Dayak, Kisah Orang Pedalaman

NYALANYALI.COM – Menyebut kata Dayak, tentu kita akan teringat Kalimantan. Ya, suku  Dayak hanya ada di Kalimantan, secara makna dalam bahasa Indonesia berarti “orang pedalaman”, terisolasi dan jauh dari peradaban kota.

Konon mereka sengaja mengasingkan diri karena sejarah yang kelam. Selalu berpindah, jika di mana mereka tinggal ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka perkampungan di dekat wilayah mereka.

Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka berasal dari negeri yang bernama Yunan, sebuah daerah di daratan Cina. Keluarga salah satu kerajaan yang kalah perang dan kemudian lari dengan perahu-perahu, sehingga sampailah ke Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap.

Mungkin akibat trauma perang, sehingga mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian terulang kembali, dan membuat bangsa mereka habis dan punah tak bersisa. Karena itulah para leluhur melarang dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.

Dayak bukan berarti hanya untuk satu suku, melainkan bermacam suku, seperti Suku Dayak Kenyah, Dayak Hiban, Dayak Tunjung, Dayak Bahau, Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punanyang masih pula disertai puluhan “Uma“ (anak suku) tersebar diberbagai wilayah Kalimantan.

Dan konotasi “Dayak” saat ini tidak demikian adanya seiring derasnya arus wisatawan yang datang ke Borneo, Khususnya  Kaltim. Disebut orang pedalaman. Tapi, tidak lagi relevan jika sebagai suku terasing. Dayak kini membuka diri, dan teryata sangat ramah kepada siapapun yang datang dan tidak punya maksud tertentu dalam tanda kutip (negatif).

Bahkan orang dayak dengan segala kearifan lokalnya menjadi salah satu daya tarik wisata, khususnya dalam ranah budaya. Salah satu contoh adalah Desa Pampang yang berlokasi di Sungai Siring, kini telah menjadi obyek wisata andalan Kota Samarinda.

Desa ini dihuni oleh Suku DayakApokayan dan Kenyah yang awalnya, 1960an berdomisili di wilayah Kutai Barat dan Malinau. Kemudian berpindah lantaran tak ingin ikut ke wilayah Malaysia dengan motif dan harapan taraf pendapatan atau ekonomi yang menjanjikan. Rasa nasionalisme mereka memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mereka berpindah-pindah selama bertahun lamanya hanya dengan berjalan kaki. Menyambung hidup dengan berladang di tempat-tempat yang mereka singgahi. Terus berpindah sambil berladang sampai tiba akhirnya di kawasan Pampang. Melanjutkan hidup dan menetap dengan berbagai kegiatan masyarakat, seperti bergotong-royong, panen raya, dan segala ritual budaya yang menarik untuk disaksikan.

Sehingga, pada Juni 1991, Gubernur Kaltim HM Ardans ketika itu mencanangkan dan meresmikan Desa Pampang sebagai Desa Budaya. Pemerintah merasa antusias desa  ini memiliki kegiatan positif yang bisa menjadi aset wisata unggulan dari tingkat lokal hingga mancanegara.

Setiap tahunnya, digelar acara memperingati ulang tahun Desa Pampang, yang disebut dengan nama Pelas Tahun. Melalui desa ini, harapan untuk terus memelihara dan melestarikan adat istiadat dan budaya masyarakat Dayak tetap ada. Desa Budaya Pampang, kini selalu menjadi kunjungan wajib perjalanan ke Kaltim.

Semenjak itu, keunikan budaya menjadi salah unsur mengemas pariwisata di seantero wilayah Kaltim. Ritual budaya sengaja dimunculkan untuk menjadi daya tarik, sebut aja upacara adat Ngugu Tahun yang ditandai pemotongan Kerbau di Kampung Bentas, Kecamatan Siluq Ngurai. Kemudian ada Festival Erau, Pesona Borneo, Festival Pasar Terapung dan budaya dayak lainnya yang menjadi agenda wisata tahunan.

Berbagai wisata budaya ini dihelat pada waktu yang berbeda dalam satu tahun. Jadi, Anda bisa menyesuaikan perjalanan ke Kalimantan Timur untuk menyaksikan atraksi budaya khas dan eksotis ini.     

MURDIYATNO

Bagikan :

Advertisement