Covid-19 & Renungan atas Klaim Manusia sebagai Makhluk Pembelajar

NYALANYALI.COM, OpiniThese pains you feel are messengers. Listen to them. (Rumi).

Berbagai peristiwa tragis  berlangsung tiada henti. Setiap hari dijejali informasi tentang kepergian sahabat dan handai taulan. Satu persatu, silih berganti, mereka pulang menemui penciptanya. Hidup seperti menunggu giliran. Bila saatnya tiba, tak satupun yang dapat menolaknya. Pandemi Covid-19 telah merenggut begitu banyak asa. Ia memisahkan jutaan orang — dari mereka yang mengasihinya — dengan sepenuh hati, segenap jiwa raga.

 Mereka pergi menyisakan kepedihan yang tak tepermanai. Covid-19 menyerang siapa saja. Ia tak mengenal pangkat, jabatan, kedudukan, profesi dan jenis kelamin. Ia ibarat mesin pembunuh yang bergerak secara acak, menyerang mereka yang paling lemah imunitasnya. Sungguh mencengangkan. Imunitas sebagai penangkal Covid-19 ternyata bukanlah kemewahan yang hanya dinikmati oleh kelas berpunya.

Imunitas tidak hanya nangkring di rumah aristokrat atau di apartemen kelas atas. Imunitas ada di pasar tradisional, pemukiman kumuh, di rumah reok dan joglo yang terancam roboh. Imunitas juga ada di sawah dan ladang yang basah, di gereja tua, di masjid pelosok kampung dan kelenteng di pecinan. Imunitas adalah sesuatu yang kompleks. Ia tak memadai hanya dengan asupan bergizi, tidur yang cukup serta tempat tinggal yang bersih. Ia jauh lebih rumit dari bayangan ahli gizi sekalipun. Imunitas adalah teka teki abad 21 yang belum terpecahkan.

Tak ada formula tunggal untuk mendapatkan imunitas. Mereka yang makanannya paling bergizi dan higienis sekalipun, tak bisa menghindar dari serangan virus. Para dokter dan nakes yang paham tentang imunitas, tak bisa berbuat banyak. Mereka jadi sasaran empuk virus mematikan ini. Jutaan dari mereka telah pergi, dan mereka tak pernah kembali.

Vaksin adalah tumpuan terakhir menyandarkan segala harapan. Dunia berlomba memproduksinya, meski tak satupun yang memberi jaminan akan kemanjurannya melawan Covid-19. Dunia benar-benar terseok. Tak satu negara pun siap menghadapi pandemi mematikan ini. Fasilitas dan kecanggihan teknologi kesehatan jauh lebih mudah merawat penyakit kanker, jantung, paru-paru dan operasi ginjal. Mereka tak siap menghadapi pandemi Covid-19.  Dunia dengan segala capaian tertinggi ilmu pengetahuan dan teknologinya tak berkutik melawan mikroba.

Yang lebih parah adalah solidaritas antar bangsa yang tak jua kedepankan kerjasama lintas negara. Setiap bangsa berjuang sendiri-sendiri, meski mereka paham tanpa kerja sama mustahil pandemi bisa teratasi. Bahkan beberapa negara saling boikot pengiriman masker di awal pandemi. Mereka berebut kesempatan pertama, menimbun perlengkapan medis, siaga menghadapi situasi terburuk. Amerika menyimpan puluhan juta vaksin tapi dibiarkan tak terpakai. Sementara jutaan nyawa di Brazil, Spanyol dan Inggris tak punya akses untuk vaksinasi.

Dari begitu banyak persoalan, negeri ini sibuk dengan berbagai masalah yang datang silih berganti. Keriuhan di linimasa seakan menutupi persoalan paling mendasar yang tengah dihadapi; perjuangan bertahan hidup. Akibat pandemi, ekonomi nyaris lumpuh. PHK bergelombang tiada henti. Jutaan pekerja dirumahkan, menambah barisan pengangguran yang meresahkan. Bantuan negara dikucurkan dalam bentuk aneka rupa; sembako, transfer cash, pelatihan online, subsidi paket pulsa dan keringanan pajak. Ribuan trilyun APBN dipaketkan khusus untuk pemulihan ekonomi.

Utang LN meningkat tajam, menambah beban negara di masa mendatang. Paket pemulihan ekonomi mengucur deras, tapi korupsi dan penyalahgunaan bantuan tak jua reda. Tetap saja, mentalitas bobrok penyelenggara negara dan para pemburu rente memanfaatkan peluang dengan berbagai cara. Mereka, para garong itu menggerogoti uang rakyat dari pusat sampai ke desa. Mereka tak peduli rakyat semakin susah, semakin miskin, semakin menderita.

Berbagai inisiatif melawan pandemi dilakukan. Protokol kesehatan diperketat bahkan jadwal kerja diatur sedemikian rupa untuk menekan penyebaran virus. Tapi tetap saja kerumunan terjadi di saat pejabat negara kunjungan lapangan. Warkop dan pusat perbelanjaan masih saja ramai, jalanan macet seperti di hari sebelum pandemi. Protokol kesehatan sepertinya berlaku di wacana saja. Ia tidak berlaku di jalanan dan pusat keramaian. Kebiasaan baru yang dikampanyekan efeknya terasa di permukaan. Protokol kesehatan dan pola hidup sehat masih jauh dari harapan.

Di tengah kekhawatiran yang membuncah, varian baru Covid-19 terus ditemukan. Tapi siapa yang peduli? Bertahan hidup dengan berbagai cara jauh lebih penting kerimbang khawatir terpapar virus baru. Semua akhirnya paham, hidup ibarat melempar dadu. Tak seorang pun tahu angka apa yang akan menampakkan diri.

Semua punya peluang yang sama terpapar, karena virus tak mengenal kasta. Ia hanya menghindar dari dua hal; kekebalan tubuh dan nasib baik. Keduanya bukan monopoli kalangan tertentu. Ia menyebar di tubuh yang ringkih di badan yang atletis serta mereka yang obesitas. Mungkin ini rahasia Tuhan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang yakin seyakin yakinnya bahwa sang pencipta adalah hakim yang seadil-adilnya.

Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Logika ilmu pengetahuan dan hukum kausalitas tak mampu menjawab misteri Covid-19. Ia terlalu banyak pengecualian yang acak, menggugurkan silogisme yang dipelajari di dasar-dasar filsafat. Ia menguji kemampuan sekaligus mengingatkan arogansi manusia sebagai penguasa semesta — yang seenaknya melakukan pengrusakan — di bumi yang bukan miliknya.

Begitu banyak peringatan tapi manusia masih saja lalai. Mereka lebih memuaskan nafsu  berkuasa, kepuasan diri dan ambisi eksploitasi yang tak mengenal batas. Manusia dalam sejarahnya tetap saja mengulangi kesalahan yang sama; menganggap bahwa kekuasaan, kekuatan dan kebenaran bisa dimonopoli.

Manusia tak jua belajar bahwa yang berkuasa, yang paling kuat dan paling benar hari ini — bisa kehilangan segalanya — melalui cara yang mereka tidak pernah pikirkan. Begitu banyak peradaban masyhur masa silam, penguasa yang kekuatannya tak tertandingi, tapi mereka tumbang ketika saatnya tiba. Peradaban dan penguasa baru muncul dengan caranya sendiri, mengganti penguasa lama dan mengubur segala capaiannya yang telah diakumulasi selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Perputaran dan pergantian ini ibarat sebuah siklus yang terjadi secara ajeg agar manusia belajar dari berbagai peristiwa. Pergantian siang dan malam sungguh memberi sebuah pelajaran, sebagaimana pergantian musim di berbagai benua.

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan menjadikan siang terang benderang supaya kamu mencari karunia Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mendengar (Surah Yunus:67).

Tetapi mengapa manusia tidak mau belajar dari berbagai tanda yang terang benderang? Mengapa ia terus membangkang terhadap kebenaran yang tak bisa disangkali? Ia paham kalau tiada kekuasaan yang kekal. Tapi nafsu berkuasanya tak sanggup dijinakkan. Ia paham tumpukan materi tak menjamin kebahagiaan. Tapi tetap saja menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan kekayaan. Ia tahu pada saatnya ajal akan menjemput. Tapi tetap saja berprilaku seakan hidup dalam keabadian. Ia maklum bahwa kekayaannya tak sanggup dihabiskan. Tapi tetap saja enggan untuk berbagi.

Sungguh manusia adalah makhluk yang penuh kontradiksi. Ia sangat santun saat tak berdaya, tetapi sangat dzolim saat berkuasa. Ia sangat   pandai mensiasati masa depan, tetapi gagal belajar dari masa lalunya. Ia mau belajar saat merasa bodoh, tetapi tidak mau mendengar di saat merasa benar. Ia selalu merasa tak cukup, meski bergelimang harta benda. Ia bahkan yakin hidup abadi, tetapi tak kuasa menghidupkan yang telah mati.

Manusia dengan segala kontroversinya adalah makhluk yang sangat unik. Bersusah payah selama ribuan tahun membangun peradabannya yang agung, tetapi meruntuhkannya sendiri secara perlahan melalui mekanisme self-destruction yang diwarisinya secara genetik dari generasi pendahulunya.

SAWEDI MUHAMMAD Phd.
Pengajar tetap pada Departemen Sosiologi FISIP Universitas Hasanuddin Makassar

Bagikan :

Advertisement