Seolah orang hanya melihat film itu karya Arifin C. Noer, padahal banyak karyanya yang mendapat penghargaan di berbagai ajang festival film. Menurut Anda?
Itu hal yang wajar karena film Penghianatan G30S-PKI adalah film yang paling mencengkam dibandingkan kedua film lainnya; Serangan Fajar dan Jakarta 66.
Apalagi film Jakarta 66 yang beredar di bioskop adalah versi yang sudah amburadul karena hampir separuh film itu dipotong oleh sensor. Saya pribadi berpendapat, trilogi Serangan Fajar, Penghiatan G30S-Pki, Jakarta 66 – harus ditonton semuanya agar dapat dinikmati secara utuh.
Ada apa dengan film Jakarta 66?
Sayangnya film Jakarta 66 sebagai epilog, filmnya rusak kena gunting sensor, padahal saya melihat diskusi-diskusi dalam film Jakarta 66 sangat menarik dan penting. Justru adegan-adegan penting itulah yang banyak kena gunting sensor. Sayang…
Bagaimana memberikan edukasi karya seni harus dilawan dengan karya seni, bukan dengan cara represif seperti pelarangan, misalkan?
Tepatnya dilengkapi, bukan dilawan. Film genre sejarah, politik, biografi – harus terus dibuat agar keterampilan dalam membuatnya semakin dikuasai selain masyarakat penonton mendapat suguhan film yang memiliki kandungan lebih bermanfaat ketimbang sekedar hanya dijejali drama hiburan saja.
Kegagalan film film genre sejarah, politik, biografi yang diproduksi belakangan adalah bukti perlunya peningkatan kualitas dalam proses pembuatannya, tidak serampangan sehingga hasilnya tidak meyakinkan dan ditinggalkan penonton karena seperti melihat pementasan drama tujuh-belas-agustusan di kampung. Tidak memilik pesona sebuah karya seni film.
Sikap represif terhadap karya seni, apakah itu film, novel, musik, teater, seni rupa tidak akan berdampak apa-apa pada karya seni itu, bahkan semakin kuat sikap represif terhadap satu karya seni akan berpotensi semakin matang dirinya. Di sisi lain sikap represif pada karya seni dapat dijadikan indikator kualitas sebuah tangan kekuasaan.